Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Surabaya mendapat kesempatan untuk mengikuti NGO Transformation to Social Enterprise Workshop. Kegiatan yang diadakan oleh British Council tersebut berlangsung di Jakarta pada 10-15 Agustus 2014. Selama empat hari, peserta mendapat pembelajaran mengenai pengertian kewirausahaan sosial, mendesain usaha, mengenal kebijakan pemerintah dan manajemen dan bagaimana mengevaluasi sebuah kewirausahaan sosial.
Workshop angkatan ketiga itu dihadiri 23 organisasi dari seluruh Indonesia. Antara lain, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia, Yayasan Prasasti Perdamaian, Yayasan Jurnal Perempuan, PNPM Support Facility, Papua Enterprise Development Program, Himpunan Pengusaha Santri Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah.
Peserta diperkenalkan dengan banyak perusahaan yang berawal dari LSM yang bertransformasi menjadi kewirausahaan sosial, dengan perspektif, latar belakang, dan gagasan yang berbeda-beda. Berkenaan dengan arti kewirausahaan sosial ada beberapa pendapat. Bambang Ismawan menyebut kewirausahaan sosial sebagai pembangunan sosial melalui cara-cara kewirausahaan. Ashoka Foundation menyebut siapa pun yang memimpin dan menggabungkan perubahan dalam sebuah kelompok menuju kelancaran dan percepatan dari perubahan ekonomi.
British Council memaknai sebagai usaha yang bertujuan sosial atau keberpihakan pada lingkungan dengan menginvestasikan sejumlah besar pendapatannya untuk memenuhi tujuan. Dari penjelasan-penjelasan ini, ada benang merah bahwa lembaga atau yayasan boleh mendapatkan untung, tetapi keuntungan tersebut sebagian besar diberikan kembali kelembaga/yayasan untuk mendanai kegiatan sosialnya.
Kewirausahaan sosial dipicu oleh dua hal pokok. Pertama, berpijak karena kecemasan atas keberlangsungan lembaga dalam membiayai kegiatan sesuai visi dan misi. Bagi mereka, donor bukan sesuatu yang abadi. Kedua, kewirausahaan sosial sebuah lembaga dapat berupa usaha untuk memandirikan warga dampingan secara utuh.
Wilayah Daitung merupakan segitiga emas, penghasil opium terbesar di Thailand. Semua lembaga yang masuk ke sana berusaha untuk menghentikan penanaman opium. Mereka mengubah petani untuk berwirausaha tetapi selalu gagal karena penghasilan dari opium sangat besar. Kelompok di Daitung digagas oleh sebuah lembaga yang hendak mengubah mindset dan kebiasaan penduduk agar tidak lagi menanam opium dengan cara menghasilkan banyak kerajinan tangan, pernak-pernik yang produknya sudah mendunia. Uniknya, lembaga tersebut tidak menjadikan Daitung sebagai lahan dalam mendulang dana. Mereka mendedikasikan apa yang sudah mereka buat kepada penduduk lokal.
Lain lagi dengan Cabbage & Condoms, sebuah resto yang didirikan oleh Mechai Viravaidya, yang mendanai kegiatan dengan membuka restoran. Uniknya, resto yang mendanai isu reproduksi, HIV/AIDS, ini memberikan edukasi secara tidak langsung dan menggratiskan kondom kepada tamu yang datang.
Dalam mendesain usaha, sebaiknya linier dengan kegiatan lembaga, tetapi tidak menutup kemungkinan melompat jauh dari isu yang sedang ditangani. Dalam mendesain usaha, bisnis canvas model merujuk pada pola membantu merencanakan dan melihat usaha secara keseluruhan.
TRANSFORMASI
Saat ini transformasi merupakan tuntutan dan tren yang akan terus berkembang dalam berbagai model. Akan tetapi, masih banyak lembaga yang gamang, terutama kendala paradigma lama LSM dan kewirausahaan yang jauh 180 derajat bertolak belakang. Kesiapan yang diperlukan tidak hanya segi permodalan, inisiasi fund, juga sumber daya manusia serta cara berpikir.
Sebuah lembaga mau melakukan transformasi atau tidak memang merupakan pilihan. Adapun beberapa pertimbangan yang dimungkinkan. Model Pro Trade yang meningkatkan pendapatan, memiliki keanekaragaman pendapatan, tidak semua pendiri menyukai, beberapa menjadi objek kompetisi tidak sehat, dapat menimbulkan konflik internal dan sesuatu yang sulit, bukan cara yang cepat untuk mendapatkan uang atau memecahkan masalah krisis keuangan lembaga.
Sedangkan model perlawanan ialah meningkatkan risiko. Ada banyak kemungkinan biaya, memberikan kesan positif kepada para pendiri, menaikkan nilai lembaga dan meningkatkan kepercayaan lembaga dan meningkatkan performa lembaga secara keseluruhan.
Sebagai contoh, lembaga Ruang Rupa Corporation, yang merupakan kumpulan anak muda di bidang seni visual, arsitek yang berkarya dalam bidang riset dengan titik berat kaum urban. Mereka menjaring seniman dari berbagai kota yang diinisiasi dalam tiga kelompok seniman, yaitu ruang rupa, forum Lenteng, dan Serrum. Mereka mendanai lembaga dengan cara unik. Pola struktur manajemen yang amat sederhana dan jam kerja yang tidak terikat kehadiran di kantor, tetapi lebih pada jumlah jam kerja. Jam kerja setiap jabatan berbeda.
Model ini cocok diterapkan bagi usahawan muda yang baru berdiri. Lembaga tersebut berdiri sejak tahun 2000. Pada 2003 mendapatkan dukungan multidonor, tetapi 2007 mulai berusaha sosial dengan mengadakan acara setiap dua tahun dnegan tajuk Arte, sebuah pameran seni terbesar di Asia Tenggara yang dihadiri para mahasiswa dari berbagai negara dan disiplin ilmu.
Sejauh perjalanan mereka, ada beberapa kelemahan. Yakni kegiatan tidak terpusat, tidak semua seniman mendapatkan jatah pekerjaan, tidak punya infrastruktur memadai untuk mengatur manajemen dan keuangan. Akibatnya, mereka mengalami kekurangan meskipun pekerjaaan mengalir dalam kontrak jangka panjang.
BELAJAR DARI LEMBAGA LAIN
Dalam kesempatan ini, disisipkan beberapa LSM yang sudah bertransformasi secara mulus menjadi Sosio Entrepreneur. Misalnya, Yayasan Sahabat Cipta yang dirintis oleh Swiss Contact, akibat perpanjangan izin lembaga Swiss Contact yang harus diperbaharui setiap tiga bulan sekali. Mereka yang kemudian berhasil menghasilkan Sahabat Cipta Ventura sebagai unit entrepreneurship yang bergerak dibidang advokasi dan konsultasi. Kini mereka merambah ke bidang retail hasil bumi khusus kawasan Maluku dan Indonesia Timur.
Lembaga PIRAC memberikan mekanisme pendanaan dan tipe-tipe donor. Pola yang menarik ialah ubankable LSM, karena ketidaksinambungan dana yang didapat per bulan, justru memberikan atmosfer baru dengan mengakses dana inisiasi pendirian sosio entrepreneurship yang diberikan oleh donor dari luar dan dalam negeri berupa grant atau pinjaman lunak.
Sementara dari Credit Union yang merupakan unit keuangan berbasis masyarakat, tampil CU Pancur Kasih. Ibu Norberta Yati berbagi suka duka dalam manajemen kesengsaraan berjangka saat merintis CU. CU kini memiliki asset Rp 1,5 trliun selama 10 tahun, jatuh bangun mengubah mindset masyarakat. Usaha itu memiliki andil besar dalam memberikan dampak yang terukur dan sangat luar biasa pada tingkat kesejahteraan anggota. Persaingan head to head dengan bank yang sekarang mulai berjamur menuntut CU memberi pelayanan, inovasi, dan pendekatan yang berbeda pada anggota.
Kegiatan workshop ini dapat dijadikan inspirasi bagi teman-teman yang bergerak di bidang pengembangan sosial ekonomi dan pengembangan kewirausahaan di paroki, stasi, atau lingkungan secara pribadi atau kelompok. Transfromasi bukan sesuatu yang aneh. Karya sosial Gereja mestinya mulai bergerak tidak hanya kegiatan karitatif, tetapi juga transformatif. Saatnya dirintis kegiatan pemberdayaan yang melayani mereka yang sungguh sangat membutuhkan, fokus pada kelompok kecil untuk mereka yang mau atau mampu diberdayakan dan tidak sekadar memberi, tetapi melatih, mendampingi, mendukung dana, memberikan pencerahn, menghubungkan ke jejaring dan membuka peluang.
(Emilia Susan, pengurus Komisi PSE)
No comments:
Post a Comment