Oleh Fr. Fransiskus Nong Budi, CP
Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang
Keluarga Kristiani: Ecclesia Domestica
Keluarga Kristiani tidak ada bedanya dengan keluarga-keluarga lain dalam masyarakat. Ikatan dasarnya adalah relasi cinta kasih antara suami istri. Secara kodrati keluarga Kristiani merupakan realitas sosiologis. Itulah salah satu sisinya, tetapi yang juga tidak boleh dilupakan ialah sisi adikodratinya.
St. Yohanes Paulus II ketika masih menjadi paus pernah menegaskan bahwa martabat perkawinan Kristiani adalah iman (FC 65). Dalam iman, dua pribadi mengikat diri melalui sakramen perkawinan menemukan dan menghormati martabatnya yang telah diangkat (dimuliakan) oleh Allah. Demikianlah perkawinan menjadi tanda perjanjian kasih Allah dan manusia, Kristus dan Gereja, sebagai mempelai-Nya. Oleh sebab itu, keluarga Kristiani dalam segala peristiwa, persoalan, dan pengalaman hidup diundang dan dipanggil untuk mempersembahkan kepatuhan imannya kepada Allah.
Di sinilah letak keunikan keluarga Kristiani sebagai Gereja Kecil, yakni sebuah persekutuan iman. Dengan caranya yang khas, keluarga menjadi gambaran misteri Gereja. Gereja Kristus menjadi lebih nyata dalam setiap keluarga Kristiani. Keluarga sebagai Gereja Mini, bagaimanapun juga tetap berada dalam persekutuannya dengan Gereja Kristus, Gereja universal. Tetapi dari dalam Gereja Kecil itulah penghayatan iman dimulai secara intensif dan erat.
Sabda Allah Sumber Hidup Gereja
Kristus adalah dasar persekutuan Gereja. Jemaat perdana disebut Kristen karena menerima Sabda Yesus Kristus. Dengan menerima Sabda itu, mereka menjadi manusia baru dalam Kristus. Semangat Injillah yang mewarnai atau membumbui kehidupan mereka, yaitu Cinta Kasih. Mereka dipersatukan oleh Yesus, Sang Sabda yang menjadi Manusia. Inilah kesadaran pertama dan utama jemaat perdana dan juga menjadi kesadaran kita sebagai Gereja Kristus saat ini.
Oleh karena dibentuk oleh Sabda, Gereja hidup, berasal, dan bertumbuh di dalam Sabda itu. Sabda itu menjadi seperti jiwa bagi Gereja. Pertumbuhannya tergantung pada pewartaan Sabda. Pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja telah diungkapkan kembali dalam Konsili Vatikan II:
"Melalui Kitab Suci, Bapa di surga yang penuh kasih itu mendatangi anak-anak-Nya dan berbicara dengan mereka. Begitu besar daya dan kekuatan Firman Allah, sehingga merupakan topangan dan tenaga Gereja, kekuatan iman bagi putra-putra Gereja, makanan bagi jiwa, sumber murni dan kekal bagi hidup rohani" (DV 21).
Cara hidup demikianlah yang menjadikan persekutuan iman Kristiani sebagai persekutuan dengan Bapa dan Putra (Bdk. 1 Yoh 1:1-4). Hidup Kristiani itu berakar dalam Bapa, berpusat pada Yesus Kristus dan terbuka pada Roh Kudus. Semuanya berkat Yesus Kristus sebagai jembatan utamanya.
St. Hironimus pernah mengungkapkan, "Ignorantia Scripturarum, ignorantia Christi est." (Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus) (Bdk. DV 25). Jadi, melalui Kitab Sucilah kita mendapat pengertian mulia tentang Yesus Kristus.
Namun, hal ini akan menjadi tidak berarti apabila Kitab Suci tidak dihidupi. Bagaimana harus dihidupi? Kitab Suci pertama-tama harus dibaca dan direnungkan supaya menjadi Sabda yang hidup, terutama didengar dengan penuh iman. Dengan cara ini kita membuka hati untuk Allah. Karena melaluinya, Allah secara nyata menyapa, memanggil, dan mengundang setiap pribadi. Sekarang tinggal bagaimana kita menanggapinya.
Yesus Sang Sabda dalam Keluarga Kristiani
Implikasi dari keluarga Kristiani sebagai Gereja Kecil adalah menjadikan Yesus yang pertama dan terutama. Proses iman ini hanya mungkin melalui pergaulan mesra dengan Yesus. Sabda Yesus harus menjadi seperti pelita yang menerangi kegelapan jalan hidup kita sehari-hari. Paus Yohanes Paulus II melalui amanat apostoliknya, Familiaris Consortio, telah mengungkapkan untuk kita. Intinya ialah bahwa keluarga itu menginjili dan diinjili (FC 39). Keluarga menjadi pendengar dan pewarta Sabda Allah. Di sinilah letak relasi dan peran Kitab Suci dan Keluarga.
Beberapa hal praktis yang kiranya perlu diperhatikan ialah antara lain, pertama, memperkenalkan Kristus kepada anak-anak. Inilah tugas para orang tua. Bersama anak mereka memperdalam iman akan Kristus. Mengajar berarti terlebih dahulu belajar, terutama dari pengalaman dan kemudian memberi kesaksian melalui cara hidup yang seturut teladan dan semangat Kristus.
Kedua, menjadi pendengar dan pewarta. Artinya, membaca dan merenungkan Kitab Suci bersama-sama. Hal ini dapat diusahakan lewat:
- Dari realitas hidup sehari-hari. Persoalan hidup direnungkan dalam terang Sabda Allah. Pengalaman hidup pertama-tama menjadi bahan permenungan untuk kemudian diolah bersama Sabda Allah.
- Dari keluarga untuk keluarga. Kitab Suci adalah buku keluarga. Buku iman Gereja Kecil. Maka, dengan iman pula keluarga mencari artinya bersama-sama. Di sini perlu keterbukaan untuk berbagi dan mendengarkan sesama anggota keluarga.
- Dari Kitab Suci menuju dunia keseharian. Dengan mendengar Sabda Allah secara bersama dalam keluarga, semua diundang untuk secara mendalam menanggapinya dalam kenyataan persoalan hidup sehari-harinya.
Dengan demikian, Sabda Allah menjadi sungguh-sungguh hidup dan berdaya guna ketika mampu mengubah pikiran dan hati manusia yang terdalam. Dari pengalaman ini pula, keluarga dapat menjadi pendengar dan pewarta Sabda Allah, bukan hanya untuk keluarganya, tetapi juga bagi semua orang di mana pun dan kapan pun ia berada. (*)
No comments:
Post a Comment