Friday, November 14, 2014

Ketika Tuhan pun Dibisniskan

Oleh Yoseph Stenly Agung Jemparut
Anggota PMKRI Surabaya St. Lukas


Bisnis tidak akan terlepas dari untung rugi. Bisnis adalah kegiatan untuk menghasilkan keuntungan. Dalam bisnis, semua bisa diperhitungkan sebagai materi yang memiliki harga ekonomis dan bisa diperdagangkan. Sementara Tuhan adalah suatu entitas misteri alam semesta yang tak terselami oleh pengetahuan manusia. Tuhan hanya menjadi realitas yang bisa diyakini dan dimaknai lewat wahyu dari kitab suci.

 Lantas, apa hubungan realitas transenden dengan bisnis yang merupakan realitas manusiawi? Banyak agamawan yang menjelma menjadi orang-orang berduit berkat perdagangan Tuhan. Berapa seorang ustad, dai, atau kiai dibayar untuk ceramah di televisi? Berapa harga yang dipatok oleh seorang pendeta untuk khotbah inspirasi iman? Bagaimana seorang pendeta bisa mempunyai mobil mewah?

Berceramah tentang Tuhan, mendirikan gereja-gereja baru atas nama kemuliaan Tuhan, rupanya menjadi tren bisnis yang memiliki banyak peminat, khususnya di Indonesia. Religiositas masyarakat Indonesia rupanya banyak dilihat sebagai peluang usaha oleh sebagian orang. Komunitas-komunitas religius dibetuk tidak lebih dari sekadar untuk mencari relasi dan memperluas bisnis. Memang Tuhan mahabaik dan mahamurah sehingga membiarkan diri-Nya dihargai dengan setumpuk emas dan kertas buatan tangan manusia. Maka, tidak mengherankan seribu kata-kata bijak dari kaum agamawan tidak mempan untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan moral dan akhlak.

Setiap wahyu yang diterjemahkan dan dimaknai memiliki harganya tersendiri, yaitu kepuasan pendengar. Umat mulai memposisikan diri sebagai stakeholder yang memiliki tingkat kepuasan mengenai Tuhan. Orang kaya hanya mau mendengar khotbah yang bisa memberi semangat untuk menambah kekayaan dan membenarkan sikap tamak dan rakus.

Orang miskin hanya mau mendengar khotbah penghiburan yang membuat mereka tetap menikmati kemiskinan sebagai takdir. Sementara para pemuka agama sibuk dengan konsep-konsep teologi dan menyesuaikannya dengan pesanan dan harapan kosumen. Konsep Tuhan bukan untuk memberikan pencerahan kepada umat, tapi dijadikan komoditas unggulan yang setara dengan minyak mentah dan batangan emas.

Maka, tidak jarang kebenaran menjadi mahal bagi bangsa yang begitu besar ini dan terlalu murahahan untuk diperbincangkan dan dijadikan pedoman yang hidup dan menjiwai setiap dinamika iman. Tidak perlu heran ketika dalam ilmu ekonomi muncul suatu mazhab baru, yaitu ekonomi religius di mana hubungan antara umat dan para pemimpin umat memiliki pola hubungan pasar. Hal ini juga yang menyebabkan kebenaran itu sendiri bisa menjadi selalu relatif, memiliki toleransi, dan mudah disiasati.

Nas-nas dalam kitab suci dijadikan layaknya undang-undang yang antara satu pasal dengan pasal yang lainnya bisa saling tumpang tindih. Dan, orang-orang yang sedikit paham tentang kitab suci mulai berspekulasi menciptakan kebenaran-kebenaran baru yang seolah-olah berakar pada kitab suci itu sendiri.

Di lain pihak muncul pula  ilmu perbandingan agama yang sepertinya bertujuan mengungkapkan keunggulan keyakinan yang dimiliki dan berusaha meruntuhkan keyakinan yang lain tanpa bersifat objektif sebagai ilmu pengetahuan yang netral. Lalu, bagaimana dengan kita, orang katolik?

Kita harus mengakui bahwa Gereja kita yang suci dan kudus tidak pernah menjadikan Tuhan sebagai komoditas. Dogma-dogma iman yang kita miliki tidak pernah menjadi hasil pesanan siapa pun, bahkan cendrung secara radikal menilai zaman dan mengkritisi berbagai aspek yang menyampingkan kemanusiaan sebagai anugerah terindah dari Tuhan. Tidak jarang Gereja mengkritisi dirinya sendiri.

Melalui Ajaran Sosial Gereja (ASG), Gereja Katolik secara jujur dan terbuka menilai dunia dan perubahannya dengan berpedoman pada Injil suci tanpa melakukan berbagai perbandingan sebagai wujud pembelaan diri dari rasa takut kehilangan kepercayaan umat. Gereja Katolik sadar akan posisinya bukan hanya sebagai komunitas suci yang dipersatukan Roh Kudus,  tetapi juga sebagai sebuah lembaga yang secara penuh menyadari realitas dunia yang  sebenarnya.

Dalam ASG pula, kita semua bisa memahami bahwa Sri Paus dan Bapa Uskup sebagai gembala umat selalu berusaha menerjemahkan dan membahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia pada zaman ini. Hal ini dubuat bukan untuk memenuhi tuntutan zaman, tapi lebih pada mejelaskan posisi kasih dan karunia Allah di tengah kebenaran-kebenaran semu yang sering mengarah pada kesesatan.

Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh sikap permenungan yang begitu mendalam dan relasi begitu kuat dengan Allah Yang Maha Hidup, sehingga menghasilkan pembaharuan secara terus-menerus dan tidak pernah kehilangan jati dirinya meski berada di tengah-tengah dunia yang semakin materialistik.

Pro Ecclesia et Patria! (*)

No comments:

Post a Comment