Tentang Maria, Tidak Pernah Orang Dapat Mengatakan Cukup
Oleh Yustinus Sumantri Hp, Pr.
Dalam Gereja Katolik ada devosi kepada Maria. Setiap bulan Mei, berbondong-bondong umat Katolik mendatangi tempat-tempat ziarah. Tak perlu menunggu bulan Mei, setiap malam Jumat Legi, ribuan umat dari pelbagai paroki berduyun-duyun mengunjungi Puhsarang, Kediri, untuk mengadakan tirakatan di depan patung Bunda Maria yang dimulai malam hari. Ada beberapa lingkungan/ wilayah selama bulan Mei, setiap hari, mengadakan doa rosario yang diadakan bergiliran dari rumah ke rumah warga.
Kalau ada rezeki silakan datang ke Lourdes (Prancis) dan Fatima (Portugal). Tak perlu datang pada bulan Mei dan Oktober, sebagai bulan Maria. Setiap senja hari, selalu ada perarakan patung Bunda Maria. Diiringi oleh pujian dan doa untuk Bunda Maria. Setiap orang yang hadir memegang lilin yang bernyala. Mereka berdoa Salam Maria dengan bahasa mereka masing-masing. Amat mengagumkam.
Penghormatan kepada Bunda Maria yang terkesan berlebihan ini memunculkan sindiran dari umat Protestan, bahwa umat Katolik menyembah berhala, yaitu menyembah patung Bunda Maria. Menyembah berhala dilarang oleh Tuhan Allah lewat Musa dalam dekalog (10 Perintah Allah). Maka, umat Katolik berdosa. Pada lain pihak, umat Katolik punya semacam tuduhan kepada umat Protestan bahwa mereka kurang menghormati Bunda Maria.
Yesus hadir ke dalam dunia dengan perantaraan Ibu Maria. Maria punya peranan tak kecil dalam karya keselamatan Allah. Dari lahir – wafat – kebangkitan Tuhan Yesus, Maria selalu hadir ambil peranan. Ad Jesum per Mariam, Dengan perantaraan Maria, sampai pada Yesus. Nampaknya ada kesan, banyak nama pelindung paroki (Gereja Katolik) dengan nama St. Maria, untuk membedakan diri dengan Gereja Protestan.
Dan masih ada saja hal-hal lain yang berkenaan dengan Maria yang selalu tidak ada kecocokan antara Protestan dan Katolik.
AWAL MULA
Gereja-gereja yang berasal dari Reformasi pada abad XVI, rupanya punya keyakinan bahwa Maria tidak berperan sama sekali dalam kehidupan beriman. Sejak abad itu, Maria memang menjadi pokok pertikaian antara umat Reformasi (Protestan) dan umat Roma Katolik, sehingga devosi kepada Maria para Protestan menghilang. Akibat pertikaian itu, pengaruh anti-Katolik di kalangan Protestan menjadi pengaruh anti-Maria. Umat Protestan umumnya yakin bahwa umat Katolik “menyembah” Maria. Maria menyingkirkan dan mengganti Yesus Kristus. Pihak Katolik sudah berusaha mencoba menjelaskan duduk perkaranya, antara lain, lewat konsili Vatikan II.
Umat Protestan memutlakan peranan Allah. Solus Dei, sola Gratia: hanyalah Allah, hanyalah kasih karunia. Mereka tak mudah dapat menampung peranan Maria yang manusia itu. Manusia dalam pandangan mereka hanya memegang peranan pasif belaka dalam karya keselamatan Allah.
Maria tetap akan tinggal pokok pertikaian antara umat Katolik dan umat Protestan. Sebetulnya ada dua pokok pertikaian, yaitu Maria dan Sri Paus. Sebenarnya kedua pokok itu hanya satu, karena dua-duanya menyangkut peranan aktif manusia dalam karya penyelamatan. Dalam Katolik, ada peranan aktif manusia. Dalam Protestan ada peranan pasif belaka. Dengan demikian, Maria dan Sri Paus menjadi hambatan konkret yang paling besar dalam gerakan ekumene.
PERLU KRITIS
Yang berkembang dalam Gereja Katolik adalah agama dan devosi rakyat. Kita lihat, apa kaitannya, penghormatan Maria di Puhsarang dengan malam Jumat Legi, yang sama harinya dengan orang tirakatan ke Gunung Kawi. Devosi rakyat diambil dari tradisi-tradisi agama dan kepercayaan lain. Tidak mustahil, umat (rakyat) memindahkan kepercayaan dari agama non-Katolik kepada ibu Yesus, Maria. Misalnya dengan Dewi Sri, dewi kesuburan, dan Dewi Kuan Im.
Devosi rakyat (umat) tidak berlangsung dengan konsep intelektual, tetapi dengan simbol-simbol dan lambang-lambang yang artinya agak kabur. Dalam kenyataannya peranan Maria dalam agama Katolik menjadi semakin penting. Mungkin disebabkan oleh peranan Yesus Kristus kurang eksistensial (mendarat) dan emosional (menyentuh hati). Semakin keilahian Yesus Kristus ditekankan, semakin Maria tampil sebagai yang lebih “dekat”.
Devosi rakyat terarah kepada Maria sendiri sebagai pribadi. Pusat perhatian ialah Maria sendiri. Justru dalam hal itu terletak bahaya yang ada dalam agama Katolik. Unsur-unsur yang seharusnya menjadi satu kesatuan, menjadi terisolasi dan mendapat nilai mutlak. Dalam devosi umat, boleh jadi Maria terpisah dari Allah dan Yesus Kristus. Kalau demikian Maria menjadi dewi dan Kristus tersingkirkan.
Seharusnya, Maria selalu direnungkan dalam relasinya dengan Allah dan Yesus Kristus. Dengan lain kata: Maria dilihat “relatif”. Namun ajaran-ajaran tentang Allah dan Yesus Kristus dalam agama Katolik begitu abstrak dan berbelit-belit, sehingga kurang mendarat dan mengesan di hati. Padahal, agama bukanlan pertama-tama perkara otak dan konsep, melainkan perkara hati dan simbol.
Kalau tidak hati-hati dan kritis, devosi kepada Maria kalah terhadap bahaya sinkretisme (gabung sana-sini kepercayaan lain). Tidak sedikit unsur “kafir” berhasil menyusup ke dalam devosi itu. Soalnya bukan pada pelbagai simbol kafir diambil alih. Tetapi arti dan isi simbol itu dipindahkan kepada ibu Yesus. Kritik yang dilontarkan Gereja Protestan sampai dengan hari ini tidak seluruhnya meleset dan tidak jarang diberi makna oleh devosi agama rakyat Katolik. (*)
No comments:
Post a Comment