Wednesday, November 12, 2014

Dari Sumpit sampai Ornamentum

Oleh Prof. Dr. John Tondowijojo, CM

Di era globalisasi, warga masyarakat terutama di negara-negara sedang berkembang banyak tertarik pada apa yang ditayangkan melalui media massa. Kecenderungan tren globalisasi mengarah ke penyamarataan way of life and life style. Dengan demikian, masyarakat digiring ke suatu kultur massa sehingga sikap hidupnya menuju ke “Think globally and act globally”. Yang sebenarnya diharapkan adalah ”Think globally and act locally”.

Ketika saya ada di Tokyo, Jepang, dalam tahun 1984 dalam rangka mengikuti training sempat mengunjungi kota yang indah itu. Karena hari sudah siang saya bersama rekan seperjalanan masuk ke suatu rumah makan untuk makan siang. Di situ dihidangkan noodle atau mi Jepang dan cara memakannya dengan chopstick atau sumpit. Sumpit bambu itu menurut informasi diimpor dari Indonesia. Di restauran-restauran Tionghoa di Indonesia, sumpit dari bambu banyak dipakai.
Chopstick dari bambu ini dibuat di pabrik-pabrik di negara kita. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga untuk luar negeri dan tidak hanya untuk Jepang saja, bahkan sampai ke negara-negara lain.

Kalau kita ke daerah-dearah pedalaman di negara kita, pohon bambu hampir selalu dijumpai di mana-mana. Bambu itu menjadi begitu berharga dalam masyarakat karena begitu mudah untuk dikerjakan dan dimanfaatkan. Kalau seorang tukang bambu mempunyai satu alat pemotong saja seperti kapak, bendo, mandau, arit, ini sudah cukup. Dengan alat sederhana ini tukang bambu bisa memotong pohon bambu, lalu membuat apa saja yang ia rencanakan, misalnya pagar bambu, rumah dari bambu, tempat tidur, tempat penerangan atau obor, plafon rumah, gardu tempat penjaga.

Lihat saja pada waktu kampanye persiapan pemilu lalu. PDI Perjuangan membuat ribuan gardu pemantau keamanan di daerah-daerah sampai pelosok tanah air kebanyakan dari bahan bambu. Jembatan dari bambu di sungai-sungai daerah pedalaman, semua material yang dipakai pada intinya dari bambu. Kurungan ayam dan burung, kukusan yang dipakai untuk menanak nasi, tembok rumah (gedeg). Keranjang tempat barang, tombak alat keamanan, tempat nasi (wakul), meja kursi, almari atau peralatan rumah tangga lainnya. Segala macam bentuk tudung kepala/topi, payung, dekorasi rumah banyak dibuat dari bambu.

Wanita-wanita Dayak mengenakan beberapa pakaian yang dibuat dari kulit bambu muda. Juga di Minahasa dikenal beberapa sarana dari bambu yang dipakai dalam upacara-upacara keagamaan. Sisir rambut dari bambu yang dipakai dalam upacara-upacara keagamaan. Sisir rambut dari bambu banyak dipakai di Jawa, Kalimantan, Flores, Kepulauan Aru. Jepit rambut dari bambu yang dihias kain masih dikenakan pemudi-pemudi di daerah Batak.

Hiasan kepala dari bambu masih dikenal di daerah Kalimantan Barat dan Lampung. Di Papua Barat bambu dikenal untuk pelindung penis atau disebut koteka. Dan di Teluk Humbold di daerah Papua ornamentum (hiasan) hidung yang dipakai oleh penduduk daerah dibuat dari bambu. Ornamentum bambu banyak dipakai oleh orang-orang Batak.

Alat-alat dari bambu banyak dipakai untuk membawa barang-barang dan ini dinamakan pikulan. Lihat saja pengangkut rombong soto, sate, gule, atau untuk mengangkut barang-barang lain. Alat musik seperti seruling, angklung, banyak pula dipakai dan dikembangkan di negara kita. Ornamentum bambu dari Dayak Sanggau, Kalimantan Barat, dari Mahakam, Kalimantan Tengah, sangat indah dan ini tampak dari cara mengukirnya yang halus dengan desain kembangan yang variatif dan indah. Ini kiranya membutuhkan ketelatenan dan kesabaran dalam mengerjakannya.

Di Sulawesi Selatan bisa pula dilihat ornamentum yang bagus dari bambu. Di Halmahera ornamentum dengan gaya khususnya juga dikembangkan. Dalam upacara-upacara keagamaan penduduk Bali banyak memanfaatkan bambu untuk berbagai variasi gaya.

Tempat-tempat home industry dari bambu di Jawa Timur khususnya bisa dilihat di Magetan antara lain pada keluarga Kiswanto. Di sini diproduksi bermacam-macam alat, sarana, dan ornamentum bambu. Ternyata home industry dari bambu ini sudah merupakan tradisi sejak nenek moyang penduduk setempat. Produksi-produksinya antara lain: capil (topi petani desa), kursi, tempat majalah, tempat tisu, topi turis, tempat kue, baki. Jenis bambunya adalah bambu apus yang berasal dari daerah Panekan (Magetan), Plaosan (Magetan), dan Gandon. Produksinya kebanyakan dilempar ke pasar Sumatra dan Kalimantan.

Sehubungan dengan harga penjualan, harga setempat: capil 1 kodi Rp 35.000; kursi 1 buah  Rp.15.000; Tempat majalah 1 buah Rp 5.000; topi 1 buah Rp 8.000. Kebanyakan yang mengerjakan adalah warga dari keluarga sendiri. Dari sini mereka bisa membangun masa depan hidupnya.

Selain dari itu penulis pernah berkunjung ke desa Sedayu, Sleman, Yogyakarta, karena ada undangan resepsi perkawinan. Setelah resepsi penulis menyempatkan diri untuk meninjau keadaan daerah Sedayu, khususnya tempat-tempat home industry. Ternyata di daerah Sedayu banyak tanaman pohon bambu. Dengan ini bisa dimengerti kalau kerajinan dari bambu juga berkembang banyak. Sudah bertahun-tahun warga Sedayu mengembangkan industri ini.

Dusun yang secara ada home industry-nya ialah di Pucang Anom, Sumber Agung, Sleman, dan Dusun Balangan serta Kebonan. Di daerah-daerah ini dibuat sangkar burung dan ayam, piring, baki, meja, kursi, ornamentum, lampion, tas, keranjang, tempat cucian, alas meja untuk piring. Barang-barang yang dibuat dari bambu ini ada yang di ekspor  ke Jepang, Hongkong, Malaysia, Prancis. Harganya tidak jauh berbeda dengan produksi dari Magetan.

Di Desa Cebongan ada keluarga yang mengelola kerajinan bambu, yaitu keluarga Kudirman. Sampai tahun 1990 usahanya ialah menjual bakso, tetapi setelah itu keluarga tersebut switch home industry kerajinan bambu. Keluarga ini secara khusus membuat meja kursi dari bambu dan bambu yang dipakai adalah Pring Wulung yang didapat dari Sedayu. Cebongan termasuk desa di daerah Mlati, Yogyakarta, dan jaraknya dari Sedayu sekitar 15 km saja.

Sampai sekarang sudah 12 tahun keluarga ini bergerak di bidang kerajinan bambu tersebut. Produksinya tidak hanya dijual di daerah jawa tetapi juga sampai ke Malaysia dan Hongkong. Harga kursi kecil satu set Rp 250.000 dan yang besar sampai Rp 450.000. Masa depan hidupnya bisa dijamin dari Home Industri membuat mabel dari pring (bambu wulung) itu. Pemrosesannya: pring/bambu wulung dicuci dulu lalu dipotong-potong sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu dirakit menurut mabel yang diinginkannya. Produknya dijual sampai ke Jepang, Thailand, Amerika.

Sedang di tempat lain ada lagi keluarga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari Cebongan, yaitu lebih menjurus ke Sedayu. Nama dusunnya Balangan. Nama keluarga itu Tarmudi. Keluarga ini memulai dengan home industry-nya sejak tahun 1974. Tenaga kerjanya kurang lebih 100 orang dan digaji secara borongan. Bahan bambu dicari dari Sedayu. Yang diproduksi antara lain tempat tisu dengan harga Rp 15.000 per buah, tas bambu Rp 15.000 per buah, tempat cucian Rp 100.000 per 12 buah. Alas meja untuk priring Rp 4.000 per buah.

Sebelum terjun ke home industry  kerajinan bambu keluarga ini bergerak di bidang kerajinan yang dibuat dari mendong, enceng gondok, rami, agel. Dari usaha ini hidupnya cerah dan bisa mengentaskan anak-anaknya sampai mandiri dengan masa depan yang baik. Mereka bisa beli mobil dan mempunyai rumah yang baik serta layak dihuni keluarga.

Melihat ini semua hendaknya kita lihat bahwa dalam situasi perekonomian yang masih serba rawan kacau di negara kita, yang banyak mengakibatkan pengangguran, banyak sarjana S1 dan lulusan SLTA terkatung-katung nasibnya serta masa depannya suram, dsb. Sebenarnya apa yang dipaparkan melalui BAMBU itu bisa merupakan salah satu peluang yang bagus untuk masa depan hidup. Orang-orang yang ditemui penulis memulai usaha kecil-kecilan dan dengan modal kecil sederhana. Tetapi berkat fighting spirit yang pantang mundur meskipun untung kecil mereka berhasil merangkak maju.

Mental feodalisme dan fatalisme masih merajalela melanda sementara masyarakat di negara kita dan ini merupakan penghambat untuk mau menerima realitas. Dengan pengalaman tersebut di atas dapat kita rasakan betapa perlu dan pentingnya pelajaran keterampilan/prakarya di dunia pendidikan formal kita. Karena kenyataan yang ada di depan mata kita terlihat jelas, bahwa banyak sekali anak-anak kita yang telah lulus sekolah maupun kuliah dengan mengantongi nilai-nilai pelajaran teori yang baik, dan bahkan sangat baik, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka tergantung dengan lowongan yang ada, dan akhirnya menganggur.

Mereka sungguh-sungguh kasihan kereana tidak mempunyai modal ketrampilan yang lain.  Lain halnya dengan mereka yang belajar di sekolah kejuruan, karena telah mendapat bekal ketrampilan tangan di bidang masing-masing. Misalnya: memasak, membuat sablon, memperbaiki radio, TV, mengerti seluk beluk mesin dan listrik, membuat suvenir untuk pernikahan, dekorasi, dsb, yang dapat dijadikan modal hidupnya, hanya tinggal menambah kemauan berjuang dan keuletan mengembangkan bakatnya untuk akhirnya dapat menciptakan pekerjaan sendiri, dengan usaha kecil menengah (UKM).

Kembali kita lihat contoh keluarga Kurdiman, keluarga Tarmudi, dan keluarga Kiswanto, pendidikan mereka hanya SLTA. Tetapi mereka telah melakukan komunikasi bisnis yang baik, telah menjalin relasi yang sangat luas sampai Hongkong, Jepang, Thailand, Amerika, dsb, dengan membawa nama harum bangsa dan negara Indonesia tercinta. Tentu saja ini semua berkat perjuangan, ketekunan dan ketelatenan serta kreativitas mereka untuk meraih sukses menjadi pengusaha yang mandiri dan mempunyai masa depan cerah.

Kita patut angkat topi dan mengacungkan jempol untuk mereka. Dari sekian banyak hasil produksi dari bahan dasar bambu, yang paling banyak melanglang buana komunikasinya adalah sumpit. Hampir di semua benua ada Chinese restaurant. Baik orang barat maupun orang timur yang makan di situ kebanyakan memakai sumpit. Para turis yang pernah berkunjung ke Indonesia banyak yang membeli kenang-kenangan produk yang dibuat dari bambu. Dengan demikian, kita menjadi warga masyarakat. Think globally and act locally.

Surabaya, 20 November 2014

No comments:

Post a Comment