Sunday, November 23, 2014

Gebyar Tari di HUT Romo Tondo CM

Usia 80 tahun bukan halangan bagi Romo Prof. Dr. John Tondowidjojo Tondodiningrat, CM, untuk berkarya bagi gereja, nusa,  dan bangsa. Imam Lazaris dan guru besar ilmu komunikasi yang akrab disapa Romo Tondo ini tetap aktif berkarya, melahirkan ide-ide kreatif yang patut diapresiasi. Salah satunya dengan menggelar  Gebyar Tari Tradisional Nusantara 2014 di Gedung Kristus Raja, Surabaya. Pentas tari ini untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-80.

Acara dikemas dalam bentuk lomba unjuk kreativitas  tari tradisional  nusantara untuk pelajar Sekolah Dasar Katolik (SDK) di Kota Surabaya. Ada 12 SDK yang berpartisipasi, yaitu SDK St. Aloysius, SDK Stella Maris, SDK St. Theresia I, SDK St. Theresia II, SDK Yohanes Gabriel, SDK Caritas I, SDK St. Maria Regina, SDK St. Clara, SDK St. Angela, SDK St. Yusup Tropodo, SDK St. Xaverius, dan SDK St. Yosep.

 Romo Tondo, yang masih kerabat dekat Raden Ajeng Kartini, pejuang  emansipasi wanita Indonesia, mengajak semua peserta lomba berparade terlebih dahulu saat  pembukaan sambil menyanyikan lagu-lagu daerah seperti Ampar-Ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko. Selanjutnya, menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa. 

Romo Tondo beperan sebagai dirigen. Gaya membiramanya sangat luwes. Hal ini tentu tidak mengherankan karena Romo Tondo ternyata pernah menempuh spesialisasi dalam bidang musik untuk Komposisi dan Dirigen dan Musik Liturgi di Venezia, Italia. Ia juga menulis buku teknik vokal dan dirigen.

Acara berlanjut ke unjuk kebolehan  setiap peserta. Beragam tari tradisional ditampilkan seperti tari Jaipong, Merak, Jaran Kore, Boneka. Siswa-siswi SDK Santo Yusuf, Tropodo, menampilkan Tari Kolaborasi Nusantara dengan kolaborasi tiga jenis tarian, yaitu Ngapoteh dari Madura, Perang dari Pedalaman Dayak, dan Tari Indang Badinding dari Aceh. Ketiga tarian ini diiringi musik live angklung dan gamelan. 

Tarian ini, menurut Ibu Lucy, pembina tari SDK Santo Yusuf Tropodo, diciptakan dengan tujuan meningkatkan persaudaraan, kesatuan, dan persatuan bangsa Indonesia. SDK St. Aloysius  menampilkan tarian Egon Senterewe. Musik yang rancak dan dinamis khas Jawa Timur mengiringi anak-anak menari sejenis Jaranan. Tarian yang  berkembang di daerah Kediri, Trenggalek, Tuluangagung, ini mengutamakan kreativitas gerak, kekayaan, dan kepadatan gerak. Tontonan yang menarik ini  di daerahnya mulai ditinggalkan masyarakat seiring perkembangan zaman.

Para undangan,  pengunjung,  dan peserta lomba tari secara tidak langsung  diajak mengenal dan menyaksikan keanekaragaman budaya Indonesia baik  lewat iringan musik, lagu, dan tari-tarian yang dibawakan oleh para peserta. Hal ini sesuai dengan gagasan dan harapan  Romo Tondo. Pastor senior ini prihatin  karena  di zaman modern ini seni tradisional makin pudar  dan dilupakan orang, khususnya kalangan muda.

Romo Tondo ingin agar  seni tradisional dapat  dilestarikan kembali. Seni tradisional merupakan warisan, harta yang paling berharga untuk tetap dimiliki, dibanggakan, dan dikembangkan. Kegiatan ini  juga diharapkan membantu pemerintah  menumbuhkan rasa nasionalisme sejak dini dalam diri generasi muda.

"Saya  mau, melalui perayaan ulang tahun ke-80  ini,  menyumbangkan sesuatu yang berharga, yang mempunyai nilai untuk nusa  dan bangsa saya melalui  pentas seni  budaya.  Bisa paduan suara, tari tradisional, dan kesenian tradisional lainnya," ujar Romo Tondo. (Lana Sari)

No comments:

Post a Comment