Berita duka berpulangnya Romo Petrus Kukuh Dono Budomo CM atau lebih dikenal dengan sapaan akrabnya Romo Kukuh CM ke rumah Bapa sangat mengejutkan. Banyak orang merasakan duka cita yang mendalam. Duka tidak hanya dirasakan oleh keluarga besar Romo Kukuh CM dan Kongregasi Misi (CM), tetapi juga umat di Keuskupan Manokwari, Sorong, khususnya umat Paroki St. Agustinus Manokwari. Di situlah almarhum mengakhiri perutusannya sebagai misionaris.
Tak terbilang jumlah umat, kenalan, sahabat, guru-guru dan murid-murid sekolah di mana beliau pernah berkarya, biarawan-biarawati dan romo-romo yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir baik saat jenazah tiba di Surabaya, dan disemayamkan di Provinsialat CM, Jalan Kepanjen Nomor 9, Surabaya, ibadat penutupan peti, misa requiem, hingga saat dimakamkan di Pemakaman Romo CM dan Suster PK Griya Martani, Puhsarang, Kediri.
Romo Kukuh CM merupakan sosok seorang misionaris sejati. Beliau selalu rindu untuk bermisi dan Tuhan memanggilnya saat beliau misi. “Kematian Romo Kukuh bukan kematian yang sia-sia, bukan tanpa arti namun memberi teladan bagi kita mengenai semangat kekukuhan/keteguhan hati untuk memberitakan Injil melalui misi. Mari kita mengantarnya dengan salam bahagia. Kematiannya adalah kematian yang indah. Hidupnya singkat namun berarti karena pribadinya yang unggul dan membanggakan," ujar Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono saat misa requiem.
Misa requiem pada 19 Mei 2014 berlangsung di Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria Surabaya. Misa dipimpin Uskup Surabaya Mgr. Sutikno Wisaksono didampingi Romo Robertus Wijanarko CM (Provinsial CM), Romo Harsono (mewakili Keuskupan Manokwari-Sorong), Romo Alex CM (rekan misionaris di Manokwari), dan romo-romo rekan tahbisan seangkatan dengan Romo Kukuh CM.
Misa requiem diawali dengan tampilan slideshow mengenai Romo Kukuh CM semasa hidup dan pembacaan riwayat hidup oleh Romo Rudy CM.
Dalam homili, Romo Sukaryono CM menyampaikan bahwa 52 tahun hidup Romo Kukuh, 13 tahun pengabdian imamat menjadi terasa singkat dan cepat bagi mereka atau siapa saja yang pernah berjumpa dan mengenalnya. Romo Kukuh senantiasa menampilkan kesederhanaan dirinya baik di tengah umat maupun di tengah komunitas. Dia hadir sebagai sahabat bagi semua orang dan dalam setiap pelayanan selalu berusaha memberikan segalanya tanpa menyisakan satu hal pun dalam dirinya.
Yang paling mengesankan dari pribadinya adalah kekerasan hatinya, lebih-lebih bila meyakini suatu hal yang berkaitan dengan kehendak Tuhan bagi-Nya. Apa yang telah dia miliki akan dilepaskannya walaupun telah diraihnya dengan susah payah. Perjuangannya menjadi guru tidak mudah. Namun, ketika panggilan Tuhan begitu kuat, dia tinggalkan semuanya dan tak seorang pun sanggup menghalanginya. Begitu pula Romo Visitator pun tak mampu membendung keinginannya untuk misi di Manokwari-Sorong menggantikan Romo Harsono yang mendapat tugas belajar dari Uskup Sorong walau kesehatannya tidak terlalu bagus.
Keinginannya yang luar biasa itu karena dia sungguh-sungguh mengimani Kristus sebagai guru, Tuhan yang harus ditaati. “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup, sekalipun sudah meninggal. Dan setiap orang yang hidup dan percaya, akan hidup selama-lamanya.”
Kenangan akan Romo Kukuh tidak akan hilang dari hati kita semua. Kenangan akan sapaan, semangat persaudaraan, canda dan ceplas-ceplosnya akan selalu dikenang. Romo Kukuh mencintai orang miskin, namun tidak menutup hati bagi orang kaya. Romo Kukuh menjadi jembatan sehingga tercipta silahturami antara orang miskin dan orang kaya seperti yang diteladankan oleh St. Vinsensius. Teladan iman dan semangatnya akan selalu membuatnya hidup dan dikenang di hati setiap orang.
Bagi komunitas, kami akan selalu mengenang dan mencintainya serta meneruskan kerinduan Romo Kukuh untuk bermisi. Belajar menghidupi apa yang diyakininya. Romo Kukuh beristirahatlah dalam damai. Doakanlah kami agar sepertimu untuk memberikan segalanya tanpa tersisa untuk umat, masyarakat dalam pengabdian untuk kemuliaan Tuhan. Selamat jalan, Romo Petrus Kukuh Dono Budomo CM. Selamat jalan sang misionaris sejati. RIP. (*)
"Mati di Daerah Misi adalah Kebahagiaan Besar Bagiku!”
Petrus Kukuh Dono Budono lahir di Madiun, 26 Juli 1962 dari pasangan Bapak Wage Soediro dan Ibu Watiningsih. Dia anak kedua dari tujuh bersaudara. Ketika masih remaja Kukuh mulai aktif sebagai misdinar sekalipun belum dibaptis. Berkat persahabatan dengan teman-teman misdinarnya dan dukungan kedua orang tuanya, Kukuh dibaptis saat dia menjalani pendidikan SMP. Dalam kelompok misdinar dan dalam bimbingan Romo Amici CM, dia mulai mengenal pelayanan.
Semangat pelayanan dalam diri Kukuh terus bertumbuh. Saat menjalani kuliah di UNS Surakarta, dia melihat banyak anak muda Katolik yang menghadapi tantangan iman. Dia merasa terpanggil untuk menyelamatkan iman teman-temannya dengan menjadi anggota kelompok pendalaman iman.
Meskipun pada awalnya ia hanya dilibatkan dalam hal-hal sederhana seperti mengedarkan undangan, menjemput dan mengantarkan pulang anggota-anggota putri dari kelompok pendalaman iman tersebut, namun semua itu dia lakukan dengan sepenuh hati. Keterlibatannya dalam kelompok pendalaman iman ini membawanya sampai kepada sebuah penemuan dan keprihatinan: banyak kaum muda Katolik mengalami tantangan iman karena sedikitnya tenaga katekis dan pastor.
Pengalaman iman pribadi itu ternyata tidak berhenti di situ saja. Ia selalu mendengar pertanyaan dari dalam hatinya: “Bagaimana dengan kamu?Maukah kamu menjadi katekis atau pastor?”
Saat pertanyaan tersebut terus mengusiknya, ia mencoba mematikan pertanyaan tersebut dengan meyakinkan dirinya bahwa menjadi guru kimia jauh lebih terhormat daripada menjadi guru agama. Ia juga pernah berusaha untuk mematikan pertanyaan tersebut dengan berjanji bahwa setelah lulus dan mengajar di SMA, dia akan membina iman anak-anak Katolik. Janji tersebut benar-benar ia lakukan saat ia mengajar di SMAK St. Loius, Cepu, namun ternyata semua itu tak dapat menghentikan kegelisahan hatinya.
Itulah yang akhirnya membuatnya berpikir untuk menjadi pastor.
Langkah pertama menapaki hidup panggilan dirasakannya tidak mudah. Dalam sebuah tulisannya ia menggungkapkan: “Meninggalkan pekerjaan dan anak-anak didik serta anak-anak binaan iman ternyata tidak mudah. Rekan-rekan guru, murid-murid maupun keluarga mencoba meminta saya untuk tetap bekerja sebagai guru dan membina iman anak-anak Katolik dan mengurungkan niat untuk masuk seminari. Saya hanya bisa menjawab mereka: Siapa yang dapat mematahkan keinginan Tuhan, bila Ia telah menghendaki; bahkan diri saya sendiri tak mampu untuk menahan kehendak-Nya.”
Kukuh memutuskan untuk menjadi calon imam Kongregasi Misi (CM). Sekalipun banyak kesulitan dalam masa pembinaan sebagai calon imam, dia tetap belajar setia dan mengerjakan hal-hal kecil dengan sekuat tenaga. Untuk memperbesar perjuangannya, dia selalu mengutip kata-kata pemazmur: "Yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan sorak-sorai” (Mzm 126:6).
Kutipan ini menunjukkan bahwa dia adalah pribadi yang dekat dengan sabda Tuhan dan seorang pendoa. Akhirnya, dia menerima tahbisan imamat pada usia 39 tahun, pada tanggal 15 Agustus 2001 dengan motto imamat: ”Ini aku, utuslah aku Tuhan”.
Sejak dalam masa pembinaan, Kukuh sangat berharap kelak menjadi seorang imam yang tinggal di tengah pemukiman orang miskin. Keinginan ini tidak lain merupakan kerinduan terdalamnya untuk menjadi seorang misionaris. Setelah ditahbiskan sebagai imam, dia menjadi misionaris di Kalimantan Barat. Dia melayani umat dan membina calon iman di daerah misi (Seminari Menengah St. Yoh. Maria Vianney-Keuskupan Sintang, Kalimantan Barat), 2001-2007. Dia juga belajar setia menjadi sahabat yang baik bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam hidup dan panggilannya.
Semangat misioner ini selalu hidup dalam diri Romo Kukuh. Ketika masih menjalani perutusan di SMAK St. Louis 2 dan melayani umat di Keuskupan Surabaya, Romo Kukuh menyampaikan keinginannya kepada visitator dengan berkata: ”Meskipun saya sudah tua, saya tetap ingin bermisi di PNG”.
Meskipun tidak mudah baginya untuk belajar bahasa, namun karena keinginannya yang besar untuk bermisi, Romo Kukuh mau diutus belajar di Chicago, USA. Ketika mengetahui bahwa kondisi kesehatannya tidak memungkinkan dia segera berangkat menjadi misionaris di PNG, Romo Kukuh menangis. Dia menjelaskan tangisannya itu kepada Romo Jauhari CM: ”Saya rindu untuk bermisi, namun mungkin tidak jadi pergi ke PNG karena kesehatan saya”. Dia sungguh mencintai daerah misi.
Sepulang dari Chicago, semangat menjadi misionaris tetap menjadi sikap batin Romo Kukuh. Ketika Romo Visitator menanyakan kesehatan dan kesiapannya untuk menanggapi pelayanan pastoral paroki di Keuskupan Manokwari-Sorong, Papua Barat selama 3 bulan, dia mengatakan bahwa kesehatannya baik dan siap menanggapi kebutuhan tersebut. Ketika Romo Paulus Dwintarto CM mempertanyakan keputusannya untuk pergi ke Manokwari dengan berkata: ”Kuh, mengapa nggak istirahat saja di Kepanjen?”, dia menjawab: ”Di sana aku juga beristirahat sambil tetap bisa melayani di paroki”.
Dan juga ketika Romo Agustinus Ubin CM mempertanyakan keputusannya untuk berangkat ke Manokwari dalam keadaan tidak sehat, dia berkata: ”Tuhan menghendakinya. Bahkan, jika mati di daerah misi, itu adalah kebahagiaan besar bagiku!”
Romo Petrus Kukuh Dono Budomo CM mengakhiri perutusannya sebagai misionaris di dunia ini pada hari Jumat, 16 Mei 2014, pukul 10.50 WIT di Manokwari, Sorong, Papua Barat. Menyimak perjalanan hidup dan perutusan Romo Kukuh Dono Budomo CM, kita menemukan bahwa dia adalah seorang guru. Dia mengajarkan “Keterbatasan diri bukanlah alasan untuk tidak mencintai Allah dan bermisi” (Lana Sari)
No comments:
Post a Comment