Selama 17 hari, 11-27 Agustus, dua wakil dari Keuskupan Surabaya, RD Siprianus Yitno (Paroki Wilibrordus, Cepu) dan Antonius Nurdianto (Paroki St. Yosep, Ngawi) mengikuti Training Kepemimpinan Ekologis di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Keduanya mewakili aktivis peduli lingkungan dan pendamping petani di tempatnya masing-masing. Kegiatan ini bertema Kita Diciptakan karena Cinta dan Dipanggil untuk Mencintai Seluruh Ciptaan-Nya.
Peserta training ada 11 biarawati (ADM, CB, FCJ, OP, FSGM, JMJ, PRR) serta 11 imam (SVD, SJ, diosesan). Mereka bekerja di berbagai bidang seperti pendamping OMK, pemimpin postulan, TOR, novisiat, biara, tarekat, kongregasi religious, paroki, sekolah, yayasan, organisasi/ komunitas, lembaga kemanusiaan (Caritas), petani, pendidik/dosen, petugas pastoral, imam, ekonom, administrator, konsultan lingkungan hidup/penanggulangan bencana, dan moderator pengembangan sosial ekonomi dan peneliti.
Setiap pagi, peserta melakukan meditasi menyambut matahari terbit, makan pagi, melakukan praktik membumi di alam, mendengarkan dan mengolah beragam isu ekologis mulai dari krisis ekologis, penyebab, perlunya pertobatan ekologis melalui eko-pastoral, teologi ekologis, serta menelaah berbagai gagasan. Gagasan ekologis itu diambil dari pokok-pokok pikiran Dr. Thomas Berry CP mengenai spiritualitas ekologi dan kosmologi kristiani, ensiklik dan ajaran para Paus (Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus) mengenai isu lingkungan hidup.
Para peserta diperkaya dengan informasi tentang eco camp, pembuatan kompos, kelestarian suatu desa, manfaat tanaman sebagai obat, pengelolaan sampah kota berbasis masyarakat, Happy Planet Index, hidup hijau di kota yang hijau, draft Sasaran pembangunan Milenium 2000-2015 dan sasaran pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2016-2030.
Tidak hanya itu. Mereka juga memperlajari produk hukum seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Nota Pastoral KWI 2013 tentang Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan. Para pesera disegarkan dengan sajian film seperti Message from Space, Home, The Trashed, The Journey, Marga Agung, The Penguin, dan The Burning Season.
Peserta mengunjungi Dusun Serut, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, bertemu Bapak Toba dan Bapak Sunarto yang mempraktikkan pertanian dan pengelolaan desa organik. Selanjutnya, mereka ke Ganjuran bertemu Romo G. Utomo dan merayakan ekaristi di Biara Carolus Borromeus. Peserta didampingi, dilatih, dan diberi masukan oleh Sr. Elly Verrijt, MMS, Sr. Amelia SGM, Romo H. Budiarto Gomulya SJ, Romo Dr. St. Ferry Sutrisna Wijaya, Rm. P. Sunu Hardiyanta SJ, dan Romo Dr. T. Krispurwana Cahyadi SJ. Peserta juga saling berbagi pengetahuan, keprihatinan, pengalaman serta berbagi hasil olah rasa, nalar, dan batin.
*****
Kepemimpinan ekologis didasarkan pada kepemimpinan Yesus yang datang untuk melayani dan melibatkan diri sendiri secara aktif dan kreatif. Bukan untuk dilayani. Seseorang sungguh-sungguh belajar memahami, menyadari, menerima identitas dan keberadaan diri dalam seluruh ciptaan. Mereka diajak menyadari bahwa "I am part of the universe. I belong to the universe."
Karena itu, diperlukan sikap memaknai kehidupan ekologis melalui contoh dan teladan hidup, rendah hati, sederhana, peduli, peka, bertanggung jawab, integral, berfokus pada bumi, menghargai dan menghormati keragaman sesama, alam, solider, alamiah, gembira, mendengarkan bumi, tidak mengeluh, melainkan menemukan peluang, rela berkorban (heroic-creatio via creativa), menjadi transformer, penghubung dan penyalur dengan segala ciptaan.
Pemimpin ekologis memulai dari diri sendiri, memimpin diri sendiri mengenali krisis ekologis, mengenali peran diri pribadi dan orang lain serta pelaku lainnya dalam krisis itu. Langkah berikut, mereka mengenali faktor-faktor yang menyebabkan, menyadari asal muasal diri dalam konteks jagad raya, mengalami dan menjalani pertobatan ekologis serta mulai melakukan tindak keadilan ekologis dari langkah-langkah kecil sehari-hari.
Dengan demikian, ia mengubah asumsi dan gaya hidup diri serta menemukan peluang mengadakan perubahan bersama yang lain. Pemimpin ekologi bersama dengan seluruh pihak tanpa memandang agama/kepercayaan, golongan, partai, suku, aliran politik, sebagai sesama saudara, mempelajari proses terjadinya kosmos hingga evolusi sampai terjadinya bumi. Mereka mengenali nilai-nilai spiritual keutuhan ciptaan, keberagaman, latar belakang, kebutuhan, semangat belajar dan aksi, kerusakan bumi. Upaya yang dilakukan melangkah untuk menyelamatkan bumi ini secara bersama demi keutuhan ciptaan.
Peserta disadarkan akan pencemaran air, udara, dan tanah. Peserta mengalami sulit mencari air, menghirup udara segar, melihat langit biru, penduduk asli terpinggir dan menjadi miskin, yang hidup di sekitar hutan maupun wilayah tambang mengalami persaingan antarmanusia, fauna dan flora yang beraneka ragam rusak, hutan yang rusak meluas dan terumbu karang mati. Ibu Bumi dan ciptaan lain mengalami kerusakan masif yang diakibatkan pengambilan sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Musim yang berubah dan pemanasan global semakin membawa dampak. Sampah-sampah berserakan baik di kota maupun di desa.
Semua itu disadari karena nilai hidup, keyakinan dasar, asumsi, pengandaian, sikap, pilihan, keputusan dan gaya hidup semakain konsumtif, serba cepat, individialistik, sekularistik dan hedonistik. Manusia tercerabut dari relasi dengan ibu bumi. Manusia ikut membuahkan kondisi di atas, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pusat perhatian kita masih antroposentrik, belum ekosentrik. Peraturan dan perundangan sudah ada tetapi belum ditegakkan dan tidak jarang pemihakan kepada keserakahan oknum. Dunia usaha transnasional, nasional, lokal dan pejabat pemerintahan serta para pemimpin organisasi, masyarakat, keagamaan, religius merupakan faktor pendorong. Nilai, kebijakan, program, pembangunan fisik dan praktik yang berpusat pada manusia, tidak berpihak pada keutuhan ciptaan. Peserta sampai pada kesadaran untuk memimpikan keutuhan ciptaan dan pulihnya keserasian hubungan manusia dengan seluruh ciptaan-Nya.
Pada bagian akhir, peserta merencanakan penghayatan dan mengkampanyekan hidup sederhana dan ekologis melalui pembicaraan pribadi, kuliah, bimbingan, program pembinaan, diskusi kelompok, perayaan musim, seminar, lokakarya, retret sesuai peran masing-masing. Peserta menyadari betapa penting mencintai, menjaga, memelihara alam sekitar komunitas dengan pengolahan sampah, mengumpulkan biji-bijian dan penghijauan. Mereka dapat saling berbagi informasi tentang kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam tempat di tinggal, memberdayakan lahan tidur di sekitar secara organik, menanam pohon, sayur, tanaman obat dan tanaman pangan.
Peserta memiliki sasaran bahwa rencana ini terutama untuk diri kami sendiri, komunitas terdekat, tetangga, paroki, RT/RW, sekolah, biara, karyawan/karyawati, umat, kaum muda, anak-anak, kaum perempuan, para pemimpin masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan serta program pembangunan daerah dan nasional. Peserta juga akan menyediakan diri terlibat sesuai kemampuan bila diperlukan, dengan selalu meningkatkan kemampuan mengenai ekologi.
(Antonius Nurdianto, pendamping petani dan aktivis lingkungan)
No comments:
Post a Comment