Oleh Fr. Felix Brilyandio, CM
Mahasiswa Semester IV STFT Widya Sasana, Malang
Dalam buku Misa pada Hari Raya Santa Maria Dikandung Tanpa Noda (1983:1912), pada doa pembuka tertulis: “Guna menyediakan kediaman yang pantas bagi Putera-Mu yang akan menjelma, Engkau telah melindungi Santa Perawan Maria terhadap segala noda dan cela.” Maria dipilih untuk menjadi Bunda Allah, dan sebagai Bunda Allah ia kudus serta bebas dari segala noda dan cela.
Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa “Bunda yang dikandung tanpa noda” mengacu pada perawan yang mengandung Yesus oleh Kuasa Roh Kudus. Mengandung dari Roh Kudus serta keperawanannya yang utuh dan tidak bercela menjadi dasar baginya untuk disebut sebagai “yang dikandung tanpa noda”. Pandangan semacam ini keliru. Dogma Maria dikandung tanpa noda mengacu pada peristiwa dikandungnya (conceptio) Maria oleh St. Anna. Sejak awal perkandungannya, Maria telah dikuduskan. Dari awal ia “kudus tak bercela” (ef. 5:27).
Keyakinan akan kekudusan Maria sejak dalam kandungan ibunya berbenturan dengan pandangan tentang dosa asal. Sebagaimana manusia lain yang adalah keturunan Adam, Maria tentu tidak luput dari dosa asal. Keberadaannya sebagai manusia menjadi dasar bagi dirinya untuk turut terkena dosa tersebut (Groenen, 1988:78). Namun, bagaimana mungkin Maria dapat menjadi sarana yang pantas bagi Roh Kudus dan melahirkan seorang anak yang tak bernoda, jika ia sendiri berdosa dan bercela? Bagaimana menjelaskan persoalan ini? Lantas, yang mejadi pertanyaan selanjutnya adalah apa maksud dari keyakinan bahwa Maria telah dikuduskan sejak dia dikandung? Atau secara lebih jelas, apa arti dan maksud dari dogma Maria dikandung tanpa noda?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menanggapi persoalan yang muncul mengenai dogma ini, dalam paper ini penulis berusaha menggali sejarah dan perkembangan, serta pokok-pokok ajaran tentang Maria dikandung tanpa noda. Selain itu, ketertarikan penulis untuk membahas mengenai dogma Maria dikandung tanpa noda ini juga didasarkan pada keinginan untuk menggali makna teologis yang terkandung dalam dogma ini, yang mana kiranya menjadi bahan refleksi yang penting bagi umat beriman dalam mengikuti Kristus di tengah tantangan zaman yang semakin berkembang.
Sejarah dan Perkembangan Ajaran Maria Dikandung Tanpa Noda
A. Muncul dan Berkembangnya Ajaran dalam Tradisi
Penentuan dogma Maria dikandung tanpa noda didasarkan pada sensus fidei (penghayatan iman atau ajaran iman), dimana ”suara” atau kesadaran Bapa-Pujangga Gereja menjelaskan bahwa kebenaran ini tidak bertentangan dengan sabda dan rencana keselamatan Allah (Salvatore M. Sabato, 2006:121). Ajaran ini sebenarnya telah diyakini oleh Gereja sejak abad awal. Kesaksian pertama tentang kelahiran Maria secara ajaib terdapat di dalam Proto-Injil Yakobus (Ibid.,119). St. Ireneus (abad ke-2) dalam buku ”Againts Heresies, V, The New Creation in Christ” menjelaskan Maria sebagai Hawa yang baru. Menurut Ireneus, ketaatan total Maria dimungkinkan oleh ketotalan kemurniannya tanpa dosa asal:
“Hawa, dengan ketidaktaatannya (karena berdosa) mendatangkan kematian bagi dirinya dan seluruh umat manusia . . . . Maria dengan ketaatannya (tanpa dosa) mendatangkan keselamatan bagi dirinya dan seluruh umat manusia . . . . Oleh karena itu, ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.”
Origenes (tahun 244) dalam Homily I menjelaskan: “Bunda Perawan dari Putra Tunggal Allah ini disebut sebagai Maria, yang layak bagi Tuhan, yang tidak bernoda dari yang tidak bernoda, hanya satu-satunya.”
Sekitar tahun 430, ajaran mengenai dosa asal mulai diketengahkan secara tegas oleh Agustinus dalam perdebatannya dengan Pelagius. Pelagius membantah bahwa orang-orang dapat menjadi kudus melalui usaha pribadi dengan “dibantu oleh rahmat.” Ia menekankan bahwa manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri asalkan memiliki kemauan dan usaha yang keras (kehendak kuat). Agustinus tidak setuju dengan pandangan Pelagius tersebut. Menurutnya, Pembaptisan lebih dari pada pembebasan kehendak untuk menaati Allah secara penuh serta pembebasan dari dosa asal (Alfred McBride, 2004:129). Dari perdebatan itu muncul pertanyaan, “Apakah Maria mewarisi dosa asal?”
Sebelum ajaran tentang dosa asal matang dan mulai dikenal oleh umat beriman, para pujangga Gereja kuno tidak berani mengatakan sesuatu tentang caranya Maria dikandung tanpa noda. Mereka hanya menjunjung tinggi kekudusan Maria pada umumnya, tanpa membahas tentang ajaran Maria yang dikandung tanpa noda (Groenen, Op.cit., 81).
Ajaran tentang dosa asal baru ditetapkan secara definitif dalam Konsili Trente pada tahun 1545. Cara Konsili Trente memikirkan ajaran dosa asal dan bagaimana pengalihannya terpengaruhi oleh pendekatan Agustinus. Karena dosa Adam dan Hawa, manusia kehilangan kekudusan yang asli dan dilahirkan dalam kondisi kehilangan rahmat. Menurut Agustinus, dosa asal dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu. Sehingga setiap manusia karena lahir dari manusia pasti terkena dosa asal. Dosa asal dapat dibebaskan hanya dengan pembaptisan. Oleh karena, itu arah pembahasan mengenai dosa asal hendak menunjukkan bahwa satu-satunya penyelamat adalah Yesus Kristus, dan semua manusia membutuhkan Dia.
Karya penebusan Kristus sungguh-sungguh universal, mencakup semua manusia dari awal hingga akhir (Ibid., 82). Agustinus memang membela kesucian Maria, tetapi tidak sampai meluputkannya dari dosa asal (Ibid., 84).
Ajaran tentang dosa asal tersebut jelas menghambat perkembangan ajaran Maria dikandung tanpa noda. Para pujangga dan teolog Gereja tampaknya agak kesulitan menerima bahwa Maria terluput dari dosa asal, sebab jikalau demikian maka Maria tidak memerlukan karya penebusan Yesus Kristus (Ibid., 83). Proses Maria dikandung telah membuat dia sama dengan manusia lain, sehingga dia merupakan seorang pewaris dosa asal. Maka sebagai ciptaan dia tentu membutuhkan penebusan.
Lantas, bagaimana memecahkan persoalan ini? Jalan keluar kesulitan tersebut dijelaskan oleh Dun Scotus (1265-1308). Menurut Dun Scotus, Maria tetap memerlukan karya penebusan Yesus Kristus. Tetapi penebusan Maria terjadi secara istimewa sehingga ia menjadi terluput dari dosa asal. Bentuk yang paling sempurna dari penebusan ini adalah melindungi Maria dari dosa tersebut (Alfred McBride, Op.cit., 129). Namun pemikiran Dun Scotus tersebut belum dapat diterima secara umum. Sebaliknya, justru muncul perdebatan di antara para teolog yang tidak menerima pengecualian Maria terkena dosa asal, dan para teolog yang berupaya memakai dan memenangkan pendekatannya masing-masing.
Ajaran Maria dikandung tanpa noda pertama kali dirintis oleh Paus Sixtus IV (tahun 1476). Konsili Trente (tahun 1546) menegaskan bahwa penetapan dogma tentang dosa asal tidak mencakup Maria. Pada tahun 1567 Paus Pius V menolak pendapat Bayus bahwa hanya Kristus yang terluput dari dosa asal, sedangkan Maria tidak. Pada tahun 1620 Paus Paulus V melarang segala bentuk serangan terhadap ajaran Katolik tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal. Paus Alexander VII pada tahun 1661 menetapkan perayaaan Pesta Maria dikandung tanpa noda. Pesta itu diwajibkan untuk seluruh Gereja Latin (Groenen, Log.cit.). Tahun 1659, Paus Inosensius XII setuju diadakannya sebuah perayaan untuk menghormati perawan tidak bernoda untuk seluruh Gereja. Tahun 1708, Paus Klemens XI bahkan memberlakukan hari peringatan itu sebagai hari libur wajib (Alfred McBride, Op.cit., 131).
B. Penetapan Dogma
Pada awal masa kepausannya, Paus Pius IX menerima banyak permintaan akan penetapan doktrin yang pasti tentang Maria dikandung tanpa noda. Ia sendiri terkesan dengan isi sebuah buku yang berjudul Can it be Defined by Dogmate Degree? yang ditulis oleh Giovanni Parrone mengenai perawan yang dikandung tanpa noda. Tulisan itu mendorongnya untuk membentuk sebuah komisi para kardinal dan teolog yang bertugas sebagai penasihatnya. Para penasihatnya tersebut mendorongnya untuk menetapkan dogma Maria dikandung tanpa noda.
Oleh karena itu, Paus Pius IX meminta pendapat uskup seluruh dunia. Untuk tujuan ini dia menulis ensiklik Ubi Primum dan mengirimkannya kepada para uskup pada tahun 1848. Sekitar 603 uskup mengadakan perundingan, dan 543 uskup mendukung untuk menetapkan ajaran itu. Empat uskup menentang, dan sisanya abstain. Sejak tahun 1850 hingga 1854 Paus Pius IX memeriksa tujuh konsep dokumen yang diusulkan bagi penetapan ajaran tersebut. Lima dari konsep itu dikerjakan oleh sebuah komisi yang beranggotakan 21 kardinal dan sejumlah besar teolog (Ibid., 136).
Setelah mengadakan sejumlah amandemen, akhirnya pada 8 Desember 1854 Paus Pius IX menetapkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda melalui konstitusi apostolik Ineffabilis Deus. Dengan demikian, ajaran Maria dikandung tanpa noda diyakini sebagai kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Definisi dogma ini adalah sebagai berikut.
”We declare, pronounce, and define that the doctrine which holds that the most Blessed Virgin Mary, in the first instance of her conception, by a singular grace and privilege granted by Almighty God, in view of the merits of Jesus Christ, the Savior of the human race, was preserved free from all stain of original sin, is a doctrine revealed by God and therefore to be believed firmly and constantly by all the faithful.
(Kami menyatakan, mengucapkan, dan mendefinisikan bahwa doktrin yang menyatakan bahwa Perawan Maria yang Kudus, sejak pengandungan pertamanya, dengan karunia yang tunggal dan hak istimewa yang diberikan oleh Allah Yang Mahakuasa, mengingat jasa-jasa Yesus Kristus, Juruselamat umat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal, adalah sebuah dogma yang sudah diwahyukan oleh Allah dan karena itu harus diyakini dengan teguh dan terus-menerus dipertahankan oleh semua umat beriman).”
Dalam ensiklik Beato Pius IX tersebut dijelaskan bahwa alasan tertinggi penentuan dogma ini adalah karena Maria melahirkan Yesus, Putra Allah.
“Dan memang sepenuhnya pantas dikatakan mengenai hal ini bahwa begitu indah seorang ibu sebaiknya selalu gemilang dengan kemuliaan kekudusan yang paling mulia yang didapat dari Anak-Nya dan maka sebab itu sehingga benar-benar bebas dari semua noda dosa asal bahwa dia akan benar-benar mengalahkan si ular tua.”
Menurut Romo Dr. C. Groenen, OFM, salah satu alasan penetapan dogma ini adalah bahwa pada dasarnya Allah memberi Maria segala rahmat yang mungkin diberikan. Rahmat itu (dalam ajaran Katolik) melindungi Maria terhadap noda asal (Groenen, Log.cit.). Maria terlindung dari dosa asal karena ia adalah pilihan Allah. Oleh karena rahmat sebagai orang terpilih itu berasal dari Allah, maka dogma ini sebenarnya hendak menunjukkan gagasan dan keyakinan bahwa Maria tidak kurang adalah manusia biasa yang membutuhkan Kristus dan karya-Nya, agar ia bebas dari dosa asal dan selamat.
Karena dosa asal pada diri manusia, rahmat yang diberikan Allah selalu mental. Tetapi pada Maria, oleh karena ia bebas (terlindungi, tercegah) dari dosa asal, maka rahmat Allah itu terus masuk dalam diri Maria sehingga ia disebut sebagai “penuh rahmat”.
Seperti yang dijelaskan dalam dogma, kasus Maria memang unik dan unggul. Dogma tersebut menjelaskan tentang keistimewaan tunggal (singulari gratia et privilegio). Jadi diandaikan bahwa Allah hanya sekali mengecualikan seorang manusia dari nasib umum terkena dosa asal. Dialah ibu Yesus, Maria. Dogma juga tidak mengatakan bahwa ”harus” demikian. Keistimewaan Maria tidak dapat digambarkan dengan logika belaka. Keistimewaan itu dijabarkan dari kedudukan dan peranan unik Maria dalam tata penyelamatan, yang mana dalam dogma dijelaskan dengan kata ”pantas”, ”layak”, ”patut” (docebat) (Ibid., 80).
Empat tahun kemudian, tepatnya pada 25 Maret 1858, Bunda Maria menampakkan dirinya kepada seorang gadis berumur 14 tahun bernama Bernadette Soubrius dalam gua di Lourdes, Prancis. Penampakan Bunda Maria kepada Bernadette ini terjadi selama 18 kali. Penampakan Maria ini diakui oleh Gereja Katolik sebagai penampakan yang otentik. Dalam penampakan yang ke-16, Maria baru menyatakan dirinya kepada Bernadette: ”Que soy cra Immaculada Coucepciou (Maria sebagai Perawan yang dikandung tanpa noda dosa)” (Wilfried Stinissen, 1985:18). Pernyataan dari Maria ini mengkonfirmasi ajaran Paus Pius IX, dan dengan demikian juga membuktikan infalibilitas ajarannya tersebut.
Ajaran Tentang Dosa Asal dan Dogma Maria Dikandung tanpa Noda
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (sub-bab tentang muncul dan berkembangnya ajaran dalam tradisi), bahwa dogma Maria dikandung tanpa noda tidak dapat dilepaskan dari ajaran tentang dosa asal. Ajaran tentang dosa asal seperti “menghambat” perkembangan ajaran Maria dikandung tanpa noda.
Karena dosa Adam dan Hawa, manusia kehilangan kekudusan yang asli dan dilahirkan dalam kondisi kehilangan rahmat. Menurut Agustinus, dosa asal dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu, sehingga setiap manusia karena lahir dari manusia pasti terkena dosa asal. Ketika Agustinus menyusun ajaran-ajarannya mengenai dosa asal dan cara-cara dosa asal diwariskan, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana hal ini diterapkan pada Maria? Bukankah sebagai manusia ia membutuhkan keselamatan dan penebusan seperti orang-orang lain? Apakah dia dikandung dan dilahirkan dalam dosa asal? Jika demikian, bagaimana kita menyebutnya “Maria kudus tidak bercela dalam segala hal?” Mengenai hal ini ia membuat sebuah pengecualian dalam kasus Maria. Dalam “Nature and Grace” Agustinus menjelaskan:
“Kita harus membuat pengecualian mengenai Perawan Maria yang kudus, yang mengenainya, saya tidak memberikan pertanyaan ketika menyinggung persoalan dosa, karena rasa hormat kepada Tuhan. Karena dari-Nya kita mengetahui betapa berlimpahnya rahmat untuk menghapus dosa dalam bentuk apapun . . . . dianugerahkan kepadanya yang pantas untuk mengandung dan melahirkan Yesus yang tidak berdosa.”
Agustinus tidak menjelaskan lebih lanjut pengecualian ini. Persoalan ajaran tentang dosa asal dan ajaran Maria dikandung tanpa noda masih mengalami kebuntuan dan belum terpecahkan. Jika Maria terluput dari dosa asal, berarti dia tidak memerlukan penebusan Yesus Kristus. Padahalnya, proses Maria dikandung telah membuat dia sama dengan manusia lain, sehingga dia merupakan seorang pewaris dosa asal. Maka, sebagai ciptaan dia tentu membutuhkan penebusan. Bagaimana memecahkan persoalan ini?
Jalan keluar kesulitan tersebut dijelaskan oleh Dun Scotus (1265-1308). Scotus menjelaskan bahwa apapun yang mungkin dan sungguh layak bagi Allah untuk dilakukan, Ia melakukan itu. Menurutnya, adalah mungkin bagi Allah untuk melindungi Maria dari dosa asal. Yesus, Putranya, adalah Penebus yang paling sempurna. Dia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk melakukan penebusan terhadap seorang ciptaan, tentu terhadap ibu-Nya. Bentuk yang paling sempurna dari penyelamatan ini adalah melindungi Maria dari dosa asal. Rahmat perlindungan tidak menghilangkan dosa asal. Namun, rahmat itu mencegah dosa asal. Maria membutuhkan Yesus sebagai penyelamat untuk melindunginya dari dosa asal. Scotus tidak menghadapi masalah yang dihadapi para teolog. Namun, dia memberikan sebuah alternatif brilian yang berlaku pada
tahun 1854 (Alfred McBride, Log.cit.).
Dosa asal juga dapat dihubungkan dengan solidaritas atau kesetiakawanan yang terjalin antara semua manusia. Kesetiakawanan tersebut berlangsung sehubungan dengan keburukan (dosa) manusia. Solidaritas atau kesetiakawanan dalam dosa (kejahatan) tidak hanya mengganggu relasi antar manusia di garis horizontal, tetapi juga relasi antara manusia dan Allah di garis vertikal. Maka solidaritas negatif antara manusia mempunyai ciri dosa teologal, sehingga solidaritas negatif antara manusia mengganggu atau menghalangi relasi manusia dengan Allah. Jadi, pengertian dosa asal di sini adalah solidaritas negatif antara manusia. Solidaritas itu menghalangi manusia dalam menanggapi tawaran diri Allah.
Dalam iman Kristiani juga diakui mengenai solidaritas positif antara manusia yang didasarkan pada solidaritas dengan Yesus Kristus. Secara lahiriah Yesus terkena solidaritas negatif antara manusia, dan puncaknya pada kematian-Nya di salib. Kenatian Yesus merupakan akibat dari solidaritas negatif-Nya dengan manusia. Namun dengan kebangkitan-Nya dari orang mati Allah meluputkan Yesus dari solidaritas negatif, sehingga solidaritas Yesus dengan manusia menjadi solidaritas positif antara manusia dan Yesus (Groenen, Op.cit., 87-88).
Sebagai manusia, Maria solider dengan manusia lain dalam keburukan dan kemalangannya. Maria tetap terlibat dalam nasib malang manusia (penderitaan, kesedihan, kematian). Namun oleh karena relasinya yang unik dengan Putera-Nya, Yesus Kristus, solidaritas negatif tersebut tidak mempengaruhi relasinya dengan Allah. Karena relasi yang istimewa tersebut, tawaran kasih Allah sejak awal menyentuh dan mempersatukan Maria dengan Allah secara pribadi. Relasi dan solidaritasnya dengan Yesus mengecualikan Maria dari nasib umum manusia terkena dosa asal. Pada pribadi manusia sejak awal telah ada relasi yang istimewa dengan Yesus Kristus (Ibid., 90). Gagasan inilah yang menjadi salah satu pendasaran penjelasan dogma Maria dikandung tanpa noda asal.
Refleksi Teologis
Kemajuan zaman menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat dunia. Berbagai kemudahan itu telah mengubah gaya hidup masyarakat dengan aneka tantangan pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas, beban hidup yang semakin berat, dan transformasi masyarakat yang semakin egois dan individualistis. Orientasi nilai yang dikejar pun berbalik arah. Orang lebih menyukai hal-hal yang berbau pangkat, glamor, nikmat, cepat, instan, serta memandang segala sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai hal demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya sendiri. Mau tak mau umat beriman berhadapan dengan tantangan ini. Mereka seolah berada di tengah-tengah kegelapan yang menerpa dunia akibat dari kesempitan diri dan dorongan cinta, serta kepentingan diri yang semakin menguat (Hidup, 28 Juli 2013).
Gagasan untuk kembali dan berpegang teguh pada akar spiritualitas Kristiani menjadi pilihan yang tepat guna menjawab tantangan ini. Dengan kata lain, umat beriman perlu untuk menghayati kembali panggilannya sebagai murid Kristus agar jiwa kekatolikannya tidak lantas larut terbawa situasi zaman.
Dogma Maria dikandung tanpa noda merupakan ajaran yang telah berakar lama dalam Gereja, dan dari ajaran ini Gereja mengajak umat beriman untuk melihat Bunda Maria sebagai teladan kekudusan. Jadi, fokus utama dogma ini bukan semata-mata untuk meninggikan kedudukan Perawan Maria, tetapi merupakan suatu ajakan untuk meneladani iman Maria agar umat beriman dapat berjuang hidup kudus setiap hari dengan hanya mengandalkan rahmat Tuhan. Ajaran ini merupakan salah satu akar spiritualitas Kristiani yang kiranya penting untuk senantiasa direfleksikan dan digali maknanya, agar umat beriman setia pada imannya di tengah berbagai tantangan zaman yang berkembang. Ada tiga poin yang kami gali sebagai hasil refleksi teologis dari pembahasan dogma ini.
Pertama, dalam Lumen Gentium art. 56 dijelaskan:
“Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas . . . . Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria ‘bunda mereka yang hidup’. Sering pula mereka menyatakan: ‘maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.”
Kekudusan pribadi terletak dalam interaksi antara rahmat panggilan Allah dan iman (jawaban) manusia (Georg Kirchberger, 1988: 91-92). Rahmat kekudusan pada diri Maria, sehingga ia bebas dari noda dosa, tidak diterima Maria secara pasif belaka, tetapi ia turut berpartisipasi dan bekerjasama dengan Allah dalam karya keselamatan manusia melalui pernyataan dan jawabannya atas panggilan Allah dalam peristiwa kabar sukacita, ”Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Pada dasarnya Maria memiliki kebebasan penuh untuk menerima atau menolak kehendak Allah. Tetapi dengan tegas dan berani ia menjawab panggilan Allah secara total dalam tingkah laku dan seluruh hidupnya.
Maka dalam meneladani kekudusan Maria kita pun diajak untuk berani dan terbuka dalam menjawab panggilan Allah dalam hidup kita, serta menjadi manusia sebagaimana yang diimpikan Allah. Keberanian dan keterbukaan dalam menjawab panggilan Allah tersebut (seperti Maria), pertama-tama diwujudkan dalam semangat mengupayakan kekudusan hidup setiap hari dengan hanya mengandalkan rahmat Tuhan melalui doa. Dalam semangat kekudusan itu kita didorong untuk tidak mudah hanyut dalam aneka tantangan zaman yang semakin berkembang, serta mewujudnyatakannya dalam nilai-nilai Kristiani bagi hidup kita sehari-hari: kasih, persaudaraan, lemah lembut, kesetiaan, murah hati, rendah hati, mengampuni, pantang menyerah, berjuang, tekun, tidak gampang mengeluh, matiraga, sederhana, keadilan.
Kedua, dogma ini menunjukan bahwa Maria adalah tanda kemurahan rahmat Ilahi. Maria adalah manusia pertama yang dikuduskan dan ditebus dari dosa asal oleh jasa Kristus, Penyelamat. Ia menikmati kasih bebas dari Allah (Salvatore M. Sabato, Op.cit.,122). Ajaran Maria dikandung tanpa noda juga berarti bahwa Tuhan menyertai hidup manusia dengan kasih yang menyelamatkan (membebaskan) (Karl Rahner, 1962:44). Kemurahan rahmat Ilahi pada diri Maria juga hendak menunjukkan kasih dan kerahiman Allah yang tak terbatas bagi manusia. Kasih dan kerahiman Allah itu mendorong manusia untuk senantiasa berharap pada Allah. Di sini Allah menyatakan kesediaan dan inisiatif-Nya untuk bekerja sama dengan manusia dalam melawan dosa.
Ketiga, Kristus memberi rahmat pemeliharaan atau perlindungan kepada Perawan Maria sehingga ia bebas dari dosa asal. Sedangkan bagi kita (manusia), pembebasan dari dosa asal itu diterimakan oleh Gereja melalui Sakramen Pembaptisan. Kendati melalui Pembaptisan manusia pada dasarnya telah dibersihkan dari dosa asal, namun kelemahan-kelemahan dan kecenderungan-kecenderungan manusia pada kejahatan (dosa) masih ada dan bisa tumbuh dalam dirinya sebagai akibat dari kondisi awal (dosa asal) tersebut. Maka dalam poin ini, nilai dari dogma ini mengarahkan kita untuk merenungkan sejauh mana pengaruh dosa asal dalam kehidupan kita. Melalui rahmat Allah dalam sakramen-sakramen, kita dibantu untuk menjalani sebuah proses penyembuhan dari pengaruh-pengaruh dosa dan membawa kita kepada keutuhan pribadi sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Maria sering digambarkan sebagai Hawa baru. Ikatan yang disebabkan oleh ketidaktaatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria (Hawa baru) pada kehendak Allah untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibu bagi-Nya. Sehingga ”maut” (karena dosa) yang didatangkan oleh Hawa kini telah diubah menjadi ”hidup” (karena Yesus) oleh Maria. Bebasnya Maria dari dosa asal membebaskannya pula dari dosa-dosa pribadi serta segala kecenderungan dan dorongan untuk hidup hanya menurut daging dan berbuat kejahatan (dosa).
Hal ini bukan berarti bahwa Maria kemudian mengalami ”mati rasa” dari segala godaan dan noda dosa, tetapi dalam hidupnya ia tetap berjuang, bergulat, tidak tunduk, serta membutuhkan rahmat penebusan Kristus untuk menolaknya. Maka melalui dogma ini kita pun diajak untuk berani melawan kecenderungan-kecenderungan dan kelemahan-kelemahan diri yang mengarah pada dosa. Perlawanan terhadap dosa adalah perjuangan yang tidak gampang, apalagi saat ini kita hidup dalam situasi zaman yang semakin berkembang, di mana aneka tantangan dengan mudah bisa membuai dan menggoda kita untuk jatuh dalam dosa (glamor, hedonis, materialis, egois, individualis, seks, persaingan, konflik, peperangan, penindasan). (*)
No comments:
Post a Comment