Keluarga besar Kongregasi Misi (CM) Provinsi Indonesia berdukacita dan merasa kehilangan salah satu konfrater terbaiknya. Romo Emile Victor Bieler, CM telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, Rabu, 19 November 2014, di RS Panti Nirmala, Malang.
Romo yang selalu segar dan sehat ini baru pulang dari memberi retret romo-romo CM di Taiwan. Hanya sepekan sebelum wafatnya ia merasa sesak yang ternyata serangan jantung. Namun, beberapa hari kemudian dia sudah segar kembali, tapi ternyata pagi itu rupanya dia mendapat serangan fatal yang membawa kematiannya.
Jenazahnya disemayamkan di Seminari Tinggi CM, Langsep, Malang. Kamis, 20 November 2014, Misa Requiem di Gereja VAP Langsep dengan konselebran utama Romo Provinsial CM, Romo Robertus Wijanarko, CM. Homili disampaikan oleh Romo PM Handoko, CM. Uskup Malang Mgr. HJS Pandojoputro juga hadir, demikian pula imam berbagai tarekat dan diosesan yang pernah menjadi muridnya. Selanjutnya, jenazah dibawa menuju ke tempat peristirahatan terakhir di Pemakaman Romo-Romo CM dan Suster PK Griya Martani, Puhsarang, Kediri.
Romo Emile Victor Bieler, CM atau akrab disapa Romo Bieler, CM dilahirkan pada 13 Juni 1929. Kaul Kekal di Haiden Panningen, Belanda, 1952. Tahbisan Imamat, 15 Desember 1957. Romo Bieler, CM dikenal sebagai sosok imam yang sederhana, teguh, setia, memiliki semangat misi hingga akhir hayatnya. Kata-katanya lugas dan menantang, penuh persahabatan dengan para muridnya di STFT, rekan-rekan imamatnya, para suster dan para romo CM di seluruh dunia.
Beliau mempersembahkan hidupnya sebagai dosen, asisten jenderal CM dan sebagai misionaris vinsensian sejati. Masa hidup Romo Bieler nyaris identik dengan hidup yang dipersembahkan untuk pembinaan para calon imam dari berbagai kongregasi, keuskupan di Indonesia dan Solomon Islands.
Tahun 1958- 1959 Dosen Filsafat di Garum Blitar. Tahun 1959-1960 Dosen Filsafat di Eastwood, Sidney, Australia. Tahun 1966-1970 Rektor dan Dosen Seminari Tinggi CM (St. Joseph, Kediri). Tahun 1970-1972 Rektor dan Dosen Seminari Tinggi CM, Malang. Tahun 1972-1974 Dosen STFT Widya Sasana Malang, dan Seminari Garum. Tahun 1980-1981 Kepala Sekolah SMAK St. Louis I.
Tahun 1985-1987 Rektor Seminari Tinggi CM, Rektor STFT Widya Sasana Malang dan dosen STFT Fajar Timur, Abepura, Jayapura. Tahun 1987-1990 Rektor STFT Fajar Timur, Abepura. Tahun 1990-1992 Sekretaris Jenderal CM dilanjutkan 1992-2004 Asisten General CM di Roma. Tahun 2004-2013 Misi di Salomon Island sebagai dosen filsafat dan pembina seminari.
Tahun 2013 Formator dan Animator Vinsensian untuk CM Provinsi Indonesia dan KEVIN (Keluarga Vinsensian). Tahun 2014 Pembina Seminarium Internum Malang.
"Romo Bieler telah mengajar filsafat, teologi, bahkan Kitab Suci, Bahasa Inggris, Yunani, Latin, dll. Tetapi terutama dia telah mengajar dengan hidupnya, kesederhanaannya, dan cintanya. Dia salah satu idola bagi para muridnya. Kecerdasan dan kesucian telah menjadi begitu manusiawi dan sehari-hari dalam kesaksian hidupnya yang sederhana dan gembira. Dia sangat mencintai Santo Vinsensius dan banyak mempelajari surat surat dan konferensinya," kata Romo Armada Riyanto CM.
Romo Armada melanjutkan, "Terima kasih Romo Bieler, guru sekaligus sahabat. Kini, Engkau mengambilnya lagi. Di salah satu sharing-nya di STFT Malang, dia mendorong mahasiswa Malang untuk misi hingga juga ke Solomon Islands karena wilayah itu kerap dilupakan, bahkan juga kadang-kadang seperti "dilupakan" oleh Tuhan sendiri. Oh, semoga beliau menjadi pendoa bagi kami yang masih berjuang ini."
Selamat jalan, Romo Emile Victor Bieler, CM. Selamat jalan sang guru yang baik, sang inspirator, filsuf yang hidup, dan misionaris vinsensian sejati. RIP. (*)
Saturday, November 29, 2014
Sunday, November 23, 2014
Gebyar Tari di HUT Romo Tondo CM
Usia 80 tahun bukan halangan bagi Romo Prof. Dr. John Tondowidjojo Tondodiningrat, CM, untuk berkarya bagi gereja, nusa, dan bangsa. Imam Lazaris dan guru besar ilmu komunikasi yang akrab disapa Romo Tondo ini tetap aktif berkarya, melahirkan ide-ide kreatif yang patut diapresiasi. Salah satunya dengan menggelar Gebyar Tari Tradisional Nusantara 2014 di Gedung Kristus Raja, Surabaya. Pentas tari ini untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-80.
Acara dikemas dalam bentuk lomba unjuk kreativitas tari tradisional nusantara untuk pelajar Sekolah Dasar Katolik (SDK) di Kota Surabaya. Ada 12 SDK yang berpartisipasi, yaitu SDK St. Aloysius, SDK Stella Maris, SDK St. Theresia I, SDK St. Theresia II, SDK Yohanes Gabriel, SDK Caritas I, SDK St. Maria Regina, SDK St. Clara, SDK St. Angela, SDK St. Yusup Tropodo, SDK St. Xaverius, dan SDK St. Yosep.
Romo Tondo, yang masih kerabat dekat Raden Ajeng Kartini, pejuang emansipasi wanita Indonesia, mengajak semua peserta lomba berparade terlebih dahulu saat pembukaan sambil menyanyikan lagu-lagu daerah seperti Ampar-Ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko. Selanjutnya, menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.
Romo Tondo beperan sebagai dirigen. Gaya membiramanya sangat luwes. Hal ini tentu tidak mengherankan karena Romo Tondo ternyata pernah menempuh spesialisasi dalam bidang musik untuk Komposisi dan Dirigen dan Musik Liturgi di Venezia, Italia. Ia juga menulis buku teknik vokal dan dirigen.
Acara berlanjut ke unjuk kebolehan setiap peserta. Beragam tari tradisional ditampilkan seperti tari Jaipong, Merak, Jaran Kore, Boneka. Siswa-siswi SDK Santo Yusuf, Tropodo, menampilkan Tari Kolaborasi Nusantara dengan kolaborasi tiga jenis tarian, yaitu Ngapoteh dari Madura, Perang dari Pedalaman Dayak, dan Tari Indang Badinding dari Aceh. Ketiga tarian ini diiringi musik live angklung dan gamelan.
Tarian ini, menurut Ibu Lucy, pembina tari SDK Santo Yusuf Tropodo, diciptakan dengan tujuan meningkatkan persaudaraan, kesatuan, dan persatuan bangsa Indonesia. SDK St. Aloysius menampilkan tarian Egon Senterewe. Musik yang rancak dan dinamis khas Jawa Timur mengiringi anak-anak menari sejenis Jaranan. Tarian yang berkembang di daerah Kediri, Trenggalek, Tuluangagung, ini mengutamakan kreativitas gerak, kekayaan, dan kepadatan gerak. Tontonan yang menarik ini di daerahnya mulai ditinggalkan masyarakat seiring perkembangan zaman.
Para undangan, pengunjung, dan peserta lomba tari secara tidak langsung diajak mengenal dan menyaksikan keanekaragaman budaya Indonesia baik lewat iringan musik, lagu, dan tari-tarian yang dibawakan oleh para peserta. Hal ini sesuai dengan gagasan dan harapan Romo Tondo. Pastor senior ini prihatin karena di zaman modern ini seni tradisional makin pudar dan dilupakan orang, khususnya kalangan muda.
Romo Tondo ingin agar seni tradisional dapat dilestarikan kembali. Seni tradisional merupakan warisan, harta yang paling berharga untuk tetap dimiliki, dibanggakan, dan dikembangkan. Kegiatan ini juga diharapkan membantu pemerintah menumbuhkan rasa nasionalisme sejak dini dalam diri generasi muda.
"Saya mau, melalui perayaan ulang tahun ke-80 ini, menyumbangkan sesuatu yang berharga, yang mempunyai nilai untuk nusa dan bangsa saya melalui pentas seni budaya. Bisa paduan suara, tari tradisional, dan kesenian tradisional lainnya," ujar Romo Tondo. (Lana Sari)
Acara dikemas dalam bentuk lomba unjuk kreativitas tari tradisional nusantara untuk pelajar Sekolah Dasar Katolik (SDK) di Kota Surabaya. Ada 12 SDK yang berpartisipasi, yaitu SDK St. Aloysius, SDK Stella Maris, SDK St. Theresia I, SDK St. Theresia II, SDK Yohanes Gabriel, SDK Caritas I, SDK St. Maria Regina, SDK St. Clara, SDK St. Angela, SDK St. Yusup Tropodo, SDK St. Xaverius, dan SDK St. Yosep.
Romo Tondo, yang masih kerabat dekat Raden Ajeng Kartini, pejuang emansipasi wanita Indonesia, mengajak semua peserta lomba berparade terlebih dahulu saat pembukaan sambil menyanyikan lagu-lagu daerah seperti Ampar-Ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko. Selanjutnya, menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.
Romo Tondo beperan sebagai dirigen. Gaya membiramanya sangat luwes. Hal ini tentu tidak mengherankan karena Romo Tondo ternyata pernah menempuh spesialisasi dalam bidang musik untuk Komposisi dan Dirigen dan Musik Liturgi di Venezia, Italia. Ia juga menulis buku teknik vokal dan dirigen.
Acara berlanjut ke unjuk kebolehan setiap peserta. Beragam tari tradisional ditampilkan seperti tari Jaipong, Merak, Jaran Kore, Boneka. Siswa-siswi SDK Santo Yusuf, Tropodo, menampilkan Tari Kolaborasi Nusantara dengan kolaborasi tiga jenis tarian, yaitu Ngapoteh dari Madura, Perang dari Pedalaman Dayak, dan Tari Indang Badinding dari Aceh. Ketiga tarian ini diiringi musik live angklung dan gamelan.
Tarian ini, menurut Ibu Lucy, pembina tari SDK Santo Yusuf Tropodo, diciptakan dengan tujuan meningkatkan persaudaraan, kesatuan, dan persatuan bangsa Indonesia. SDK St. Aloysius menampilkan tarian Egon Senterewe. Musik yang rancak dan dinamis khas Jawa Timur mengiringi anak-anak menari sejenis Jaranan. Tarian yang berkembang di daerah Kediri, Trenggalek, Tuluangagung, ini mengutamakan kreativitas gerak, kekayaan, dan kepadatan gerak. Tontonan yang menarik ini di daerahnya mulai ditinggalkan masyarakat seiring perkembangan zaman.
Para undangan, pengunjung, dan peserta lomba tari secara tidak langsung diajak mengenal dan menyaksikan keanekaragaman budaya Indonesia baik lewat iringan musik, lagu, dan tari-tarian yang dibawakan oleh para peserta. Hal ini sesuai dengan gagasan dan harapan Romo Tondo. Pastor senior ini prihatin karena di zaman modern ini seni tradisional makin pudar dan dilupakan orang, khususnya kalangan muda.
Romo Tondo ingin agar seni tradisional dapat dilestarikan kembali. Seni tradisional merupakan warisan, harta yang paling berharga untuk tetap dimiliki, dibanggakan, dan dikembangkan. Kegiatan ini juga diharapkan membantu pemerintah menumbuhkan rasa nasionalisme sejak dini dalam diri generasi muda.
"Saya mau, melalui perayaan ulang tahun ke-80 ini, menyumbangkan sesuatu yang berharga, yang mempunyai nilai untuk nusa dan bangsa saya melalui pentas seni budaya. Bisa paduan suara, tari tradisional, dan kesenian tradisional lainnya," ujar Romo Tondo. (Lana Sari)
82 Tahun Paroki St. Willibrordus Cepu
Keceriaan terpancar dalam wajah umat yang hadir dalam perayaan sederhana penuh syukur dalam HUT ke-82 Paroki Santo Willibrordus, Cepu, Senin 15 September 2014. Acara dimulai dengan pemutaran film sejarah paroki. Meski sudah sempat diputar dua tahun sebelumnya, umat tidak bosan melihatnya. Film tersebut dimaknai bahwa benih tumbuh di tanah berminyak. Cepu memang dikenal sebagai ladang minyak yang mampu bertahan hingga sekarang.
Pastor kepala, RD Alexius Kurdo Irianto mengajak umat untuk merefleksikan bahwa umat yang hadir merupakan sisa yang kudus. Mengapa dan karena apa kita masih setia sampai hari ini? Acara ditutup dengan misa syukur bersama RD Siprianus Yitno, RD Antonius Iwan Setiabudi, RP Lukas, dengan konselebran utama RD Alexius Kurdo Irianto.
Dalam homilinya, Romo Kurdo menegaskan bahwa kesediaan untuk terlibat dalam perutusan Tuhan Yesus adalah kesediaan menderita bersama Tuhan Yesus sendiri. Ketika merenungkan Injil, ia membayangkan dan merasakan getar sabda Tuhan Yesus kepada kita semua.
"Umat-Ku, inilah Gereja-Ku. Dan Gereja-Ku, inilah umat-Ku. Mungkin sebagian di antara kita akan menjawab: Jangan saya, jangan saya, jangan saya... dengan berbagai macam alasan. Lalu, diberikan kepada siapa Gereja Tuhan Yesus ini jika tidak kepada umat-Nya?" urai Romo Kurdo. (Rosari)
Pastor kepala, RD Alexius Kurdo Irianto mengajak umat untuk merefleksikan bahwa umat yang hadir merupakan sisa yang kudus. Mengapa dan karena apa kita masih setia sampai hari ini? Acara ditutup dengan misa syukur bersama RD Siprianus Yitno, RD Antonius Iwan Setiabudi, RP Lukas, dengan konselebran utama RD Alexius Kurdo Irianto.
Dalam homilinya, Romo Kurdo menegaskan bahwa kesediaan untuk terlibat dalam perutusan Tuhan Yesus adalah kesediaan menderita bersama Tuhan Yesus sendiri. Ketika merenungkan Injil, ia membayangkan dan merasakan getar sabda Tuhan Yesus kepada kita semua.
"Umat-Ku, inilah Gereja-Ku. Dan Gereja-Ku, inilah umat-Ku. Mungkin sebagian di antara kita akan menjawab: Jangan saya, jangan saya, jangan saya... dengan berbagai macam alasan. Lalu, diberikan kepada siapa Gereja Tuhan Yesus ini jika tidak kepada umat-Nya?" urai Romo Kurdo. (Rosari)
Training Kepemimpinan Ekologis di Girisonta
Selama 17 hari, 11-27 Agustus, dua wakil dari Keuskupan Surabaya, RD Siprianus Yitno (Paroki Wilibrordus, Cepu) dan Antonius Nurdianto (Paroki St. Yosep, Ngawi) mengikuti Training Kepemimpinan Ekologis di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Keduanya mewakili aktivis peduli lingkungan dan pendamping petani di tempatnya masing-masing. Kegiatan ini bertema Kita Diciptakan karena Cinta dan Dipanggil untuk Mencintai Seluruh Ciptaan-Nya.
Peserta training ada 11 biarawati (ADM, CB, FCJ, OP, FSGM, JMJ, PRR) serta 11 imam (SVD, SJ, diosesan). Mereka bekerja di berbagai bidang seperti pendamping OMK, pemimpin postulan, TOR, novisiat, biara, tarekat, kongregasi religious, paroki, sekolah, yayasan, organisasi/ komunitas, lembaga kemanusiaan (Caritas), petani, pendidik/dosen, petugas pastoral, imam, ekonom, administrator, konsultan lingkungan hidup/penanggulangan bencana, dan moderator pengembangan sosial ekonomi dan peneliti.
Setiap pagi, peserta melakukan meditasi menyambut matahari terbit, makan pagi, melakukan praktik membumi di alam, mendengarkan dan mengolah beragam isu ekologis mulai dari krisis ekologis, penyebab, perlunya pertobatan ekologis melalui eko-pastoral, teologi ekologis, serta menelaah berbagai gagasan. Gagasan ekologis itu diambil dari pokok-pokok pikiran Dr. Thomas Berry CP mengenai spiritualitas ekologi dan kosmologi kristiani, ensiklik dan ajaran para Paus (Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus) mengenai isu lingkungan hidup.
Para peserta diperkaya dengan informasi tentang eco camp, pembuatan kompos, kelestarian suatu desa, manfaat tanaman sebagai obat, pengelolaan sampah kota berbasis masyarakat, Happy Planet Index, hidup hijau di kota yang hijau, draft Sasaran pembangunan Milenium 2000-2015 dan sasaran pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2016-2030.
Tidak hanya itu. Mereka juga memperlajari produk hukum seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Nota Pastoral KWI 2013 tentang Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan. Para pesera disegarkan dengan sajian film seperti Message from Space, Home, The Trashed, The Journey, Marga Agung, The Penguin, dan The Burning Season.
Peserta mengunjungi Dusun Serut, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, bertemu Bapak Toba dan Bapak Sunarto yang mempraktikkan pertanian dan pengelolaan desa organik. Selanjutnya, mereka ke Ganjuran bertemu Romo G. Utomo dan merayakan ekaristi di Biara Carolus Borromeus. Peserta didampingi, dilatih, dan diberi masukan oleh Sr. Elly Verrijt, MMS, Sr. Amelia SGM, Romo H. Budiarto Gomulya SJ, Romo Dr. St. Ferry Sutrisna Wijaya, Rm. P. Sunu Hardiyanta SJ, dan Romo Dr. T. Krispurwana Cahyadi SJ. Peserta juga saling berbagi pengetahuan, keprihatinan, pengalaman serta berbagi hasil olah rasa, nalar, dan batin.
*****
Kepemimpinan ekologis didasarkan pada kepemimpinan Yesus yang datang untuk melayani dan melibatkan diri sendiri secara aktif dan kreatif. Bukan untuk dilayani. Seseorang sungguh-sungguh belajar memahami, menyadari, menerima identitas dan keberadaan diri dalam seluruh ciptaan. Mereka diajak menyadari bahwa "I am part of the universe. I belong to the universe."
Karena itu, diperlukan sikap memaknai kehidupan ekologis melalui contoh dan teladan hidup, rendah hati, sederhana, peduli, peka, bertanggung jawab, integral, berfokus pada bumi, menghargai dan menghormati keragaman sesama, alam, solider, alamiah, gembira, mendengarkan bumi, tidak mengeluh, melainkan menemukan peluang, rela berkorban (heroic-creatio via creativa), menjadi transformer, penghubung dan penyalur dengan segala ciptaan.
Pemimpin ekologis memulai dari diri sendiri, memimpin diri sendiri mengenali krisis ekologis, mengenali peran diri pribadi dan orang lain serta pelaku lainnya dalam krisis itu. Langkah berikut, mereka mengenali faktor-faktor yang menyebabkan, menyadari asal muasal diri dalam konteks jagad raya, mengalami dan menjalani pertobatan ekologis serta mulai melakukan tindak keadilan ekologis dari langkah-langkah kecil sehari-hari.
Dengan demikian, ia mengubah asumsi dan gaya hidup diri serta menemukan peluang mengadakan perubahan bersama yang lain. Pemimpin ekologi bersama dengan seluruh pihak tanpa memandang agama/kepercayaan, golongan, partai, suku, aliran politik, sebagai sesama saudara, mempelajari proses terjadinya kosmos hingga evolusi sampai terjadinya bumi. Mereka mengenali nilai-nilai spiritual keutuhan ciptaan, keberagaman, latar belakang, kebutuhan, semangat belajar dan aksi, kerusakan bumi. Upaya yang dilakukan melangkah untuk menyelamatkan bumi ini secara bersama demi keutuhan ciptaan.
Peserta disadarkan akan pencemaran air, udara, dan tanah. Peserta mengalami sulit mencari air, menghirup udara segar, melihat langit biru, penduduk asli terpinggir dan menjadi miskin, yang hidup di sekitar hutan maupun wilayah tambang mengalami persaingan antarmanusia, fauna dan flora yang beraneka ragam rusak, hutan yang rusak meluas dan terumbu karang mati. Ibu Bumi dan ciptaan lain mengalami kerusakan masif yang diakibatkan pengambilan sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Musim yang berubah dan pemanasan global semakin membawa dampak. Sampah-sampah berserakan baik di kota maupun di desa.
Semua itu disadari karena nilai hidup, keyakinan dasar, asumsi, pengandaian, sikap, pilihan, keputusan dan gaya hidup semakain konsumtif, serba cepat, individialistik, sekularistik dan hedonistik. Manusia tercerabut dari relasi dengan ibu bumi. Manusia ikut membuahkan kondisi di atas, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pusat perhatian kita masih antroposentrik, belum ekosentrik. Peraturan dan perundangan sudah ada tetapi belum ditegakkan dan tidak jarang pemihakan kepada keserakahan oknum. Dunia usaha transnasional, nasional, lokal dan pejabat pemerintahan serta para pemimpin organisasi, masyarakat, keagamaan, religius merupakan faktor pendorong. Nilai, kebijakan, program, pembangunan fisik dan praktik yang berpusat pada manusia, tidak berpihak pada keutuhan ciptaan. Peserta sampai pada kesadaran untuk memimpikan keutuhan ciptaan dan pulihnya keserasian hubungan manusia dengan seluruh ciptaan-Nya.
Pada bagian akhir, peserta merencanakan penghayatan dan mengkampanyekan hidup sederhana dan ekologis melalui pembicaraan pribadi, kuliah, bimbingan, program pembinaan, diskusi kelompok, perayaan musim, seminar, lokakarya, retret sesuai peran masing-masing. Peserta menyadari betapa penting mencintai, menjaga, memelihara alam sekitar komunitas dengan pengolahan sampah, mengumpulkan biji-bijian dan penghijauan. Mereka dapat saling berbagi informasi tentang kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam tempat di tinggal, memberdayakan lahan tidur di sekitar secara organik, menanam pohon, sayur, tanaman obat dan tanaman pangan.
Peserta memiliki sasaran bahwa rencana ini terutama untuk diri kami sendiri, komunitas terdekat, tetangga, paroki, RT/RW, sekolah, biara, karyawan/karyawati, umat, kaum muda, anak-anak, kaum perempuan, para pemimpin masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan serta program pembangunan daerah dan nasional. Peserta juga akan menyediakan diri terlibat sesuai kemampuan bila diperlukan, dengan selalu meningkatkan kemampuan mengenai ekologi.
(Antonius Nurdianto, pendamping petani dan aktivis lingkungan)
Peserta training ada 11 biarawati (ADM, CB, FCJ, OP, FSGM, JMJ, PRR) serta 11 imam (SVD, SJ, diosesan). Mereka bekerja di berbagai bidang seperti pendamping OMK, pemimpin postulan, TOR, novisiat, biara, tarekat, kongregasi religious, paroki, sekolah, yayasan, organisasi/ komunitas, lembaga kemanusiaan (Caritas), petani, pendidik/dosen, petugas pastoral, imam, ekonom, administrator, konsultan lingkungan hidup/penanggulangan bencana, dan moderator pengembangan sosial ekonomi dan peneliti.
Setiap pagi, peserta melakukan meditasi menyambut matahari terbit, makan pagi, melakukan praktik membumi di alam, mendengarkan dan mengolah beragam isu ekologis mulai dari krisis ekologis, penyebab, perlunya pertobatan ekologis melalui eko-pastoral, teologi ekologis, serta menelaah berbagai gagasan. Gagasan ekologis itu diambil dari pokok-pokok pikiran Dr. Thomas Berry CP mengenai spiritualitas ekologi dan kosmologi kristiani, ensiklik dan ajaran para Paus (Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus) mengenai isu lingkungan hidup.
Para peserta diperkaya dengan informasi tentang eco camp, pembuatan kompos, kelestarian suatu desa, manfaat tanaman sebagai obat, pengelolaan sampah kota berbasis masyarakat, Happy Planet Index, hidup hijau di kota yang hijau, draft Sasaran pembangunan Milenium 2000-2015 dan sasaran pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2016-2030.
Tidak hanya itu. Mereka juga memperlajari produk hukum seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Nota Pastoral KWI 2013 tentang Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan. Para pesera disegarkan dengan sajian film seperti Message from Space, Home, The Trashed, The Journey, Marga Agung, The Penguin, dan The Burning Season.
Peserta mengunjungi Dusun Serut, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, bertemu Bapak Toba dan Bapak Sunarto yang mempraktikkan pertanian dan pengelolaan desa organik. Selanjutnya, mereka ke Ganjuran bertemu Romo G. Utomo dan merayakan ekaristi di Biara Carolus Borromeus. Peserta didampingi, dilatih, dan diberi masukan oleh Sr. Elly Verrijt, MMS, Sr. Amelia SGM, Romo H. Budiarto Gomulya SJ, Romo Dr. St. Ferry Sutrisna Wijaya, Rm. P. Sunu Hardiyanta SJ, dan Romo Dr. T. Krispurwana Cahyadi SJ. Peserta juga saling berbagi pengetahuan, keprihatinan, pengalaman serta berbagi hasil olah rasa, nalar, dan batin.
*****
Kepemimpinan ekologis didasarkan pada kepemimpinan Yesus yang datang untuk melayani dan melibatkan diri sendiri secara aktif dan kreatif. Bukan untuk dilayani. Seseorang sungguh-sungguh belajar memahami, menyadari, menerima identitas dan keberadaan diri dalam seluruh ciptaan. Mereka diajak menyadari bahwa "I am part of the universe. I belong to the universe."
Karena itu, diperlukan sikap memaknai kehidupan ekologis melalui contoh dan teladan hidup, rendah hati, sederhana, peduli, peka, bertanggung jawab, integral, berfokus pada bumi, menghargai dan menghormati keragaman sesama, alam, solider, alamiah, gembira, mendengarkan bumi, tidak mengeluh, melainkan menemukan peluang, rela berkorban (heroic-creatio via creativa), menjadi transformer, penghubung dan penyalur dengan segala ciptaan.
Pemimpin ekologis memulai dari diri sendiri, memimpin diri sendiri mengenali krisis ekologis, mengenali peran diri pribadi dan orang lain serta pelaku lainnya dalam krisis itu. Langkah berikut, mereka mengenali faktor-faktor yang menyebabkan, menyadari asal muasal diri dalam konteks jagad raya, mengalami dan menjalani pertobatan ekologis serta mulai melakukan tindak keadilan ekologis dari langkah-langkah kecil sehari-hari.
Dengan demikian, ia mengubah asumsi dan gaya hidup diri serta menemukan peluang mengadakan perubahan bersama yang lain. Pemimpin ekologi bersama dengan seluruh pihak tanpa memandang agama/kepercayaan, golongan, partai, suku, aliran politik, sebagai sesama saudara, mempelajari proses terjadinya kosmos hingga evolusi sampai terjadinya bumi. Mereka mengenali nilai-nilai spiritual keutuhan ciptaan, keberagaman, latar belakang, kebutuhan, semangat belajar dan aksi, kerusakan bumi. Upaya yang dilakukan melangkah untuk menyelamatkan bumi ini secara bersama demi keutuhan ciptaan.
Peserta disadarkan akan pencemaran air, udara, dan tanah. Peserta mengalami sulit mencari air, menghirup udara segar, melihat langit biru, penduduk asli terpinggir dan menjadi miskin, yang hidup di sekitar hutan maupun wilayah tambang mengalami persaingan antarmanusia, fauna dan flora yang beraneka ragam rusak, hutan yang rusak meluas dan terumbu karang mati. Ibu Bumi dan ciptaan lain mengalami kerusakan masif yang diakibatkan pengambilan sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Musim yang berubah dan pemanasan global semakin membawa dampak. Sampah-sampah berserakan baik di kota maupun di desa.
Semua itu disadari karena nilai hidup, keyakinan dasar, asumsi, pengandaian, sikap, pilihan, keputusan dan gaya hidup semakain konsumtif, serba cepat, individialistik, sekularistik dan hedonistik. Manusia tercerabut dari relasi dengan ibu bumi. Manusia ikut membuahkan kondisi di atas, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pusat perhatian kita masih antroposentrik, belum ekosentrik. Peraturan dan perundangan sudah ada tetapi belum ditegakkan dan tidak jarang pemihakan kepada keserakahan oknum. Dunia usaha transnasional, nasional, lokal dan pejabat pemerintahan serta para pemimpin organisasi, masyarakat, keagamaan, religius merupakan faktor pendorong. Nilai, kebijakan, program, pembangunan fisik dan praktik yang berpusat pada manusia, tidak berpihak pada keutuhan ciptaan. Peserta sampai pada kesadaran untuk memimpikan keutuhan ciptaan dan pulihnya keserasian hubungan manusia dengan seluruh ciptaan-Nya.
Pada bagian akhir, peserta merencanakan penghayatan dan mengkampanyekan hidup sederhana dan ekologis melalui pembicaraan pribadi, kuliah, bimbingan, program pembinaan, diskusi kelompok, perayaan musim, seminar, lokakarya, retret sesuai peran masing-masing. Peserta menyadari betapa penting mencintai, menjaga, memelihara alam sekitar komunitas dengan pengolahan sampah, mengumpulkan biji-bijian dan penghijauan. Mereka dapat saling berbagi informasi tentang kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam tempat di tinggal, memberdayakan lahan tidur di sekitar secara organik, menanam pohon, sayur, tanaman obat dan tanaman pangan.
Peserta memiliki sasaran bahwa rencana ini terutama untuk diri kami sendiri, komunitas terdekat, tetangga, paroki, RT/RW, sekolah, biara, karyawan/karyawati, umat, kaum muda, anak-anak, kaum perempuan, para pemimpin masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan serta program pembangunan daerah dan nasional. Peserta juga akan menyediakan diri terlibat sesuai kemampuan bila diperlukan, dengan selalu meningkatkan kemampuan mengenai ekologi.
(Antonius Nurdianto, pendamping petani dan aktivis lingkungan)
Kantor Baru Sub Perwakilan Ponorogo
Sudah cukup lama, mulai awal tahun 2000-an, Sub Perwakilan Ponorogo mendambakan kantor sendiri dan tidak bergabung dengan kantor paroki. Senin 8 September 2014 akhirnya diresmikan kantor Sub Perwakilan Ponorogo oleh Ketua Sub Perwakilan sekaligus Pastor Kepala Paroki Ponorogo RD I.Y. Sumarno bertepatan dengan Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria.
"Semoga bersama dengan Bunda Perawan Maria kantor Sub Perwakilan lahir kembali dari keterpurukan tata kelola adminstrasi, tata kelola keuangan, tata kelola personalia dan agenda kegiatan yang masih belum tertata. Ke depan, dengan lahirnya kantor ini keterpurukan tersebut segera tertata dengan baik," demikian harapan ketua dalam khotbahnya.
Kantor Sub Perwakilan yang beralamat di Jalan Gajah Mada No. 12 Ponorogo (satu kompleks dengan SMPK Slamet Riyadi) menjadi pusat data dan informasi segala sesuatu tentang Unit-Unit Sekolah. Bila seseorang ingin mengetahui seluk-beluk SMPK Harapan Slahung, dia tidak harus menempuh perjalanan 25 km dari pusat kota Ponorogo. Dia cukup datang ke kantor.
Demikian bila ada orang yang mencari data tentang TK Pancasila Klepu cukup datang ke kantor tanpa harus berkendaraan 32 km. Dengan adanya kantor tersebut kita memperpendek jarak, mempersingkat waktu dan menghemat biaya dan tenaga.
Kantor Sub Perwakilan bukan tempat yang baru melainkan ruang OSIS dan UKS SMPK Slamet Riyadi yang direhab menjadi kantor (2/3) dan ruang kantin (1/3), luas seluruhnya 5 X 10 meter. Rehab kantor tersebut menelan biaya Rp 9.694.500. Untuk sementara karyawan kantor hanya seorang, Vincen (Vincentius Dian Depaul) yang bertugas mengerjakan semuanya. Penambahan karyawan menunggu perkembangan volume kerja dan kemampuan menggaji pegawai.
Ketua Sub Perwakilan yang biasa tinggal di pastoran harus pulang pergi ke kantor. Ketua sudah merencanakan kunjungan pendampingan ke unit-unit (minggu pertama berkunjung ke Unit TKK-SDK Ponorogo, minggu kedua ke Unit TK Klepu, minggu ketiga ke Unit SMPK Slahung, dan minggu keempat ke Kompleks SMPK Slamet Riyadi). Biaya ATK, alat tulis kantor, BBM kunjungan, konsumsi kecil harian, konsumsi rapat terbatas para kepala sekolah tiap tiga bulan, semua operasional kantor tersebut membutuhkan dana tersendiri.
Idealnya, setiap kunjungan membawa empat petugas: ada yang mengontrol administrasi sekolah, ada yang keuangan, ada juga yang bagian personalia dan tak kalah penting mengontrol kebijakan-kebijakan yang diambil kepala sekolah untuk urusan internal dan eksternal (Dinas Pendidikan Kota/Negara).
Untuk sementara hanya dua orang saja: ketua dan TU. Sehari-hari ketua ngantor mulai pagi hingga siang (08.00-12.00) bila tidak ada tugas luar kota karena sehubungan dengan jabatan lain yang diemban. (IYS)
"Semoga bersama dengan Bunda Perawan Maria kantor Sub Perwakilan lahir kembali dari keterpurukan tata kelola adminstrasi, tata kelola keuangan, tata kelola personalia dan agenda kegiatan yang masih belum tertata. Ke depan, dengan lahirnya kantor ini keterpurukan tersebut segera tertata dengan baik," demikian harapan ketua dalam khotbahnya.
Kantor Sub Perwakilan yang beralamat di Jalan Gajah Mada No. 12 Ponorogo (satu kompleks dengan SMPK Slamet Riyadi) menjadi pusat data dan informasi segala sesuatu tentang Unit-Unit Sekolah. Bila seseorang ingin mengetahui seluk-beluk SMPK Harapan Slahung, dia tidak harus menempuh perjalanan 25 km dari pusat kota Ponorogo. Dia cukup datang ke kantor.
Demikian bila ada orang yang mencari data tentang TK Pancasila Klepu cukup datang ke kantor tanpa harus berkendaraan 32 km. Dengan adanya kantor tersebut kita memperpendek jarak, mempersingkat waktu dan menghemat biaya dan tenaga.
Kantor Sub Perwakilan bukan tempat yang baru melainkan ruang OSIS dan UKS SMPK Slamet Riyadi yang direhab menjadi kantor (2/3) dan ruang kantin (1/3), luas seluruhnya 5 X 10 meter. Rehab kantor tersebut menelan biaya Rp 9.694.500. Untuk sementara karyawan kantor hanya seorang, Vincen (Vincentius Dian Depaul) yang bertugas mengerjakan semuanya. Penambahan karyawan menunggu perkembangan volume kerja dan kemampuan menggaji pegawai.
Ketua Sub Perwakilan yang biasa tinggal di pastoran harus pulang pergi ke kantor. Ketua sudah merencanakan kunjungan pendampingan ke unit-unit (minggu pertama berkunjung ke Unit TKK-SDK Ponorogo, minggu kedua ke Unit TK Klepu, minggu ketiga ke Unit SMPK Slahung, dan minggu keempat ke Kompleks SMPK Slamet Riyadi). Biaya ATK, alat tulis kantor, BBM kunjungan, konsumsi kecil harian, konsumsi rapat terbatas para kepala sekolah tiap tiga bulan, semua operasional kantor tersebut membutuhkan dana tersendiri.
Idealnya, setiap kunjungan membawa empat petugas: ada yang mengontrol administrasi sekolah, ada yang keuangan, ada juga yang bagian personalia dan tak kalah penting mengontrol kebijakan-kebijakan yang diambil kepala sekolah untuk urusan internal dan eksternal (Dinas Pendidikan Kota/Negara).
Untuk sementara hanya dua orang saja: ketua dan TU. Sehari-hari ketua ngantor mulai pagi hingga siang (08.00-12.00) bila tidak ada tugas luar kota karena sehubungan dengan jabatan lain yang diemban. (IYS)
Tuesday, November 18, 2014
Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda
Oleh Fr. Felix Brilyandio, CM
Mahasiswa Semester IV STFT Widya Sasana, Malang
Dalam buku Misa pada Hari Raya Santa Maria Dikandung Tanpa Noda (1983:1912), pada doa pembuka tertulis: “Guna menyediakan kediaman yang pantas bagi Putera-Mu yang akan menjelma, Engkau telah melindungi Santa Perawan Maria terhadap segala noda dan cela.” Maria dipilih untuk menjadi Bunda Allah, dan sebagai Bunda Allah ia kudus serta bebas dari segala noda dan cela.
Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa “Bunda yang dikandung tanpa noda” mengacu pada perawan yang mengandung Yesus oleh Kuasa Roh Kudus. Mengandung dari Roh Kudus serta keperawanannya yang utuh dan tidak bercela menjadi dasar baginya untuk disebut sebagai “yang dikandung tanpa noda”. Pandangan semacam ini keliru. Dogma Maria dikandung tanpa noda mengacu pada peristiwa dikandungnya (conceptio) Maria oleh St. Anna. Sejak awal perkandungannya, Maria telah dikuduskan. Dari awal ia “kudus tak bercela” (ef. 5:27).
Keyakinan akan kekudusan Maria sejak dalam kandungan ibunya berbenturan dengan pandangan tentang dosa asal. Sebagaimana manusia lain yang adalah keturunan Adam, Maria tentu tidak luput dari dosa asal. Keberadaannya sebagai manusia menjadi dasar bagi dirinya untuk turut terkena dosa tersebut (Groenen, 1988:78). Namun, bagaimana mungkin Maria dapat menjadi sarana yang pantas bagi Roh Kudus dan melahirkan seorang anak yang tak bernoda, jika ia sendiri berdosa dan bercela? Bagaimana menjelaskan persoalan ini? Lantas, yang mejadi pertanyaan selanjutnya adalah apa maksud dari keyakinan bahwa Maria telah dikuduskan sejak dia dikandung? Atau secara lebih jelas, apa arti dan maksud dari dogma Maria dikandung tanpa noda?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menanggapi persoalan yang muncul mengenai dogma ini, dalam paper ini penulis berusaha menggali sejarah dan perkembangan, serta pokok-pokok ajaran tentang Maria dikandung tanpa noda. Selain itu, ketertarikan penulis untuk membahas mengenai dogma Maria dikandung tanpa noda ini juga didasarkan pada keinginan untuk menggali makna teologis yang terkandung dalam dogma ini, yang mana kiranya menjadi bahan refleksi yang penting bagi umat beriman dalam mengikuti Kristus di tengah tantangan zaman yang semakin berkembang.
Sejarah dan Perkembangan Ajaran Maria Dikandung Tanpa Noda
A. Muncul dan Berkembangnya Ajaran dalam Tradisi
Penentuan dogma Maria dikandung tanpa noda didasarkan pada sensus fidei (penghayatan iman atau ajaran iman), dimana ”suara” atau kesadaran Bapa-Pujangga Gereja menjelaskan bahwa kebenaran ini tidak bertentangan dengan sabda dan rencana keselamatan Allah (Salvatore M. Sabato, 2006:121). Ajaran ini sebenarnya telah diyakini oleh Gereja sejak abad awal. Kesaksian pertama tentang kelahiran Maria secara ajaib terdapat di dalam Proto-Injil Yakobus (Ibid.,119). St. Ireneus (abad ke-2) dalam buku ”Againts Heresies, V, The New Creation in Christ” menjelaskan Maria sebagai Hawa yang baru. Menurut Ireneus, ketaatan total Maria dimungkinkan oleh ketotalan kemurniannya tanpa dosa asal:
“Hawa, dengan ketidaktaatannya (karena berdosa) mendatangkan kematian bagi dirinya dan seluruh umat manusia . . . . Maria dengan ketaatannya (tanpa dosa) mendatangkan keselamatan bagi dirinya dan seluruh umat manusia . . . . Oleh karena itu, ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.”
Origenes (tahun 244) dalam Homily I menjelaskan: “Bunda Perawan dari Putra Tunggal Allah ini disebut sebagai Maria, yang layak bagi Tuhan, yang tidak bernoda dari yang tidak bernoda, hanya satu-satunya.”
Sekitar tahun 430, ajaran mengenai dosa asal mulai diketengahkan secara tegas oleh Agustinus dalam perdebatannya dengan Pelagius. Pelagius membantah bahwa orang-orang dapat menjadi kudus melalui usaha pribadi dengan “dibantu oleh rahmat.” Ia menekankan bahwa manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri asalkan memiliki kemauan dan usaha yang keras (kehendak kuat). Agustinus tidak setuju dengan pandangan Pelagius tersebut. Menurutnya, Pembaptisan lebih dari pada pembebasan kehendak untuk menaati Allah secara penuh serta pembebasan dari dosa asal (Alfred McBride, 2004:129). Dari perdebatan itu muncul pertanyaan, “Apakah Maria mewarisi dosa asal?”
Sebelum ajaran tentang dosa asal matang dan mulai dikenal oleh umat beriman, para pujangga Gereja kuno tidak berani mengatakan sesuatu tentang caranya Maria dikandung tanpa noda. Mereka hanya menjunjung tinggi kekudusan Maria pada umumnya, tanpa membahas tentang ajaran Maria yang dikandung tanpa noda (Groenen, Op.cit., 81).
Ajaran tentang dosa asal baru ditetapkan secara definitif dalam Konsili Trente pada tahun 1545. Cara Konsili Trente memikirkan ajaran dosa asal dan bagaimana pengalihannya terpengaruhi oleh pendekatan Agustinus. Karena dosa Adam dan Hawa, manusia kehilangan kekudusan yang asli dan dilahirkan dalam kondisi kehilangan rahmat. Menurut Agustinus, dosa asal dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu. Sehingga setiap manusia karena lahir dari manusia pasti terkena dosa asal. Dosa asal dapat dibebaskan hanya dengan pembaptisan. Oleh karena, itu arah pembahasan mengenai dosa asal hendak menunjukkan bahwa satu-satunya penyelamat adalah Yesus Kristus, dan semua manusia membutuhkan Dia.
Karya penebusan Kristus sungguh-sungguh universal, mencakup semua manusia dari awal hingga akhir (Ibid., 82). Agustinus memang membela kesucian Maria, tetapi tidak sampai meluputkannya dari dosa asal (Ibid., 84).
Ajaran tentang dosa asal tersebut jelas menghambat perkembangan ajaran Maria dikandung tanpa noda. Para pujangga dan teolog Gereja tampaknya agak kesulitan menerima bahwa Maria terluput dari dosa asal, sebab jikalau demikian maka Maria tidak memerlukan karya penebusan Yesus Kristus (Ibid., 83). Proses Maria dikandung telah membuat dia sama dengan manusia lain, sehingga dia merupakan seorang pewaris dosa asal. Maka sebagai ciptaan dia tentu membutuhkan penebusan.
Lantas, bagaimana memecahkan persoalan ini? Jalan keluar kesulitan tersebut dijelaskan oleh Dun Scotus (1265-1308). Menurut Dun Scotus, Maria tetap memerlukan karya penebusan Yesus Kristus. Tetapi penebusan Maria terjadi secara istimewa sehingga ia menjadi terluput dari dosa asal. Bentuk yang paling sempurna dari penebusan ini adalah melindungi Maria dari dosa tersebut (Alfred McBride, Op.cit., 129). Namun pemikiran Dun Scotus tersebut belum dapat diterima secara umum. Sebaliknya, justru muncul perdebatan di antara para teolog yang tidak menerima pengecualian Maria terkena dosa asal, dan para teolog yang berupaya memakai dan memenangkan pendekatannya masing-masing.
Ajaran Maria dikandung tanpa noda pertama kali dirintis oleh Paus Sixtus IV (tahun 1476). Konsili Trente (tahun 1546) menegaskan bahwa penetapan dogma tentang dosa asal tidak mencakup Maria. Pada tahun 1567 Paus Pius V menolak pendapat Bayus bahwa hanya Kristus yang terluput dari dosa asal, sedangkan Maria tidak. Pada tahun 1620 Paus Paulus V melarang segala bentuk serangan terhadap ajaran Katolik tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal. Paus Alexander VII pada tahun 1661 menetapkan perayaaan Pesta Maria dikandung tanpa noda. Pesta itu diwajibkan untuk seluruh Gereja Latin (Groenen, Log.cit.). Tahun 1659, Paus Inosensius XII setuju diadakannya sebuah perayaan untuk menghormati perawan tidak bernoda untuk seluruh Gereja. Tahun 1708, Paus Klemens XI bahkan memberlakukan hari peringatan itu sebagai hari libur wajib (Alfred McBride, Op.cit., 131).
B. Penetapan Dogma
Pada awal masa kepausannya, Paus Pius IX menerima banyak permintaan akan penetapan doktrin yang pasti tentang Maria dikandung tanpa noda. Ia sendiri terkesan dengan isi sebuah buku yang berjudul Can it be Defined by Dogmate Degree? yang ditulis oleh Giovanni Parrone mengenai perawan yang dikandung tanpa noda. Tulisan itu mendorongnya untuk membentuk sebuah komisi para kardinal dan teolog yang bertugas sebagai penasihatnya. Para penasihatnya tersebut mendorongnya untuk menetapkan dogma Maria dikandung tanpa noda.
Oleh karena itu, Paus Pius IX meminta pendapat uskup seluruh dunia. Untuk tujuan ini dia menulis ensiklik Ubi Primum dan mengirimkannya kepada para uskup pada tahun 1848. Sekitar 603 uskup mengadakan perundingan, dan 543 uskup mendukung untuk menetapkan ajaran itu. Empat uskup menentang, dan sisanya abstain. Sejak tahun 1850 hingga 1854 Paus Pius IX memeriksa tujuh konsep dokumen yang diusulkan bagi penetapan ajaran tersebut. Lima dari konsep itu dikerjakan oleh sebuah komisi yang beranggotakan 21 kardinal dan sejumlah besar teolog (Ibid., 136).
Setelah mengadakan sejumlah amandemen, akhirnya pada 8 Desember 1854 Paus Pius IX menetapkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda melalui konstitusi apostolik Ineffabilis Deus. Dengan demikian, ajaran Maria dikandung tanpa noda diyakini sebagai kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Definisi dogma ini adalah sebagai berikut.
”We declare, pronounce, and define that the doctrine which holds that the most Blessed Virgin Mary, in the first instance of her conception, by a singular grace and privilege granted by Almighty God, in view of the merits of Jesus Christ, the Savior of the human race, was preserved free from all stain of original sin, is a doctrine revealed by God and therefore to be believed firmly and constantly by all the faithful.
(Kami menyatakan, mengucapkan, dan mendefinisikan bahwa doktrin yang menyatakan bahwa Perawan Maria yang Kudus, sejak pengandungan pertamanya, dengan karunia yang tunggal dan hak istimewa yang diberikan oleh Allah Yang Mahakuasa, mengingat jasa-jasa Yesus Kristus, Juruselamat umat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal, adalah sebuah dogma yang sudah diwahyukan oleh Allah dan karena itu harus diyakini dengan teguh dan terus-menerus dipertahankan oleh semua umat beriman).”
Dalam ensiklik Beato Pius IX tersebut dijelaskan bahwa alasan tertinggi penentuan dogma ini adalah karena Maria melahirkan Yesus, Putra Allah.
“Dan memang sepenuhnya pantas dikatakan mengenai hal ini bahwa begitu indah seorang ibu sebaiknya selalu gemilang dengan kemuliaan kekudusan yang paling mulia yang didapat dari Anak-Nya dan maka sebab itu sehingga benar-benar bebas dari semua noda dosa asal bahwa dia akan benar-benar mengalahkan si ular tua.”
Menurut Romo Dr. C. Groenen, OFM, salah satu alasan penetapan dogma ini adalah bahwa pada dasarnya Allah memberi Maria segala rahmat yang mungkin diberikan. Rahmat itu (dalam ajaran Katolik) melindungi Maria terhadap noda asal (Groenen, Log.cit.). Maria terlindung dari dosa asal karena ia adalah pilihan Allah. Oleh karena rahmat sebagai orang terpilih itu berasal dari Allah, maka dogma ini sebenarnya hendak menunjukkan gagasan dan keyakinan bahwa Maria tidak kurang adalah manusia biasa yang membutuhkan Kristus dan karya-Nya, agar ia bebas dari dosa asal dan selamat.
Karena dosa asal pada diri manusia, rahmat yang diberikan Allah selalu mental. Tetapi pada Maria, oleh karena ia bebas (terlindungi, tercegah) dari dosa asal, maka rahmat Allah itu terus masuk dalam diri Maria sehingga ia disebut sebagai “penuh rahmat”.
Seperti yang dijelaskan dalam dogma, kasus Maria memang unik dan unggul. Dogma tersebut menjelaskan tentang keistimewaan tunggal (singulari gratia et privilegio). Jadi diandaikan bahwa Allah hanya sekali mengecualikan seorang manusia dari nasib umum terkena dosa asal. Dialah ibu Yesus, Maria. Dogma juga tidak mengatakan bahwa ”harus” demikian. Keistimewaan Maria tidak dapat digambarkan dengan logika belaka. Keistimewaan itu dijabarkan dari kedudukan dan peranan unik Maria dalam tata penyelamatan, yang mana dalam dogma dijelaskan dengan kata ”pantas”, ”layak”, ”patut” (docebat) (Ibid., 80).
Empat tahun kemudian, tepatnya pada 25 Maret 1858, Bunda Maria menampakkan dirinya kepada seorang gadis berumur 14 tahun bernama Bernadette Soubrius dalam gua di Lourdes, Prancis. Penampakan Bunda Maria kepada Bernadette ini terjadi selama 18 kali. Penampakan Maria ini diakui oleh Gereja Katolik sebagai penampakan yang otentik. Dalam penampakan yang ke-16, Maria baru menyatakan dirinya kepada Bernadette: ”Que soy cra Immaculada Coucepciou (Maria sebagai Perawan yang dikandung tanpa noda dosa)” (Wilfried Stinissen, 1985:18). Pernyataan dari Maria ini mengkonfirmasi ajaran Paus Pius IX, dan dengan demikian juga membuktikan infalibilitas ajarannya tersebut.
Ajaran Tentang Dosa Asal dan Dogma Maria Dikandung tanpa Noda
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (sub-bab tentang muncul dan berkembangnya ajaran dalam tradisi), bahwa dogma Maria dikandung tanpa noda tidak dapat dilepaskan dari ajaran tentang dosa asal. Ajaran tentang dosa asal seperti “menghambat” perkembangan ajaran Maria dikandung tanpa noda.
Karena dosa Adam dan Hawa, manusia kehilangan kekudusan yang asli dan dilahirkan dalam kondisi kehilangan rahmat. Menurut Agustinus, dosa asal dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu, sehingga setiap manusia karena lahir dari manusia pasti terkena dosa asal. Ketika Agustinus menyusun ajaran-ajarannya mengenai dosa asal dan cara-cara dosa asal diwariskan, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana hal ini diterapkan pada Maria? Bukankah sebagai manusia ia membutuhkan keselamatan dan penebusan seperti orang-orang lain? Apakah dia dikandung dan dilahirkan dalam dosa asal? Jika demikian, bagaimana kita menyebutnya “Maria kudus tidak bercela dalam segala hal?” Mengenai hal ini ia membuat sebuah pengecualian dalam kasus Maria. Dalam “Nature and Grace” Agustinus menjelaskan:
“Kita harus membuat pengecualian mengenai Perawan Maria yang kudus, yang mengenainya, saya tidak memberikan pertanyaan ketika menyinggung persoalan dosa, karena rasa hormat kepada Tuhan. Karena dari-Nya kita mengetahui betapa berlimpahnya rahmat untuk menghapus dosa dalam bentuk apapun . . . . dianugerahkan kepadanya yang pantas untuk mengandung dan melahirkan Yesus yang tidak berdosa.”
Agustinus tidak menjelaskan lebih lanjut pengecualian ini. Persoalan ajaran tentang dosa asal dan ajaran Maria dikandung tanpa noda masih mengalami kebuntuan dan belum terpecahkan. Jika Maria terluput dari dosa asal, berarti dia tidak memerlukan penebusan Yesus Kristus. Padahalnya, proses Maria dikandung telah membuat dia sama dengan manusia lain, sehingga dia merupakan seorang pewaris dosa asal. Maka, sebagai ciptaan dia tentu membutuhkan penebusan. Bagaimana memecahkan persoalan ini?
Jalan keluar kesulitan tersebut dijelaskan oleh Dun Scotus (1265-1308). Scotus menjelaskan bahwa apapun yang mungkin dan sungguh layak bagi Allah untuk dilakukan, Ia melakukan itu. Menurutnya, adalah mungkin bagi Allah untuk melindungi Maria dari dosa asal. Yesus, Putranya, adalah Penebus yang paling sempurna. Dia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk melakukan penebusan terhadap seorang ciptaan, tentu terhadap ibu-Nya. Bentuk yang paling sempurna dari penyelamatan ini adalah melindungi Maria dari dosa asal. Rahmat perlindungan tidak menghilangkan dosa asal. Namun, rahmat itu mencegah dosa asal. Maria membutuhkan Yesus sebagai penyelamat untuk melindunginya dari dosa asal. Scotus tidak menghadapi masalah yang dihadapi para teolog. Namun, dia memberikan sebuah alternatif brilian yang berlaku pada
tahun 1854 (Alfred McBride, Log.cit.).
Dosa asal juga dapat dihubungkan dengan solidaritas atau kesetiakawanan yang terjalin antara semua manusia. Kesetiakawanan tersebut berlangsung sehubungan dengan keburukan (dosa) manusia. Solidaritas atau kesetiakawanan dalam dosa (kejahatan) tidak hanya mengganggu relasi antar manusia di garis horizontal, tetapi juga relasi antara manusia dan Allah di garis vertikal. Maka solidaritas negatif antara manusia mempunyai ciri dosa teologal, sehingga solidaritas negatif antara manusia mengganggu atau menghalangi relasi manusia dengan Allah. Jadi, pengertian dosa asal di sini adalah solidaritas negatif antara manusia. Solidaritas itu menghalangi manusia dalam menanggapi tawaran diri Allah.
Dalam iman Kristiani juga diakui mengenai solidaritas positif antara manusia yang didasarkan pada solidaritas dengan Yesus Kristus. Secara lahiriah Yesus terkena solidaritas negatif antara manusia, dan puncaknya pada kematian-Nya di salib. Kenatian Yesus merupakan akibat dari solidaritas negatif-Nya dengan manusia. Namun dengan kebangkitan-Nya dari orang mati Allah meluputkan Yesus dari solidaritas negatif, sehingga solidaritas Yesus dengan manusia menjadi solidaritas positif antara manusia dan Yesus (Groenen, Op.cit., 87-88).
Sebagai manusia, Maria solider dengan manusia lain dalam keburukan dan kemalangannya. Maria tetap terlibat dalam nasib malang manusia (penderitaan, kesedihan, kematian). Namun oleh karena relasinya yang unik dengan Putera-Nya, Yesus Kristus, solidaritas negatif tersebut tidak mempengaruhi relasinya dengan Allah. Karena relasi yang istimewa tersebut, tawaran kasih Allah sejak awal menyentuh dan mempersatukan Maria dengan Allah secara pribadi. Relasi dan solidaritasnya dengan Yesus mengecualikan Maria dari nasib umum manusia terkena dosa asal. Pada pribadi manusia sejak awal telah ada relasi yang istimewa dengan Yesus Kristus (Ibid., 90). Gagasan inilah yang menjadi salah satu pendasaran penjelasan dogma Maria dikandung tanpa noda asal.
Refleksi Teologis
Kemajuan zaman menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat dunia. Berbagai kemudahan itu telah mengubah gaya hidup masyarakat dengan aneka tantangan pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas, beban hidup yang semakin berat, dan transformasi masyarakat yang semakin egois dan individualistis. Orientasi nilai yang dikejar pun berbalik arah. Orang lebih menyukai hal-hal yang berbau pangkat, glamor, nikmat, cepat, instan, serta memandang segala sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai hal demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya sendiri. Mau tak mau umat beriman berhadapan dengan tantangan ini. Mereka seolah berada di tengah-tengah kegelapan yang menerpa dunia akibat dari kesempitan diri dan dorongan cinta, serta kepentingan diri yang semakin menguat (Hidup, 28 Juli 2013).
Gagasan untuk kembali dan berpegang teguh pada akar spiritualitas Kristiani menjadi pilihan yang tepat guna menjawab tantangan ini. Dengan kata lain, umat beriman perlu untuk menghayati kembali panggilannya sebagai murid Kristus agar jiwa kekatolikannya tidak lantas larut terbawa situasi zaman.
Dogma Maria dikandung tanpa noda merupakan ajaran yang telah berakar lama dalam Gereja, dan dari ajaran ini Gereja mengajak umat beriman untuk melihat Bunda Maria sebagai teladan kekudusan. Jadi, fokus utama dogma ini bukan semata-mata untuk meninggikan kedudukan Perawan Maria, tetapi merupakan suatu ajakan untuk meneladani iman Maria agar umat beriman dapat berjuang hidup kudus setiap hari dengan hanya mengandalkan rahmat Tuhan. Ajaran ini merupakan salah satu akar spiritualitas Kristiani yang kiranya penting untuk senantiasa direfleksikan dan digali maknanya, agar umat beriman setia pada imannya di tengah berbagai tantangan zaman yang berkembang. Ada tiga poin yang kami gali sebagai hasil refleksi teologis dari pembahasan dogma ini.
Pertama, dalam Lumen Gentium art. 56 dijelaskan:
“Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas . . . . Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria ‘bunda mereka yang hidup’. Sering pula mereka menyatakan: ‘maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.”
Kekudusan pribadi terletak dalam interaksi antara rahmat panggilan Allah dan iman (jawaban) manusia (Georg Kirchberger, 1988: 91-92). Rahmat kekudusan pada diri Maria, sehingga ia bebas dari noda dosa, tidak diterima Maria secara pasif belaka, tetapi ia turut berpartisipasi dan bekerjasama dengan Allah dalam karya keselamatan manusia melalui pernyataan dan jawabannya atas panggilan Allah dalam peristiwa kabar sukacita, ”Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Pada dasarnya Maria memiliki kebebasan penuh untuk menerima atau menolak kehendak Allah. Tetapi dengan tegas dan berani ia menjawab panggilan Allah secara total dalam tingkah laku dan seluruh hidupnya.
Maka dalam meneladani kekudusan Maria kita pun diajak untuk berani dan terbuka dalam menjawab panggilan Allah dalam hidup kita, serta menjadi manusia sebagaimana yang diimpikan Allah. Keberanian dan keterbukaan dalam menjawab panggilan Allah tersebut (seperti Maria), pertama-tama diwujudkan dalam semangat mengupayakan kekudusan hidup setiap hari dengan hanya mengandalkan rahmat Tuhan melalui doa. Dalam semangat kekudusan itu kita didorong untuk tidak mudah hanyut dalam aneka tantangan zaman yang semakin berkembang, serta mewujudnyatakannya dalam nilai-nilai Kristiani bagi hidup kita sehari-hari: kasih, persaudaraan, lemah lembut, kesetiaan, murah hati, rendah hati, mengampuni, pantang menyerah, berjuang, tekun, tidak gampang mengeluh, matiraga, sederhana, keadilan.
Kedua, dogma ini menunjukan bahwa Maria adalah tanda kemurahan rahmat Ilahi. Maria adalah manusia pertama yang dikuduskan dan ditebus dari dosa asal oleh jasa Kristus, Penyelamat. Ia menikmati kasih bebas dari Allah (Salvatore M. Sabato, Op.cit.,122). Ajaran Maria dikandung tanpa noda juga berarti bahwa Tuhan menyertai hidup manusia dengan kasih yang menyelamatkan (membebaskan) (Karl Rahner, 1962:44). Kemurahan rahmat Ilahi pada diri Maria juga hendak menunjukkan kasih dan kerahiman Allah yang tak terbatas bagi manusia. Kasih dan kerahiman Allah itu mendorong manusia untuk senantiasa berharap pada Allah. Di sini Allah menyatakan kesediaan dan inisiatif-Nya untuk bekerja sama dengan manusia dalam melawan dosa.
Ketiga, Kristus memberi rahmat pemeliharaan atau perlindungan kepada Perawan Maria sehingga ia bebas dari dosa asal. Sedangkan bagi kita (manusia), pembebasan dari dosa asal itu diterimakan oleh Gereja melalui Sakramen Pembaptisan. Kendati melalui Pembaptisan manusia pada dasarnya telah dibersihkan dari dosa asal, namun kelemahan-kelemahan dan kecenderungan-kecenderungan manusia pada kejahatan (dosa) masih ada dan bisa tumbuh dalam dirinya sebagai akibat dari kondisi awal (dosa asal) tersebut. Maka dalam poin ini, nilai dari dogma ini mengarahkan kita untuk merenungkan sejauh mana pengaruh dosa asal dalam kehidupan kita. Melalui rahmat Allah dalam sakramen-sakramen, kita dibantu untuk menjalani sebuah proses penyembuhan dari pengaruh-pengaruh dosa dan membawa kita kepada keutuhan pribadi sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Maria sering digambarkan sebagai Hawa baru. Ikatan yang disebabkan oleh ketidaktaatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria (Hawa baru) pada kehendak Allah untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibu bagi-Nya. Sehingga ”maut” (karena dosa) yang didatangkan oleh Hawa kini telah diubah menjadi ”hidup” (karena Yesus) oleh Maria. Bebasnya Maria dari dosa asal membebaskannya pula dari dosa-dosa pribadi serta segala kecenderungan dan dorongan untuk hidup hanya menurut daging dan berbuat kejahatan (dosa).
Hal ini bukan berarti bahwa Maria kemudian mengalami ”mati rasa” dari segala godaan dan noda dosa, tetapi dalam hidupnya ia tetap berjuang, bergulat, tidak tunduk, serta membutuhkan rahmat penebusan Kristus untuk menolaknya. Maka melalui dogma ini kita pun diajak untuk berani melawan kecenderungan-kecenderungan dan kelemahan-kelemahan diri yang mengarah pada dosa. Perlawanan terhadap dosa adalah perjuangan yang tidak gampang, apalagi saat ini kita hidup dalam situasi zaman yang semakin berkembang, di mana aneka tantangan dengan mudah bisa membuai dan menggoda kita untuk jatuh dalam dosa (glamor, hedonis, materialis, egois, individualis, seks, persaingan, konflik, peperangan, penindasan). (*)
Mahasiswa Semester IV STFT Widya Sasana, Malang
Dalam buku Misa pada Hari Raya Santa Maria Dikandung Tanpa Noda (1983:1912), pada doa pembuka tertulis: “Guna menyediakan kediaman yang pantas bagi Putera-Mu yang akan menjelma, Engkau telah melindungi Santa Perawan Maria terhadap segala noda dan cela.” Maria dipilih untuk menjadi Bunda Allah, dan sebagai Bunda Allah ia kudus serta bebas dari segala noda dan cela.
Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa “Bunda yang dikandung tanpa noda” mengacu pada perawan yang mengandung Yesus oleh Kuasa Roh Kudus. Mengandung dari Roh Kudus serta keperawanannya yang utuh dan tidak bercela menjadi dasar baginya untuk disebut sebagai “yang dikandung tanpa noda”. Pandangan semacam ini keliru. Dogma Maria dikandung tanpa noda mengacu pada peristiwa dikandungnya (conceptio) Maria oleh St. Anna. Sejak awal perkandungannya, Maria telah dikuduskan. Dari awal ia “kudus tak bercela” (ef. 5:27).
Keyakinan akan kekudusan Maria sejak dalam kandungan ibunya berbenturan dengan pandangan tentang dosa asal. Sebagaimana manusia lain yang adalah keturunan Adam, Maria tentu tidak luput dari dosa asal. Keberadaannya sebagai manusia menjadi dasar bagi dirinya untuk turut terkena dosa tersebut (Groenen, 1988:78). Namun, bagaimana mungkin Maria dapat menjadi sarana yang pantas bagi Roh Kudus dan melahirkan seorang anak yang tak bernoda, jika ia sendiri berdosa dan bercela? Bagaimana menjelaskan persoalan ini? Lantas, yang mejadi pertanyaan selanjutnya adalah apa maksud dari keyakinan bahwa Maria telah dikuduskan sejak dia dikandung? Atau secara lebih jelas, apa arti dan maksud dari dogma Maria dikandung tanpa noda?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menanggapi persoalan yang muncul mengenai dogma ini, dalam paper ini penulis berusaha menggali sejarah dan perkembangan, serta pokok-pokok ajaran tentang Maria dikandung tanpa noda. Selain itu, ketertarikan penulis untuk membahas mengenai dogma Maria dikandung tanpa noda ini juga didasarkan pada keinginan untuk menggali makna teologis yang terkandung dalam dogma ini, yang mana kiranya menjadi bahan refleksi yang penting bagi umat beriman dalam mengikuti Kristus di tengah tantangan zaman yang semakin berkembang.
Sejarah dan Perkembangan Ajaran Maria Dikandung Tanpa Noda
A. Muncul dan Berkembangnya Ajaran dalam Tradisi
Penentuan dogma Maria dikandung tanpa noda didasarkan pada sensus fidei (penghayatan iman atau ajaran iman), dimana ”suara” atau kesadaran Bapa-Pujangga Gereja menjelaskan bahwa kebenaran ini tidak bertentangan dengan sabda dan rencana keselamatan Allah (Salvatore M. Sabato, 2006:121). Ajaran ini sebenarnya telah diyakini oleh Gereja sejak abad awal. Kesaksian pertama tentang kelahiran Maria secara ajaib terdapat di dalam Proto-Injil Yakobus (Ibid.,119). St. Ireneus (abad ke-2) dalam buku ”Againts Heresies, V, The New Creation in Christ” menjelaskan Maria sebagai Hawa yang baru. Menurut Ireneus, ketaatan total Maria dimungkinkan oleh ketotalan kemurniannya tanpa dosa asal:
“Hawa, dengan ketidaktaatannya (karena berdosa) mendatangkan kematian bagi dirinya dan seluruh umat manusia . . . . Maria dengan ketaatannya (tanpa dosa) mendatangkan keselamatan bagi dirinya dan seluruh umat manusia . . . . Oleh karena itu, ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.”
Origenes (tahun 244) dalam Homily I menjelaskan: “Bunda Perawan dari Putra Tunggal Allah ini disebut sebagai Maria, yang layak bagi Tuhan, yang tidak bernoda dari yang tidak bernoda, hanya satu-satunya.”
Sekitar tahun 430, ajaran mengenai dosa asal mulai diketengahkan secara tegas oleh Agustinus dalam perdebatannya dengan Pelagius. Pelagius membantah bahwa orang-orang dapat menjadi kudus melalui usaha pribadi dengan “dibantu oleh rahmat.” Ia menekankan bahwa manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri asalkan memiliki kemauan dan usaha yang keras (kehendak kuat). Agustinus tidak setuju dengan pandangan Pelagius tersebut. Menurutnya, Pembaptisan lebih dari pada pembebasan kehendak untuk menaati Allah secara penuh serta pembebasan dari dosa asal (Alfred McBride, 2004:129). Dari perdebatan itu muncul pertanyaan, “Apakah Maria mewarisi dosa asal?”
Sebelum ajaran tentang dosa asal matang dan mulai dikenal oleh umat beriman, para pujangga Gereja kuno tidak berani mengatakan sesuatu tentang caranya Maria dikandung tanpa noda. Mereka hanya menjunjung tinggi kekudusan Maria pada umumnya, tanpa membahas tentang ajaran Maria yang dikandung tanpa noda (Groenen, Op.cit., 81).
Ajaran tentang dosa asal baru ditetapkan secara definitif dalam Konsili Trente pada tahun 1545. Cara Konsili Trente memikirkan ajaran dosa asal dan bagaimana pengalihannya terpengaruhi oleh pendekatan Agustinus. Karena dosa Adam dan Hawa, manusia kehilangan kekudusan yang asli dan dilahirkan dalam kondisi kehilangan rahmat. Menurut Agustinus, dosa asal dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu. Sehingga setiap manusia karena lahir dari manusia pasti terkena dosa asal. Dosa asal dapat dibebaskan hanya dengan pembaptisan. Oleh karena, itu arah pembahasan mengenai dosa asal hendak menunjukkan bahwa satu-satunya penyelamat adalah Yesus Kristus, dan semua manusia membutuhkan Dia.
Karya penebusan Kristus sungguh-sungguh universal, mencakup semua manusia dari awal hingga akhir (Ibid., 82). Agustinus memang membela kesucian Maria, tetapi tidak sampai meluputkannya dari dosa asal (Ibid., 84).
Ajaran tentang dosa asal tersebut jelas menghambat perkembangan ajaran Maria dikandung tanpa noda. Para pujangga dan teolog Gereja tampaknya agak kesulitan menerima bahwa Maria terluput dari dosa asal, sebab jikalau demikian maka Maria tidak memerlukan karya penebusan Yesus Kristus (Ibid., 83). Proses Maria dikandung telah membuat dia sama dengan manusia lain, sehingga dia merupakan seorang pewaris dosa asal. Maka sebagai ciptaan dia tentu membutuhkan penebusan.
Lantas, bagaimana memecahkan persoalan ini? Jalan keluar kesulitan tersebut dijelaskan oleh Dun Scotus (1265-1308). Menurut Dun Scotus, Maria tetap memerlukan karya penebusan Yesus Kristus. Tetapi penebusan Maria terjadi secara istimewa sehingga ia menjadi terluput dari dosa asal. Bentuk yang paling sempurna dari penebusan ini adalah melindungi Maria dari dosa tersebut (Alfred McBride, Op.cit., 129). Namun pemikiran Dun Scotus tersebut belum dapat diterima secara umum. Sebaliknya, justru muncul perdebatan di antara para teolog yang tidak menerima pengecualian Maria terkena dosa asal, dan para teolog yang berupaya memakai dan memenangkan pendekatannya masing-masing.
Ajaran Maria dikandung tanpa noda pertama kali dirintis oleh Paus Sixtus IV (tahun 1476). Konsili Trente (tahun 1546) menegaskan bahwa penetapan dogma tentang dosa asal tidak mencakup Maria. Pada tahun 1567 Paus Pius V menolak pendapat Bayus bahwa hanya Kristus yang terluput dari dosa asal, sedangkan Maria tidak. Pada tahun 1620 Paus Paulus V melarang segala bentuk serangan terhadap ajaran Katolik tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal. Paus Alexander VII pada tahun 1661 menetapkan perayaaan Pesta Maria dikandung tanpa noda. Pesta itu diwajibkan untuk seluruh Gereja Latin (Groenen, Log.cit.). Tahun 1659, Paus Inosensius XII setuju diadakannya sebuah perayaan untuk menghormati perawan tidak bernoda untuk seluruh Gereja. Tahun 1708, Paus Klemens XI bahkan memberlakukan hari peringatan itu sebagai hari libur wajib (Alfred McBride, Op.cit., 131).
B. Penetapan Dogma
Pada awal masa kepausannya, Paus Pius IX menerima banyak permintaan akan penetapan doktrin yang pasti tentang Maria dikandung tanpa noda. Ia sendiri terkesan dengan isi sebuah buku yang berjudul Can it be Defined by Dogmate Degree? yang ditulis oleh Giovanni Parrone mengenai perawan yang dikandung tanpa noda. Tulisan itu mendorongnya untuk membentuk sebuah komisi para kardinal dan teolog yang bertugas sebagai penasihatnya. Para penasihatnya tersebut mendorongnya untuk menetapkan dogma Maria dikandung tanpa noda.
Oleh karena itu, Paus Pius IX meminta pendapat uskup seluruh dunia. Untuk tujuan ini dia menulis ensiklik Ubi Primum dan mengirimkannya kepada para uskup pada tahun 1848. Sekitar 603 uskup mengadakan perundingan, dan 543 uskup mendukung untuk menetapkan ajaran itu. Empat uskup menentang, dan sisanya abstain. Sejak tahun 1850 hingga 1854 Paus Pius IX memeriksa tujuh konsep dokumen yang diusulkan bagi penetapan ajaran tersebut. Lima dari konsep itu dikerjakan oleh sebuah komisi yang beranggotakan 21 kardinal dan sejumlah besar teolog (Ibid., 136).
Setelah mengadakan sejumlah amandemen, akhirnya pada 8 Desember 1854 Paus Pius IX menetapkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda melalui konstitusi apostolik Ineffabilis Deus. Dengan demikian, ajaran Maria dikandung tanpa noda diyakini sebagai kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Definisi dogma ini adalah sebagai berikut.
”We declare, pronounce, and define that the doctrine which holds that the most Blessed Virgin Mary, in the first instance of her conception, by a singular grace and privilege granted by Almighty God, in view of the merits of Jesus Christ, the Savior of the human race, was preserved free from all stain of original sin, is a doctrine revealed by God and therefore to be believed firmly and constantly by all the faithful.
(Kami menyatakan, mengucapkan, dan mendefinisikan bahwa doktrin yang menyatakan bahwa Perawan Maria yang Kudus, sejak pengandungan pertamanya, dengan karunia yang tunggal dan hak istimewa yang diberikan oleh Allah Yang Mahakuasa, mengingat jasa-jasa Yesus Kristus, Juruselamat umat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal, adalah sebuah dogma yang sudah diwahyukan oleh Allah dan karena itu harus diyakini dengan teguh dan terus-menerus dipertahankan oleh semua umat beriman).”
Dalam ensiklik Beato Pius IX tersebut dijelaskan bahwa alasan tertinggi penentuan dogma ini adalah karena Maria melahirkan Yesus, Putra Allah.
“Dan memang sepenuhnya pantas dikatakan mengenai hal ini bahwa begitu indah seorang ibu sebaiknya selalu gemilang dengan kemuliaan kekudusan yang paling mulia yang didapat dari Anak-Nya dan maka sebab itu sehingga benar-benar bebas dari semua noda dosa asal bahwa dia akan benar-benar mengalahkan si ular tua.”
Menurut Romo Dr. C. Groenen, OFM, salah satu alasan penetapan dogma ini adalah bahwa pada dasarnya Allah memberi Maria segala rahmat yang mungkin diberikan. Rahmat itu (dalam ajaran Katolik) melindungi Maria terhadap noda asal (Groenen, Log.cit.). Maria terlindung dari dosa asal karena ia adalah pilihan Allah. Oleh karena rahmat sebagai orang terpilih itu berasal dari Allah, maka dogma ini sebenarnya hendak menunjukkan gagasan dan keyakinan bahwa Maria tidak kurang adalah manusia biasa yang membutuhkan Kristus dan karya-Nya, agar ia bebas dari dosa asal dan selamat.
Karena dosa asal pada diri manusia, rahmat yang diberikan Allah selalu mental. Tetapi pada Maria, oleh karena ia bebas (terlindungi, tercegah) dari dosa asal, maka rahmat Allah itu terus masuk dalam diri Maria sehingga ia disebut sebagai “penuh rahmat”.
Seperti yang dijelaskan dalam dogma, kasus Maria memang unik dan unggul. Dogma tersebut menjelaskan tentang keistimewaan tunggal (singulari gratia et privilegio). Jadi diandaikan bahwa Allah hanya sekali mengecualikan seorang manusia dari nasib umum terkena dosa asal. Dialah ibu Yesus, Maria. Dogma juga tidak mengatakan bahwa ”harus” demikian. Keistimewaan Maria tidak dapat digambarkan dengan logika belaka. Keistimewaan itu dijabarkan dari kedudukan dan peranan unik Maria dalam tata penyelamatan, yang mana dalam dogma dijelaskan dengan kata ”pantas”, ”layak”, ”patut” (docebat) (Ibid., 80).
Empat tahun kemudian, tepatnya pada 25 Maret 1858, Bunda Maria menampakkan dirinya kepada seorang gadis berumur 14 tahun bernama Bernadette Soubrius dalam gua di Lourdes, Prancis. Penampakan Bunda Maria kepada Bernadette ini terjadi selama 18 kali. Penampakan Maria ini diakui oleh Gereja Katolik sebagai penampakan yang otentik. Dalam penampakan yang ke-16, Maria baru menyatakan dirinya kepada Bernadette: ”Que soy cra Immaculada Coucepciou (Maria sebagai Perawan yang dikandung tanpa noda dosa)” (Wilfried Stinissen, 1985:18). Pernyataan dari Maria ini mengkonfirmasi ajaran Paus Pius IX, dan dengan demikian juga membuktikan infalibilitas ajarannya tersebut.
Ajaran Tentang Dosa Asal dan Dogma Maria Dikandung tanpa Noda
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (sub-bab tentang muncul dan berkembangnya ajaran dalam tradisi), bahwa dogma Maria dikandung tanpa noda tidak dapat dilepaskan dari ajaran tentang dosa asal. Ajaran tentang dosa asal seperti “menghambat” perkembangan ajaran Maria dikandung tanpa noda.
Karena dosa Adam dan Hawa, manusia kehilangan kekudusan yang asli dan dilahirkan dalam kondisi kehilangan rahmat. Menurut Agustinus, dosa asal dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu, sehingga setiap manusia karena lahir dari manusia pasti terkena dosa asal. Ketika Agustinus menyusun ajaran-ajarannya mengenai dosa asal dan cara-cara dosa asal diwariskan, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana hal ini diterapkan pada Maria? Bukankah sebagai manusia ia membutuhkan keselamatan dan penebusan seperti orang-orang lain? Apakah dia dikandung dan dilahirkan dalam dosa asal? Jika demikian, bagaimana kita menyebutnya “Maria kudus tidak bercela dalam segala hal?” Mengenai hal ini ia membuat sebuah pengecualian dalam kasus Maria. Dalam “Nature and Grace” Agustinus menjelaskan:
“Kita harus membuat pengecualian mengenai Perawan Maria yang kudus, yang mengenainya, saya tidak memberikan pertanyaan ketika menyinggung persoalan dosa, karena rasa hormat kepada Tuhan. Karena dari-Nya kita mengetahui betapa berlimpahnya rahmat untuk menghapus dosa dalam bentuk apapun . . . . dianugerahkan kepadanya yang pantas untuk mengandung dan melahirkan Yesus yang tidak berdosa.”
Agustinus tidak menjelaskan lebih lanjut pengecualian ini. Persoalan ajaran tentang dosa asal dan ajaran Maria dikandung tanpa noda masih mengalami kebuntuan dan belum terpecahkan. Jika Maria terluput dari dosa asal, berarti dia tidak memerlukan penebusan Yesus Kristus. Padahalnya, proses Maria dikandung telah membuat dia sama dengan manusia lain, sehingga dia merupakan seorang pewaris dosa asal. Maka, sebagai ciptaan dia tentu membutuhkan penebusan. Bagaimana memecahkan persoalan ini?
Jalan keluar kesulitan tersebut dijelaskan oleh Dun Scotus (1265-1308). Scotus menjelaskan bahwa apapun yang mungkin dan sungguh layak bagi Allah untuk dilakukan, Ia melakukan itu. Menurutnya, adalah mungkin bagi Allah untuk melindungi Maria dari dosa asal. Yesus, Putranya, adalah Penebus yang paling sempurna. Dia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk melakukan penebusan terhadap seorang ciptaan, tentu terhadap ibu-Nya. Bentuk yang paling sempurna dari penyelamatan ini adalah melindungi Maria dari dosa asal. Rahmat perlindungan tidak menghilangkan dosa asal. Namun, rahmat itu mencegah dosa asal. Maria membutuhkan Yesus sebagai penyelamat untuk melindunginya dari dosa asal. Scotus tidak menghadapi masalah yang dihadapi para teolog. Namun, dia memberikan sebuah alternatif brilian yang berlaku pada
tahun 1854 (Alfred McBride, Log.cit.).
Dosa asal juga dapat dihubungkan dengan solidaritas atau kesetiakawanan yang terjalin antara semua manusia. Kesetiakawanan tersebut berlangsung sehubungan dengan keburukan (dosa) manusia. Solidaritas atau kesetiakawanan dalam dosa (kejahatan) tidak hanya mengganggu relasi antar manusia di garis horizontal, tetapi juga relasi antara manusia dan Allah di garis vertikal. Maka solidaritas negatif antara manusia mempunyai ciri dosa teologal, sehingga solidaritas negatif antara manusia mengganggu atau menghalangi relasi manusia dengan Allah. Jadi, pengertian dosa asal di sini adalah solidaritas negatif antara manusia. Solidaritas itu menghalangi manusia dalam menanggapi tawaran diri Allah.
Dalam iman Kristiani juga diakui mengenai solidaritas positif antara manusia yang didasarkan pada solidaritas dengan Yesus Kristus. Secara lahiriah Yesus terkena solidaritas negatif antara manusia, dan puncaknya pada kematian-Nya di salib. Kenatian Yesus merupakan akibat dari solidaritas negatif-Nya dengan manusia. Namun dengan kebangkitan-Nya dari orang mati Allah meluputkan Yesus dari solidaritas negatif, sehingga solidaritas Yesus dengan manusia menjadi solidaritas positif antara manusia dan Yesus (Groenen, Op.cit., 87-88).
Sebagai manusia, Maria solider dengan manusia lain dalam keburukan dan kemalangannya. Maria tetap terlibat dalam nasib malang manusia (penderitaan, kesedihan, kematian). Namun oleh karena relasinya yang unik dengan Putera-Nya, Yesus Kristus, solidaritas negatif tersebut tidak mempengaruhi relasinya dengan Allah. Karena relasi yang istimewa tersebut, tawaran kasih Allah sejak awal menyentuh dan mempersatukan Maria dengan Allah secara pribadi. Relasi dan solidaritasnya dengan Yesus mengecualikan Maria dari nasib umum manusia terkena dosa asal. Pada pribadi manusia sejak awal telah ada relasi yang istimewa dengan Yesus Kristus (Ibid., 90). Gagasan inilah yang menjadi salah satu pendasaran penjelasan dogma Maria dikandung tanpa noda asal.
Refleksi Teologis
Kemajuan zaman menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat dunia. Berbagai kemudahan itu telah mengubah gaya hidup masyarakat dengan aneka tantangan pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas, beban hidup yang semakin berat, dan transformasi masyarakat yang semakin egois dan individualistis. Orientasi nilai yang dikejar pun berbalik arah. Orang lebih menyukai hal-hal yang berbau pangkat, glamor, nikmat, cepat, instan, serta memandang segala sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai hal demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya sendiri. Mau tak mau umat beriman berhadapan dengan tantangan ini. Mereka seolah berada di tengah-tengah kegelapan yang menerpa dunia akibat dari kesempitan diri dan dorongan cinta, serta kepentingan diri yang semakin menguat (Hidup, 28 Juli 2013).
Gagasan untuk kembali dan berpegang teguh pada akar spiritualitas Kristiani menjadi pilihan yang tepat guna menjawab tantangan ini. Dengan kata lain, umat beriman perlu untuk menghayati kembali panggilannya sebagai murid Kristus agar jiwa kekatolikannya tidak lantas larut terbawa situasi zaman.
Dogma Maria dikandung tanpa noda merupakan ajaran yang telah berakar lama dalam Gereja, dan dari ajaran ini Gereja mengajak umat beriman untuk melihat Bunda Maria sebagai teladan kekudusan. Jadi, fokus utama dogma ini bukan semata-mata untuk meninggikan kedudukan Perawan Maria, tetapi merupakan suatu ajakan untuk meneladani iman Maria agar umat beriman dapat berjuang hidup kudus setiap hari dengan hanya mengandalkan rahmat Tuhan. Ajaran ini merupakan salah satu akar spiritualitas Kristiani yang kiranya penting untuk senantiasa direfleksikan dan digali maknanya, agar umat beriman setia pada imannya di tengah berbagai tantangan zaman yang berkembang. Ada tiga poin yang kami gali sebagai hasil refleksi teologis dari pembahasan dogma ini.
Pertama, dalam Lumen Gentium art. 56 dijelaskan:
“Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas . . . . Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria ‘bunda mereka yang hidup’. Sering pula mereka menyatakan: ‘maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.”
Kekudusan pribadi terletak dalam interaksi antara rahmat panggilan Allah dan iman (jawaban) manusia (Georg Kirchberger, 1988: 91-92). Rahmat kekudusan pada diri Maria, sehingga ia bebas dari noda dosa, tidak diterima Maria secara pasif belaka, tetapi ia turut berpartisipasi dan bekerjasama dengan Allah dalam karya keselamatan manusia melalui pernyataan dan jawabannya atas panggilan Allah dalam peristiwa kabar sukacita, ”Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Pada dasarnya Maria memiliki kebebasan penuh untuk menerima atau menolak kehendak Allah. Tetapi dengan tegas dan berani ia menjawab panggilan Allah secara total dalam tingkah laku dan seluruh hidupnya.
Maka dalam meneladani kekudusan Maria kita pun diajak untuk berani dan terbuka dalam menjawab panggilan Allah dalam hidup kita, serta menjadi manusia sebagaimana yang diimpikan Allah. Keberanian dan keterbukaan dalam menjawab panggilan Allah tersebut (seperti Maria), pertama-tama diwujudkan dalam semangat mengupayakan kekudusan hidup setiap hari dengan hanya mengandalkan rahmat Tuhan melalui doa. Dalam semangat kekudusan itu kita didorong untuk tidak mudah hanyut dalam aneka tantangan zaman yang semakin berkembang, serta mewujudnyatakannya dalam nilai-nilai Kristiani bagi hidup kita sehari-hari: kasih, persaudaraan, lemah lembut, kesetiaan, murah hati, rendah hati, mengampuni, pantang menyerah, berjuang, tekun, tidak gampang mengeluh, matiraga, sederhana, keadilan.
Kedua, dogma ini menunjukan bahwa Maria adalah tanda kemurahan rahmat Ilahi. Maria adalah manusia pertama yang dikuduskan dan ditebus dari dosa asal oleh jasa Kristus, Penyelamat. Ia menikmati kasih bebas dari Allah (Salvatore M. Sabato, Op.cit.,122). Ajaran Maria dikandung tanpa noda juga berarti bahwa Tuhan menyertai hidup manusia dengan kasih yang menyelamatkan (membebaskan) (Karl Rahner, 1962:44). Kemurahan rahmat Ilahi pada diri Maria juga hendak menunjukkan kasih dan kerahiman Allah yang tak terbatas bagi manusia. Kasih dan kerahiman Allah itu mendorong manusia untuk senantiasa berharap pada Allah. Di sini Allah menyatakan kesediaan dan inisiatif-Nya untuk bekerja sama dengan manusia dalam melawan dosa.
Ketiga, Kristus memberi rahmat pemeliharaan atau perlindungan kepada Perawan Maria sehingga ia bebas dari dosa asal. Sedangkan bagi kita (manusia), pembebasan dari dosa asal itu diterimakan oleh Gereja melalui Sakramen Pembaptisan. Kendati melalui Pembaptisan manusia pada dasarnya telah dibersihkan dari dosa asal, namun kelemahan-kelemahan dan kecenderungan-kecenderungan manusia pada kejahatan (dosa) masih ada dan bisa tumbuh dalam dirinya sebagai akibat dari kondisi awal (dosa asal) tersebut. Maka dalam poin ini, nilai dari dogma ini mengarahkan kita untuk merenungkan sejauh mana pengaruh dosa asal dalam kehidupan kita. Melalui rahmat Allah dalam sakramen-sakramen, kita dibantu untuk menjalani sebuah proses penyembuhan dari pengaruh-pengaruh dosa dan membawa kita kepada keutuhan pribadi sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Maria sering digambarkan sebagai Hawa baru. Ikatan yang disebabkan oleh ketidaktaatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria (Hawa baru) pada kehendak Allah untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibu bagi-Nya. Sehingga ”maut” (karena dosa) yang didatangkan oleh Hawa kini telah diubah menjadi ”hidup” (karena Yesus) oleh Maria. Bebasnya Maria dari dosa asal membebaskannya pula dari dosa-dosa pribadi serta segala kecenderungan dan dorongan untuk hidup hanya menurut daging dan berbuat kejahatan (dosa).
Hal ini bukan berarti bahwa Maria kemudian mengalami ”mati rasa” dari segala godaan dan noda dosa, tetapi dalam hidupnya ia tetap berjuang, bergulat, tidak tunduk, serta membutuhkan rahmat penebusan Kristus untuk menolaknya. Maka melalui dogma ini kita pun diajak untuk berani melawan kecenderungan-kecenderungan dan kelemahan-kelemahan diri yang mengarah pada dosa. Perlawanan terhadap dosa adalah perjuangan yang tidak gampang, apalagi saat ini kita hidup dalam situasi zaman yang semakin berkembang, di mana aneka tantangan dengan mudah bisa membuai dan menggoda kita untuk jatuh dalam dosa (glamor, hedonis, materialis, egois, individualis, seks, persaingan, konflik, peperangan, penindasan). (*)
Quo Vadis Sarjana Katolik
Oleh Prof. Dr. John Tondowidjojo, CM
Tidak ada yang sangat berpengaruh kecuali teladan. Kita tidak pernah melakukan kejahatan atau kebaikan besar tanpa berperilaku yang kurang lebih sama dengan yang diharapkan, terhadap orang lain. (La Rochefoucauld)
Pada suatu hari atau pada peristiwa yang lain, dengan cara yang besar atau kecil, Anda adalah teladan, bahkan ilham bagi orang lain. Hal itu saya kemukakan di sini, karena Anda semua adalah SARJANA yang secara kebetulan pula Anda termasuk dalam salam salah satu wadah Ikatan Sarjana Katolik, (ISKA) sudah selayaknya kalau saya katakan, Anda adalah insipirator bagi orang lain.
Sarjana adalah orang pandai (ahli ilmu pengetahuan), gelar strata satu (S1) yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat akhir di perguruan tinggi. Karena Anda termasuk dalam kategori ini, diharapkan semua cara berpikir dan tindakan Anda sangat diharapkan oleh sesama. Semua predikat yang telah melekat dalam diri Anda seharusnya tercermin dalam tindakan, sekecil apa pun dalam kehidupan Anda. Hal ini berlaku bahkan ketika Anda tidak menyadari dampak yang Anda miliki.
Anda membuat perbedaan dengan cara Anda menangani krisis pribadi, memperlakukan seorang anak, melakukan pekerjaan Anda, dan menghabiskan waktu luang Anda. Itu wajar bahwa sebagian besar orang mempengaruhi keluarga dan teman-teman, tetangga, dan rekan kerja. Tetapi itu tidak berakhir di sana. Sentuhlah satu kehidupan di sekitar Anda, maka tak terhitung jumlah mereka yang terpengaruh.
Dalam kaitannya ulasan ini, untuk menjawab tantangan ISKA ke depan, saya lebih condong memilih istilah cendekiawan dibandingkan kata sarjana. Cendekiawan adalah (1) orang yang cerdik pandai; (2) intelek; (3) orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu.
Dewasa ini cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, kenyataannya banyak lulusan universitas bukan jaminan dan dengan sendirinya mereka dapat dikategorikan sebagai seorang cendekiawan. Mengingat bahwa seorang dikategorikan sebagai cendekiawan kalau mereka yang senantiasa adalah pemikir yang berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat banyak dengan berbagai bentuk, misalnya mengkaji, menganalisis, merumuskan segala persoalan untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu.
Lebih jauh lagi, seorang yang dikategorikan sebagai intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama demi kepentingan masyarakat. Untuk itulah saya lebih cocok memakai kata
CENDEKIAWAN.
Berbicara tentang ISKA, secara otomatis dalam benak saya langsung mengkaitkan nama besar tersebut dengan tiga institusi besar di dalamnya, yaitu Sarjana, Katolik, dan Indonesia. Institusi pertama bernama sarjana, merupakan tradisi yang selalu berkait erat dengan masalah ilmiah, keluasan berpikir. Lebih jauh lagi, seorang dikategorikan sebagai seorang cendekiawan juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama demi kepentingan masyarakat. Semua itu merupakan hakikat pihak yang menyebut dirinya sarjana.
Institusi kedua tak lain Katolik. Menjadi bentuk tanggung jawab moral pengurus dan anggota ISKA untuk berperilaku sesuai nilai-nilai Katolik. Institusi ketiga bernama Indonesia. Memperjuangkan nilai-nilai ke-Indonesia-an tak pelak menjadi sebuah keharusan bagi ISKA. Nilai-nilai itu tak lain seperti tercantum dalam butir-butir sila Pancasila. Salah satu butir itu menyebutkan: Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Merujuk pada butir tersebut, seyogyanya para anggota dan pengurus ISKA ikut berperan untuk menegakkan isi salah satu butir Pancasila tersebut.
Misalnya ikut dalam upaya pemberantasan korupsi, salah satunya. Hal ini merupakan tanggung jawab ISKA sebagai kelompok Sarjana Katolik yang berwarga negara Indonesia. Memberantas korupsi nan masif seperti terjadi di Indonesia tidak bisa hanya sebatas tindakan di atas kertas atau berputar dalam lorong-lorong diskusi internal. Muncul ke permukaan, diperhitungkan oleh para politikus, dan pemerintah merupakan pijakan kuat untuk ikut dalam memberantas korupsi.
Inilah pekerjaan rumah ISKA. Bagaimana ISKA memiliki daya gempur melawan tradisi korupsi apabila namanya nyaris tak terdengar?
Masyarakat di sekitar kita cenderung menganggap Anda sebagai panutan/teladan, hal akan ditiru tidak hanya apa yang orang lain katakan, tetapi apa yang Anda lakukan. Banyak figur keteladanan yang dapat kita ambil. Salah satunya figur Maria Guadalupe Vasquez yang ingat akan ibunya ketika mengatakan pada dia dan adik-adiknya dan saudara-saudara, "Kamu layak mendapat sesuatu yang lebih baik."
Meskipun Ibu Vasquez hanya berpendidikan kelas enam sekolah dasar, dia mengajar anak-anak mereka setiap malam setelah seharian di lahan sebagai buruh migran. Mereka meniru kerja kerasnya dengan berkonsentrasi pada studi mereka. Sekarang di usia 18 tahunnya, ia di Stanford University. Lupe juga tutor anak-anak miskin Hispanik lainnya dan membuat mereka tahu bahwa mereka berharga. "Anda dapat membuat perbedaan dalam kehidupan anak-anak jika Anda memberitahu mereka bahwa mereka berharga. Dan Kami melakukannya dengan cinta dan peduli", katanya.
Karena aku telah memberikan pada kamu suatu teladan, supaya kamu juga hendaknya melakukan seperti yang Aku lakukan pada kamu (Yohanes 13:15).
DAYA KETELADANAN
Sebelum berusia 30 tahun, Midard Fuller sedang dalam perjalanan untuk menjadi miliarder dengan usahanya sendiri. Tetapi pengabdian kepada pekerjaan itu mengancam kesehatan dan pernikahannya. Dia membutuhkan tujuan baru dalam hidup. Fuller mengunjungi sebuah komunitas gereja di dekat Americus, Ga, yang dikenal dengan Koinonia Farm, yang dipimpin oleh seorang pria yang percaya akan hidup sederhana dan pekerjaan baik. Clarence Jordan, seorang teolog-petani, menginspirasi Fuller dengan filosofi dan teladan personalnya. Jordan yakin bahwa orang miskin yang tinggal di gubuk-gubuk bobrok di dekat situ dapat meningkatkan diri mereka dengan sedikit dukungan.
"Orang-orang tidak perlu amal," kata Fuller. "Mereka membutuhkan suatu cara untuk membantu diri mereka sendiri." Millard Fuller setuju. Dia mulai apa yang saat ini merupakan sebuah organisasi di seluruh dunia yang tujuannya adalah penghapusan perumahan yang tidak memadai sebagai kesaksian Injil. Habitat for Humanity ia sebut Teologi Palu. Tindakan lebih keras daripada kata-kata, nampaknya adalah klise tetapi itu tetap benar. Setiap hari banyak orang mengungkapkan kebaikan mereka lewat berbagai cara. "Saya tidak perlu mewartakan dengan kata-kata. Saya hanya ingin berkhotbah dengan keteladanan."
EFEK BERIAK
Tindakan kecil itu penting dan efeknya dapat menyebar dari satu atau dua orang sampai seluruh masyarakat. Katie Geneva Canon, profesor di Sekolah Divinity Episkopal di Cambridge, Mass, menvebut gagasan tersebut Etika Kerikil. "Saya tahu Tuhan bekerja melalui saya ketika saya mengajar," kata Rev Canon. "Setiap kerikil kebenaran dilemparkan ke dalam kolam memiliki efek riak."
Dihadapkan dengan masalah yang tampaknya luar biasa itu tergoda untuk tak melakukan apa-apa. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan mengenali nilai awal secara sederhana. Michael Moran dari Long Island memulai dengan upaya kecil tapi konsisten untuk mengurangi kelaparan dan rumah-tunawisma. Tujuan awal adalah untuk memberikan makanan bergizi setiap hari pada beberapa orang yang membutuhkan. Idenya tertangkap oleh orang lain, yang kemudian menginspirasi kelompok sukarelawan yang memberikan makanan pada lebih dari 1.200 orang di 17 dapur umum dan delapan tempat penampungan. Biarkan cahaya bersinar di hadapan orang lain, sehingga mereka dapat melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
SIAPA YANG MENGINSPIRASI MASYARAKAT
Orang-orang muda dewasa ini menominasikan sosok pahlawan, mulai dari musisi, tokoh olahraga sampai para pemimpin politik. Peraih medali emas Olimpiade Greg Louganis mengalaminya ketika ia meninggalkan kolam renang dan melihat seorang anak 12 tahun merokok. Ditanya mengapa ia merokok, anak itu berkata, "Saya ingin menjadi seperti Anda." Ini membuat dirinya mempertimbangkan kembali alasan untuk merokok. Akibatnya ia berhenti merokok. "Saya lebih baik menerima posisi saya sebagai model peran dan hidup mencapai ideal itu."
Louganis tahu bahwa dirinya merupakan panutan. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang salah jika anak-anak mengikuti jejaknya. HERO (pahlawan) berarti sesuatu yang personal bagi setiap orang muda. "Bagi saya, seorang pahlawan adalah seseorang yang membantu orang lain, yang merupakan pemimpin yang baik." Jadilah penurut-penurut Allah, sebagai anak-anak tercinta, dan hiduplah dalam kasih. (Efesus 5:1)
Banyak keteladanan yang telah saya ungkapkan di atas, jika keteladanan itu melebur dalam diri anggota dan pengurus ISKA, niscaya ke depan akan lebih cerah lagi kiprahnya. Menjawab semua ini saya teringat akan apa yang telah dialami oleh St. Paulus, ketika masa-masa sulit datang, kehidupannya merupakan inspirasi besar bagi saya. Dia terus melangkah, pergi ke kota berikutnya, bercerita sekali lagi, membujuk, meyakinkan, menjual, mendorong, mempromosikan hal-hal mengenai Kristus.
"Mari kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita, mencari Yesus pelopor dan penyempurna iman kita" (Ibrani 12:2).
Tidak ada yang sangat berpengaruh kecuali teladan. Kita tidak pernah melakukan kejahatan atau kebaikan besar tanpa berperilaku yang kurang lebih sama dengan yang diharapkan, terhadap orang lain. (La Rochefoucauld)
Pada suatu hari atau pada peristiwa yang lain, dengan cara yang besar atau kecil, Anda adalah teladan, bahkan ilham bagi orang lain. Hal itu saya kemukakan di sini, karena Anda semua adalah SARJANA yang secara kebetulan pula Anda termasuk dalam salam salah satu wadah Ikatan Sarjana Katolik, (ISKA) sudah selayaknya kalau saya katakan, Anda adalah insipirator bagi orang lain.
Sarjana adalah orang pandai (ahli ilmu pengetahuan), gelar strata satu (S1) yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat akhir di perguruan tinggi. Karena Anda termasuk dalam kategori ini, diharapkan semua cara berpikir dan tindakan Anda sangat diharapkan oleh sesama. Semua predikat yang telah melekat dalam diri Anda seharusnya tercermin dalam tindakan, sekecil apa pun dalam kehidupan Anda. Hal ini berlaku bahkan ketika Anda tidak menyadari dampak yang Anda miliki.
Anda membuat perbedaan dengan cara Anda menangani krisis pribadi, memperlakukan seorang anak, melakukan pekerjaan Anda, dan menghabiskan waktu luang Anda. Itu wajar bahwa sebagian besar orang mempengaruhi keluarga dan teman-teman, tetangga, dan rekan kerja. Tetapi itu tidak berakhir di sana. Sentuhlah satu kehidupan di sekitar Anda, maka tak terhitung jumlah mereka yang terpengaruh.
Dalam kaitannya ulasan ini, untuk menjawab tantangan ISKA ke depan, saya lebih condong memilih istilah cendekiawan dibandingkan kata sarjana. Cendekiawan adalah (1) orang yang cerdik pandai; (2) intelek; (3) orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu.
Dewasa ini cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, kenyataannya banyak lulusan universitas bukan jaminan dan dengan sendirinya mereka dapat dikategorikan sebagai seorang cendekiawan. Mengingat bahwa seorang dikategorikan sebagai cendekiawan kalau mereka yang senantiasa adalah pemikir yang berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat banyak dengan berbagai bentuk, misalnya mengkaji, menganalisis, merumuskan segala persoalan untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu.
Lebih jauh lagi, seorang yang dikategorikan sebagai intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama demi kepentingan masyarakat. Untuk itulah saya lebih cocok memakai kata
CENDEKIAWAN.
Berbicara tentang ISKA, secara otomatis dalam benak saya langsung mengkaitkan nama besar tersebut dengan tiga institusi besar di dalamnya, yaitu Sarjana, Katolik, dan Indonesia. Institusi pertama bernama sarjana, merupakan tradisi yang selalu berkait erat dengan masalah ilmiah, keluasan berpikir. Lebih jauh lagi, seorang dikategorikan sebagai seorang cendekiawan juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama demi kepentingan masyarakat. Semua itu merupakan hakikat pihak yang menyebut dirinya sarjana.
Institusi kedua tak lain Katolik. Menjadi bentuk tanggung jawab moral pengurus dan anggota ISKA untuk berperilaku sesuai nilai-nilai Katolik. Institusi ketiga bernama Indonesia. Memperjuangkan nilai-nilai ke-Indonesia-an tak pelak menjadi sebuah keharusan bagi ISKA. Nilai-nilai itu tak lain seperti tercantum dalam butir-butir sila Pancasila. Salah satu butir itu menyebutkan: Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Merujuk pada butir tersebut, seyogyanya para anggota dan pengurus ISKA ikut berperan untuk menegakkan isi salah satu butir Pancasila tersebut.
Misalnya ikut dalam upaya pemberantasan korupsi, salah satunya. Hal ini merupakan tanggung jawab ISKA sebagai kelompok Sarjana Katolik yang berwarga negara Indonesia. Memberantas korupsi nan masif seperti terjadi di Indonesia tidak bisa hanya sebatas tindakan di atas kertas atau berputar dalam lorong-lorong diskusi internal. Muncul ke permukaan, diperhitungkan oleh para politikus, dan pemerintah merupakan pijakan kuat untuk ikut dalam memberantas korupsi.
Inilah pekerjaan rumah ISKA. Bagaimana ISKA memiliki daya gempur melawan tradisi korupsi apabila namanya nyaris tak terdengar?
Masyarakat di sekitar kita cenderung menganggap Anda sebagai panutan/teladan, hal akan ditiru tidak hanya apa yang orang lain katakan, tetapi apa yang Anda lakukan. Banyak figur keteladanan yang dapat kita ambil. Salah satunya figur Maria Guadalupe Vasquez yang ingat akan ibunya ketika mengatakan pada dia dan adik-adiknya dan saudara-saudara, "Kamu layak mendapat sesuatu yang lebih baik."
Meskipun Ibu Vasquez hanya berpendidikan kelas enam sekolah dasar, dia mengajar anak-anak mereka setiap malam setelah seharian di lahan sebagai buruh migran. Mereka meniru kerja kerasnya dengan berkonsentrasi pada studi mereka. Sekarang di usia 18 tahunnya, ia di Stanford University. Lupe juga tutor anak-anak miskin Hispanik lainnya dan membuat mereka tahu bahwa mereka berharga. "Anda dapat membuat perbedaan dalam kehidupan anak-anak jika Anda memberitahu mereka bahwa mereka berharga. Dan Kami melakukannya dengan cinta dan peduli", katanya.
Karena aku telah memberikan pada kamu suatu teladan, supaya kamu juga hendaknya melakukan seperti yang Aku lakukan pada kamu (Yohanes 13:15).
DAYA KETELADANAN
Sebelum berusia 30 tahun, Midard Fuller sedang dalam perjalanan untuk menjadi miliarder dengan usahanya sendiri. Tetapi pengabdian kepada pekerjaan itu mengancam kesehatan dan pernikahannya. Dia membutuhkan tujuan baru dalam hidup. Fuller mengunjungi sebuah komunitas gereja di dekat Americus, Ga, yang dikenal dengan Koinonia Farm, yang dipimpin oleh seorang pria yang percaya akan hidup sederhana dan pekerjaan baik. Clarence Jordan, seorang teolog-petani, menginspirasi Fuller dengan filosofi dan teladan personalnya. Jordan yakin bahwa orang miskin yang tinggal di gubuk-gubuk bobrok di dekat situ dapat meningkatkan diri mereka dengan sedikit dukungan.
"Orang-orang tidak perlu amal," kata Fuller. "Mereka membutuhkan suatu cara untuk membantu diri mereka sendiri." Millard Fuller setuju. Dia mulai apa yang saat ini merupakan sebuah organisasi di seluruh dunia yang tujuannya adalah penghapusan perumahan yang tidak memadai sebagai kesaksian Injil. Habitat for Humanity ia sebut Teologi Palu. Tindakan lebih keras daripada kata-kata, nampaknya adalah klise tetapi itu tetap benar. Setiap hari banyak orang mengungkapkan kebaikan mereka lewat berbagai cara. "Saya tidak perlu mewartakan dengan kata-kata. Saya hanya ingin berkhotbah dengan keteladanan."
EFEK BERIAK
Tindakan kecil itu penting dan efeknya dapat menyebar dari satu atau dua orang sampai seluruh masyarakat. Katie Geneva Canon, profesor di Sekolah Divinity Episkopal di Cambridge, Mass, menvebut gagasan tersebut Etika Kerikil. "Saya tahu Tuhan bekerja melalui saya ketika saya mengajar," kata Rev Canon. "Setiap kerikil kebenaran dilemparkan ke dalam kolam memiliki efek riak."
Dihadapkan dengan masalah yang tampaknya luar biasa itu tergoda untuk tak melakukan apa-apa. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan mengenali nilai awal secara sederhana. Michael Moran dari Long Island memulai dengan upaya kecil tapi konsisten untuk mengurangi kelaparan dan rumah-tunawisma. Tujuan awal adalah untuk memberikan makanan bergizi setiap hari pada beberapa orang yang membutuhkan. Idenya tertangkap oleh orang lain, yang kemudian menginspirasi kelompok sukarelawan yang memberikan makanan pada lebih dari 1.200 orang di 17 dapur umum dan delapan tempat penampungan. Biarkan cahaya bersinar di hadapan orang lain, sehingga mereka dapat melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
SIAPA YANG MENGINSPIRASI MASYARAKAT
Orang-orang muda dewasa ini menominasikan sosok pahlawan, mulai dari musisi, tokoh olahraga sampai para pemimpin politik. Peraih medali emas Olimpiade Greg Louganis mengalaminya ketika ia meninggalkan kolam renang dan melihat seorang anak 12 tahun merokok. Ditanya mengapa ia merokok, anak itu berkata, "Saya ingin menjadi seperti Anda." Ini membuat dirinya mempertimbangkan kembali alasan untuk merokok. Akibatnya ia berhenti merokok. "Saya lebih baik menerima posisi saya sebagai model peran dan hidup mencapai ideal itu."
Louganis tahu bahwa dirinya merupakan panutan. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang salah jika anak-anak mengikuti jejaknya. HERO (pahlawan) berarti sesuatu yang personal bagi setiap orang muda. "Bagi saya, seorang pahlawan adalah seseorang yang membantu orang lain, yang merupakan pemimpin yang baik." Jadilah penurut-penurut Allah, sebagai anak-anak tercinta, dan hiduplah dalam kasih. (Efesus 5:1)
Banyak keteladanan yang telah saya ungkapkan di atas, jika keteladanan itu melebur dalam diri anggota dan pengurus ISKA, niscaya ke depan akan lebih cerah lagi kiprahnya. Menjawab semua ini saya teringat akan apa yang telah dialami oleh St. Paulus, ketika masa-masa sulit datang, kehidupannya merupakan inspirasi besar bagi saya. Dia terus melangkah, pergi ke kota berikutnya, bercerita sekali lagi, membujuk, meyakinkan, menjual, mendorong, mempromosikan hal-hal mengenai Kristus.
"Mari kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita, mencari Yesus pelopor dan penyempurna iman kita" (Ibrani 12:2).
Friday, November 14, 2014
Gedung Baru STFT Widya Sasana Malang
Pada hari Kamis, 15 Mei 2014, segenap civitas akademika Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, mengadakan acara pemberkatan dan peresmian gedung pascasarjana. Acara pemberkatan dan peresmian gedung dihadiri Uskup Malang Mgr. H.J.S. Pandoyoputro, O.Carm, Uskup Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang, Uskup Tanjung Selor Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF, Mgr. F.X Hadi Sumarto, O.Carm, Sofian (sekretaris daerah Kota Malang), Hendri sebagai donatur utama, beserta segenap tamu undangan.
Misa perayaan syukur pemberkatan gedung baru dipimpin oleh Mgr. Pandoyoputro, O.Carm, didampingi oleh para uskup dan para imam baik sebagai dosen maupun alumnus STFT Widya Sasana. Dalam kotbahnya, Mgr. Pandoyoputro menekankan sikap lepas bebas, memiliki keseimbangan dalam hidup dan teguh berpegang pada Kristus. Memiliki keteguhan hati dan keseimbangan dalam hidup laksana bangunan yang didirikan di atas batu, teguh tak tergoyahkan.
Sebaliknya, kata uskup yang juga mantan pastor paroki Jember ini, jika kita tidak berpegang teguh pada iman kepercayaan kita akan Kristus, kita laksana bangunan yang didirikan di atas pasir, tidak memiliki pondasi yang kuat dalam hidup dan mudah digoyangkan oleh berbagai angin pengajaran. Maka, STFT Widya Sasana sebagai institusi pendidikan calon imam hadir untuk mendidik para calon imam dengan sikap lepas bebas, memiliki keseimbangan dalam hidup dan menjadi manusia unggul dengan prinsip-prinsip fundamental dalam tatanan hidup bersama.
Setelah perayaan syukur dan pemberkatan gedung, dilanjutkan dengan peresmian gedung ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Mgr. Pandoyoputro dan Sofian, yang mewakili wali kota Malang. Acara selanjutnya adalah ungkapan syukur yang ditandai dengan makan bersama. Pada pukul 19.00 WIB, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama yang dihadiri oleh segenap civitas akademika, para tamu undangan, dan warga di sekitar lingkungan kampus STFT Widya Sasana Malang. Setelah kenduri, acara dilanjutkan wayangan yang mempresentasikan Prabu Sumilih yang dilakoni oleh Ki Marsudiana.
(Forum STRT Widya Sasana)
Misa perayaan syukur pemberkatan gedung baru dipimpin oleh Mgr. Pandoyoputro, O.Carm, didampingi oleh para uskup dan para imam baik sebagai dosen maupun alumnus STFT Widya Sasana. Dalam kotbahnya, Mgr. Pandoyoputro menekankan sikap lepas bebas, memiliki keseimbangan dalam hidup dan teguh berpegang pada Kristus. Memiliki keteguhan hati dan keseimbangan dalam hidup laksana bangunan yang didirikan di atas batu, teguh tak tergoyahkan.
Sebaliknya, kata uskup yang juga mantan pastor paroki Jember ini, jika kita tidak berpegang teguh pada iman kepercayaan kita akan Kristus, kita laksana bangunan yang didirikan di atas pasir, tidak memiliki pondasi yang kuat dalam hidup dan mudah digoyangkan oleh berbagai angin pengajaran. Maka, STFT Widya Sasana sebagai institusi pendidikan calon imam hadir untuk mendidik para calon imam dengan sikap lepas bebas, memiliki keseimbangan dalam hidup dan menjadi manusia unggul dengan prinsip-prinsip fundamental dalam tatanan hidup bersama.
Setelah perayaan syukur dan pemberkatan gedung, dilanjutkan dengan peresmian gedung ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Mgr. Pandoyoputro dan Sofian, yang mewakili wali kota Malang. Acara selanjutnya adalah ungkapan syukur yang ditandai dengan makan bersama. Pada pukul 19.00 WIB, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama yang dihadiri oleh segenap civitas akademika, para tamu undangan, dan warga di sekitar lingkungan kampus STFT Widya Sasana Malang. Setelah kenduri, acara dilanjutkan wayangan yang mempresentasikan Prabu Sumilih yang dilakoni oleh Ki Marsudiana.
(Forum STRT Widya Sasana)
Anak Asuh Seksos HKY Wisata Bareng
Di akhir tahun ajaran, anak-anak sekolah tentu capek setelah disibukkan dengan pelajaran dan pekerjaan rumah selama satu tahun. Karena itu, Seksi Sosial Paroki Hati Kudus Yesus (HKY), Surabaya, mengajak anak-anak asuhan seksos untuk keluar dari rutinitas mereka dalam bentuk wisata rohani. Wisata ini dilaksanakan pada 27 Mei 2014 dan diikuti 45 anak asuh.
Mereka terdiri dari berbagai macam usia (10-19 tahun) dan didampingi oleh 18 pengurus seksi sosial yang tergabung dalam enam wilayah di Paroki HKY. Mereka adalah anak-anak yang selama ini mendapat bantuan SPP dari gereja. Kegiatan mengajak anak-anak asuhan seksos untuk berkumpul bersama sebenarnya telah diadakan secara rutin pada setiap akhir tahun ajaran, namun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Kali ini anak-anak diajak untuk wisata rohani dengan tujuan agar anak-anak yang tersebar di enam wilayah bisa saling mengenal, berbagi, dan berkorban. Ini juga sesuai dengan cita-cita Ardas Keuskupan Surabaya tahun ini yang ingin memberdayakan Orang Muda Katolik agar terlibat dalam kegiatan menggereja.
Rombongan berangkat dari Surabaya pada pukul tujuh pagi dan tiba di Wisata Bahari Lamongan (WBL) pada pukul sembilan. Di sana anak-anak dihibur dengan beberapa permainan, di antaranya yel-yel agar mereka lebih percaya diri dan bisa bekerja dalam kelompok. Selain itu, ada permainan menebak suara dengan ditutup matanya, kemudian permainan menyeberang sungai, memindahkan bom, di mana anak-anak harus memindahkan gelas berisi air hanya dengan bantuan taplak. Meskipun permainan-permainan ini sederhana saja, anak-anak terlihat antusias dan aktif terlibat.
Mereka pun terlihat sukacita meskipun pada awalnya satu sama lain terlihat malu-malu dan kurang kompak. Namun, setelah permainan kedua, mereka terlihat bisa membaur satu sama lain dan mereka bisa melupakan sejenak rutinitas belajar selama ini. Setelah acara permainan, anak-anak boleh bermain dengan bebas semua wahana di WBL.
Ibu Paulina Lambert selaku panitia mengatakan, WBL dipilih sebab tempat wisata karena tidak jauh dari Surabaya dan anak-anak bisa berkegiatan dan berkumpul bersama. Harapannya, kegiatan seperti ini bisa dilakukan setiap tahun. Setiap tahun anak-anak yang mendapat bantuan dari seksos tidak selalu sama sehingga mereka bertemu dengan orang baru.
"Kegiatan ini tentu sangat bermanfaar agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain” ujar Ibu Paulina Lambert.
(Yohanna Tungga Prameswarawati)
Mereka terdiri dari berbagai macam usia (10-19 tahun) dan didampingi oleh 18 pengurus seksi sosial yang tergabung dalam enam wilayah di Paroki HKY. Mereka adalah anak-anak yang selama ini mendapat bantuan SPP dari gereja. Kegiatan mengajak anak-anak asuhan seksos untuk berkumpul bersama sebenarnya telah diadakan secara rutin pada setiap akhir tahun ajaran, namun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Kali ini anak-anak diajak untuk wisata rohani dengan tujuan agar anak-anak yang tersebar di enam wilayah bisa saling mengenal, berbagi, dan berkorban. Ini juga sesuai dengan cita-cita Ardas Keuskupan Surabaya tahun ini yang ingin memberdayakan Orang Muda Katolik agar terlibat dalam kegiatan menggereja.
Rombongan berangkat dari Surabaya pada pukul tujuh pagi dan tiba di Wisata Bahari Lamongan (WBL) pada pukul sembilan. Di sana anak-anak dihibur dengan beberapa permainan, di antaranya yel-yel agar mereka lebih percaya diri dan bisa bekerja dalam kelompok. Selain itu, ada permainan menebak suara dengan ditutup matanya, kemudian permainan menyeberang sungai, memindahkan bom, di mana anak-anak harus memindahkan gelas berisi air hanya dengan bantuan taplak. Meskipun permainan-permainan ini sederhana saja, anak-anak terlihat antusias dan aktif terlibat.
Mereka pun terlihat sukacita meskipun pada awalnya satu sama lain terlihat malu-malu dan kurang kompak. Namun, setelah permainan kedua, mereka terlihat bisa membaur satu sama lain dan mereka bisa melupakan sejenak rutinitas belajar selama ini. Setelah acara permainan, anak-anak boleh bermain dengan bebas semua wahana di WBL.
Ibu Paulina Lambert selaku panitia mengatakan, WBL dipilih sebab tempat wisata karena tidak jauh dari Surabaya dan anak-anak bisa berkegiatan dan berkumpul bersama. Harapannya, kegiatan seperti ini bisa dilakukan setiap tahun. Setiap tahun anak-anak yang mendapat bantuan dari seksos tidak selalu sama sehingga mereka bertemu dengan orang baru.
"Kegiatan ini tentu sangat bermanfaar agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain” ujar Ibu Paulina Lambert.
(Yohanna Tungga Prameswarawati)
30 Tahun CHOICE Distrik Surabaya
Sore itu, 13 Juni 2014, Gedung The Empire Palace Hall 2 Lantai 5 terlihat ramai. Sejumlah undangan di antaranya Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, para romo, suster, Koordinator Distrik, Pasutri ME, Choicer dan undangan lainnya tampak menghadiri Malam Perayaan 30 Tahun Choice Distrik Surabaya.
Tema yang diusung “Jadilah Garam Dunia”, dengan harapan Choice dapat menjadi suatu gerakan yang selalu dapat memberi arti yang positif bagi kehidupan kaum muda (20-35 tahun dan belum pernah menikah) untuk saling berbagi dan melayani, menjadi garam dunia, dalam semangat kasih Kristus, khususnya di Keuskupan Surabaya.
Pada malam perayaan ini, Koordinator Choice Distrik Surabaya (RD YPH Jelantik, Sr. Victorini SPM, pasutri Agus-Dian, Swan dan Imam) mewakili keluarga besar Choice Distrik Surabaya memberikan tali asih untuk Choice Angkatan Atas yang telah berjuang dengan susah payah dan penuh cinta mengembangkan Choice di Keuskupan Surabaya sehingga Choice dapat berkembang seperti saat ini.
Choice hadir di Keuskupan Surabaya diawali dengan Week End Choice pertama pada 1-3 Juni 1984 di Wisma Bintang Kejora, Pacet, oleh tim dari Jakarta. Setelah itu terpilihlah pasutri Eddy-Lilik sebagai Koordinator Distrik IV Surabaya yang bertanggung jawab untuk pengembangan Choice di Keuskupan Surabaya dan wilayah Indonesia Timur.
Acara siraman rohani disampaikan oleh RD Yohanes Lulus Widodo. Dengan gayanya yang atraktif dan diselingi permainan sulap, Romo Lulus mengajak undangan untuk mendalami Injil Matius 5:13. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang”.
Semangat Choice adalah mengenal, mencinta,i dan melayani-Mu terindah dalam hidupku. Tanpa semangat ini, Choice seperti garam yang tanpa rasa dan terjebak membuat kotak-kotak dalam kehidupan. Untuk menghidupi semangat ini, setiap choicer harus mau dibentuk oleh-Nya dan mohon supaya dapat menghapus kotak-kotak dalam kehidupan dan menjadi jembatan penghubung dengan sesama serta berani masuk dalam kehidupan yang sebenarnya untuk memberi 'rasa' baik dalam keluarga, paroki, komunitas, dan di mana pun Choicer berada.
Choicer harus senantiasa merefleksikan diri apakah selama ini telah menjadi garam. Choicer harus benar-benar berjuang untuk menjadi garam dan berkewajiban membawa teman-teman kaum muda yang menghadapi problematika kehidupan kepada Kristus. Sehingga, mereka mengenal wajah Kristus dan menjadi pribadi yang mengenal sesama dan Tuhan, mencintai dan melayani-Nya.
Hal ini tidak mudah dan penuh tantangan. Namun, dengan berjalan bersama-Nya, Choicer akan kuat memikul salib kehidupan. Untuk dapat menjadi garam, Choicer harus menampilkan kegembiraan dan sukacita, tidak mudah menghakimi orang lain, keluar dari diri sendiri dan berbagi kasih sehingga dapat menggerakkan banyak orang dan mendorong mereka untuk bertumbuh dan semakin mengenal-Nya.
Banyak acara hiburan untuk memeriahkan perayaan berupa tampilan modern dance, orkestra, slide kegiatan Choice Distrik Surabaya, konser musik bersama Nugie dan Operet dari para Choicer. Para hadirin tampak menikmati sajian acara yang dikemas apik. Sampai di pengujung acara, hadirin terasa enggan meninggalkan tempat. Penyanyi Nugie dengan suara emas dan petikan gitarnya semakin menghangatkan suasana.
Syair lagu-lagu yang dinyanyikan untuk menyemarakan 30 Tahun Choice Distrik Surabaya merupakan ciptaan Nugie sendiri dan lahir dari refleksi rohani dan pengalaman iman yang mendalam. Tidak hanya sekadar memenuhi selera produsen maupun penggemar. Nugie pun sempat menceritakan pengalaman masa mudanya sehingga dapat menginspirasi para Choicer mengenai bagaimana menjalani masa muda.
Selain perayaan, Choice Distrik Surabaya juga mengucap syukur kepada Tuhan melalui Misa Syukur 30 Tahun Choice Distrik Surabaya pada tanggal 15 Juni 2014 di Gereja Katolik St. Yohanes Pemandi, Surabaya, dengan selebran utama Uskup Surabaya Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono didampingi 4 romo, yaitu RD AP. Dwijoko, RD YPH. Jelantik, RD FX Hardi Aswinarno, dan Romo Emmanuel Prasetyono, CM, yang juga Tim Choice Surabaya. Semua Choicer yang telah mengikuti Week End Choice mulai Angkatan 1 sampai Angkatan 115 dan mereka yang pernah mengikuti Week End Choice di distrik lain diundang untuk menghadiri Misa Kudus ini.
Setelah misa diselenggarakan ramah-tamah. Kesempatan ini digunakan para Choicer untuk nostagia dan melepas rindu karena lama tak berjumpa sambil menikmati hidangan dan acara hiburan. (*)
Tema yang diusung “Jadilah Garam Dunia”, dengan harapan Choice dapat menjadi suatu gerakan yang selalu dapat memberi arti yang positif bagi kehidupan kaum muda (20-35 tahun dan belum pernah menikah) untuk saling berbagi dan melayani, menjadi garam dunia, dalam semangat kasih Kristus, khususnya di Keuskupan Surabaya.
Pada malam perayaan ini, Koordinator Choice Distrik Surabaya (RD YPH Jelantik, Sr. Victorini SPM, pasutri Agus-Dian, Swan dan Imam) mewakili keluarga besar Choice Distrik Surabaya memberikan tali asih untuk Choice Angkatan Atas yang telah berjuang dengan susah payah dan penuh cinta mengembangkan Choice di Keuskupan Surabaya sehingga Choice dapat berkembang seperti saat ini.
Choice hadir di Keuskupan Surabaya diawali dengan Week End Choice pertama pada 1-3 Juni 1984 di Wisma Bintang Kejora, Pacet, oleh tim dari Jakarta. Setelah itu terpilihlah pasutri Eddy-Lilik sebagai Koordinator Distrik IV Surabaya yang bertanggung jawab untuk pengembangan Choice di Keuskupan Surabaya dan wilayah Indonesia Timur.
Acara siraman rohani disampaikan oleh RD Yohanes Lulus Widodo. Dengan gayanya yang atraktif dan diselingi permainan sulap, Romo Lulus mengajak undangan untuk mendalami Injil Matius 5:13. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang”.
Semangat Choice adalah mengenal, mencinta,i dan melayani-Mu terindah dalam hidupku. Tanpa semangat ini, Choice seperti garam yang tanpa rasa dan terjebak membuat kotak-kotak dalam kehidupan. Untuk menghidupi semangat ini, setiap choicer harus mau dibentuk oleh-Nya dan mohon supaya dapat menghapus kotak-kotak dalam kehidupan dan menjadi jembatan penghubung dengan sesama serta berani masuk dalam kehidupan yang sebenarnya untuk memberi 'rasa' baik dalam keluarga, paroki, komunitas, dan di mana pun Choicer berada.
Choicer harus senantiasa merefleksikan diri apakah selama ini telah menjadi garam. Choicer harus benar-benar berjuang untuk menjadi garam dan berkewajiban membawa teman-teman kaum muda yang menghadapi problematika kehidupan kepada Kristus. Sehingga, mereka mengenal wajah Kristus dan menjadi pribadi yang mengenal sesama dan Tuhan, mencintai dan melayani-Nya.
Hal ini tidak mudah dan penuh tantangan. Namun, dengan berjalan bersama-Nya, Choicer akan kuat memikul salib kehidupan. Untuk dapat menjadi garam, Choicer harus menampilkan kegembiraan dan sukacita, tidak mudah menghakimi orang lain, keluar dari diri sendiri dan berbagi kasih sehingga dapat menggerakkan banyak orang dan mendorong mereka untuk bertumbuh dan semakin mengenal-Nya.
Banyak acara hiburan untuk memeriahkan perayaan berupa tampilan modern dance, orkestra, slide kegiatan Choice Distrik Surabaya, konser musik bersama Nugie dan Operet dari para Choicer. Para hadirin tampak menikmati sajian acara yang dikemas apik. Sampai di pengujung acara, hadirin terasa enggan meninggalkan tempat. Penyanyi Nugie dengan suara emas dan petikan gitarnya semakin menghangatkan suasana.
Syair lagu-lagu yang dinyanyikan untuk menyemarakan 30 Tahun Choice Distrik Surabaya merupakan ciptaan Nugie sendiri dan lahir dari refleksi rohani dan pengalaman iman yang mendalam. Tidak hanya sekadar memenuhi selera produsen maupun penggemar. Nugie pun sempat menceritakan pengalaman masa mudanya sehingga dapat menginspirasi para Choicer mengenai bagaimana menjalani masa muda.
Selain perayaan, Choice Distrik Surabaya juga mengucap syukur kepada Tuhan melalui Misa Syukur 30 Tahun Choice Distrik Surabaya pada tanggal 15 Juni 2014 di Gereja Katolik St. Yohanes Pemandi, Surabaya, dengan selebran utama Uskup Surabaya Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono didampingi 4 romo, yaitu RD AP. Dwijoko, RD YPH. Jelantik, RD FX Hardi Aswinarno, dan Romo Emmanuel Prasetyono, CM, yang juga Tim Choice Surabaya. Semua Choicer yang telah mengikuti Week End Choice mulai Angkatan 1 sampai Angkatan 115 dan mereka yang pernah mengikuti Week End Choice di distrik lain diundang untuk menghadiri Misa Kudus ini.
Setelah misa diselenggarakan ramah-tamah. Kesempatan ini digunakan para Choicer untuk nostagia dan melepas rindu karena lama tak berjumpa sambil menikmati hidangan dan acara hiburan. (*)
BIBLE CAMP BIAK SALIB SUCI 2014
Aku Bertumbuh
Menjadi Berkat. Inilah tema utama Bible Camp yang kali pertama diselenggarakan
di Paroki Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Dari tema tersebut diharapkan,
para peserta Bible Camp termotivasi untuk semakin mencintai Kitab Suci.
Bible Camp 2014
ini dikemas layaknya sebuah ekspo dengan menampilkan berbagai macam presentasi.
Presentasi diawali dari kisah tentang sejarah keselamatan, sejarah bagaimana Allah
menyelamatkan manusia, hingga bagaimana manusia sendiri menanggapi panggilan
keselamatan dari Allah tersebut.
Pokok-pokok
sejarah keselamatan ini dirangkum dalam gambaran panggilan dan perutusan kepada
tujuh tokoh sentral yang tercantum dalam Kitab Suci, yaitu Adam, Nuh, Abraham,
Musa, Daud, Yesus, dan Gereja. Ketujuh tokoh dan pengajarannya divisualisasikan
dalam tujuh wahana (booth) mengambil tempat di ruang kelas SD Santo Yusuf.
Booth-booth ini
dibangun dengan partisipasi aktif wilayah-wilayah se-Paroki Salib Suci. Satu
booth dibangun dari hasil kerja sama dua wilayah. Hanya satu booth yang
dikerjakan oleh satu wilayah. Adapun peserta secara berkelompok dan bergiliran
akan berkunjung ke booth-booth tersebut, mulai dari Booth Adam hingga booth Gereja.
Untuk
mengapresiasi pembangunan booth, maka ke-tujuh booth ini pun dilombakan. Dan,
dari penilaian tim juri, terpilihlah booth penampil terbaik dan terbanyak
melibatkan unsur-unsr dalam wilayah, yaitu Booth Nuh dan Booth Daud.
Bible Camp ini
diselenggarakan selama kurang lebih 24 jam, yaitu dari tanggal 28 Juni 2014
pukul 15.00 sampai 29 Juni 2014 pukul 14.00, bertempat di TKK dan SDK St Yusup
Tropodo. Animo umat ternyata cukup baik, terbukti dengan banyaknya peserta yang
mendaftar, yaitu sekitar 150 anak BIAK dan pra-Rekat. Bible Camp 2014 ini
merupakan program Seksi BIAK, namun dalam pelaksanaan juga melibatkan Seksi
Rekat, OMK, Katekese, KKS, Keluarga, dan wilayah-wilayah se-Paroki Salib Suci.
Sungguh di luar
dugaan, apresiasi para Orang tua sangat positif untuk membantu perkembangan
iman maupun wacana katekese untuk anaknya. Ini terbukti dari kesan yang begitu
mendalam pada anak mereka selepas mengikuti kegiatan ini. Diharapkan, anak-anak
pun semakin penasaran akan isi Kitab Suci, dan inilah muara tujuan yang kita
harapkan dari seluruh rangkaian acara Bible Camp. (*)
Romo Novi: Anak-Anak Lebih Misioner
Kolaborasi empat Paroki dalam kegiatan 100 Anak Misioner 2014 ini ternyata banyak direspons positif dari para pastor kepala paroki. Mereka menilai kegiatan seperti sangat positif karena bermanfaat bagi anak-anak apalagi dalam rangka memberi pemahaman KKU dan KKM sesuai dengan Ardas Keuskupan Surabaya.
Romo Vikep Surabaya Barat yang juga Pastor Kepala Paroki St Yakobus Citraland, ketiika diminta komentar menjelaskan, kegiatan tersebut merupakan ide dari para pendamping BIAK paroki. Tujuan dari acara seperti tidak lain agar anak-anak lebih mengenal Kitab Suci. Hasil kolaborasi dari para pendamping dari keempat paroki ini akahirnya melahirkan ide supaya tahun ini mengadakan acara secara bersama-sama.
Kata Romo Novi, awalnya diwacanakan satu kevikepan kemudian hanya beberapa paroki, dan akhirnya menjadi empat paroki masing-masing Paroki Redemptor Mundi, Paroki Aloysius Gonzaga, Paroki St Stefanus dan Paroki St Yakobus. Dua paroki seperti St Yusup Karangpilang dan Paroki Sakramen Mahakudus tetap mengirim pesertanya. Jumlah pesrta kata Romo Novi mencapai seribu anak, dan panitia yang mengurus kegiatan ini sebanyak 600 orang.
“Terus terang, saya acungkan jempol bagi panitia. Mereka sangat sibuk apalagi mengurus seribu anak. Saya mengamati pertemuan panitia dari keempat paroki ini hampir 10 kali lebih. Saya apresiasi atas kerja keras panitia sampai terselenggara dan suksesnya acara ini. Beruntung, para panitia dari keempat paroki ini sudah tidak asing lagi dengan kegiatan ini karena setiap tahun paroki menyelenggarakan kegiatan seperti ini,” tutur Romo Novi.
Ditanya, gawe besar seperti ini apa tidak terjadi benturan antar panitia? “Saya kira itu normal karena kegiatan acaranya besar, kemudian panitianya banyak karena gabungan empat paroki. Namun, benturan itu tidak serius. Dan menurut saya, benturan itu menjadi pelajaran tersendiri bagi para pendamping untuk lebih baik lagi dalam kerja samanya."
Mengenai kegiatan itu sendiri, Romo Prima Novianto memuji kegiatan selama 3 hari itu. “Acara itu juga mengacu pada program Ardas tahun ini adalah KKU dan KKM dan misioner. “Pada acara ini kami lebih menekankan tentang misioner. Anak-anak lewat acara ini diajak untuk mengerti apa itu misioner dan bagaimana terlibat dalam karya atau aktivitas misioner. Judul kegiatan 1000 AM itu bagus. Kemudian pemahaman tentang misioner juga dijelaskan dengan sangat baik lewat kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang dilakukan anak-anak,” tuturnya.
Romo Novi menambahkan, dia melihat anak-anak melaksanakan kegiatan itu dengan 2D2K (Doa, Derma, Kurban dan Kesaksian. “Menurut saya, di tingkat keuskupan, kegiatan 1000 AM ini merupakan yang terbesar bagi anak-anak. Ada satu pemandangan yang menarik bagi saya dimana setelah kegiatan selesai, banyak orangtua dan anak-anak sangat ceria. Malah mereka mengusulkan agar kegiatan seperti ini dulangi tahun depan. Terus terang tidak mudah karena sangat berat tapi yang bagus kalau diadakan tiga tahunan,” tuturnya.
Apakah ada rencana kegiatan ini diadakan tahun depan? “Dari segi kegiatan menarik. Namun kalau dilaksanakan setiap tahun rasanya berat. Persiapannya membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan. Bisa jadi hampir setengah tahun sendiri. Belum lagi dana yang dikeluarkan juga sangat besar,” kata Romo Novi.
Meskipun memuji kegiatan ini, Romo Novi sedikit memberi kritik dan saran kepada panitia. Di antaranya, persiapan perlu lebih panjang lagi, melibatkan anak-anak BIAK dari semua paroki di Kevikepan Surabaya Barat. Juga perlu ada romo atau suster yang menjadi pendamping panitia sehingga bila ada kesulitan dapat membantu memberikan solusi yang terbaik.
Namun, dalam perbincangan tersebut, Romo Novi sudah punya wacana kalau tahun depan akan mengadakan kegiatan khusus untuk Rekat dan OMK dengan tema dalam kegiatan keluarga. “Namun ini masih sebatas gagasan dalam benak saya. Melihat begitu banyak anak-anak rekat dan OMK yang terlibat dalam 1000 AM, saya tergerak untuk mengajak memberikan perhatian bagi mereka agar mampu berperan dalam keluarga, gereja, dan masyarakat,” tutur Romo Novi. (herman yos kiwanuka)
THE MISSION OF LOVE di Surabaya Barat
Dari
Kegiatan seribu Anak Misioner Empat Paroki di Surabaya
Siang
itu alunan musik disertai nyanyian cukup merdu terdengar di salah satu ruangan
di Paroki Hati Kudus Yesus (HKY),
Surabaya. Anak-anak baru selesai makan siang. Tapi karena semangatnya mereka
pun tidak merasa lelah. Mereka adalah kelompok St Dominikus Savio yang tengah
mengadakan kegiatan Seribu Anak Misioner. Kelompok ini mengadakan kunjungan ke
Paroki HKY dengan tujuan menimba pengetahuan tentang benda-benda suci dan
peralatan misa juga mengunjungi kantor keuskupan.
Keceriaan
anak-anak luar biasa. Mereka bertanya dan bertanya tentang hal-hal yang mereka
tidak tahu. “Kalau ini namanya apa Kak,” tanya anak-anak ke pendamping. Setelah
berkeliling ke HKY, anak-anak kelas 1-3 diajak bermain kuis Benar atau Salah
yang pertanyaannya diambil dari seputar HKY saat mereka berkelilng itu. Itulah
sebuah gambaran suasana yang terlihat di Paroki Hati Kudus Yesus dan Keuskupan
Surabaya, pada hari kedua, 27 Juni 2014.
Sementara
itu, Kelompok Santa Theresia Liseux memilih tempat untuk bermisioner di Panti
Asuhan Bhakti Luhur di Tropodo, Sidoarjo. Di tempat ini anak-anak bergabung
anak-anak panti asuhan. Mereka bisa bernyanyi sama-sama, makan bersama dan
menyaksikan drama secara bersama-sama.
Malah anak-anak misoner berfoto bersama anak-anak panti asuhan sebagai
kenang-kenangan.
Kelompok
Fransiskus Asisi memilih bermisioner ke hutan mangrove. Anak-anak misoner
memang diajarkan bagaimana memahami dan mencintai tumbuhan serta alam.
Anak-anak juga diajarkan untuk menghargai ciptaan Tuhan. Kegiatan-kegiatan yang
mereka lakukan antara lain, menumpang perahu, menimbapengalaman menanam bibit
mangrove.
Kegiatan
ini sangat bermanfaat agar anak-anak lebih mencintai tanaman dan alam semesta.
Mereka juga bisa mencintai alam semesta ciptaan Tuhan. Gerakan-bersih-bersih
juga mereka lakukan dengan menyumbang beberapa tong sampah yang bertuliskan
1000 AM yang merupakan hasil karya sendiri yang dikerjakan anak-anak misioner
pada hari pertama.
Kegiatan
1000 Anak Misioner merupakan kolaborasi empat paroki di Kevikepan Surabaya
Barat: Paroki Redemptor Mundi, Paroki Aloysius Gonzaga, Paroki St Stefanus, dan
Paroki St Yakobus, Citraland. Keempat pastor paroki ini (Romo Andreas
Kurniawan, OP, Romo Hardi, Romo Paulus Gusti, dan Romo Prima Novianto) melihat
antusiasme anak-anak yang begitu besar alangkah baik di masa liburan ini,
mereka diberi kesibukan yang bermanfaat. Hasil kolaborasi keempat paroki ini
sudah menghasilkan apa yang dinamakan pemahaman, keguyuban, berbagi, iman dan kasih
di antara mereka. Kegiatan ini memakai tema: The Mission of Love dengan menekankan kepada sisi 2D2K (Doa,
Derma, Kurban, Kesaksian).
Lantas,
apa sebenarnya tujuan dari kegiatan 1.000 Anak Misioner? Memperkenalkan Firman Allah kepada anak-anak
melalui “learning by doing” dengan cara
menyenangkan sekaligus menyampaikan arti misioner yang sesungguhnya berdasarkan
Alkitab. Membimbing anak-anak dalam meneladan Santo Santa. Memperkenalkan
ordo-ordo romo, frater dan suster; mengisi liburan dengan acara yang
bermanfaat. Memberikan kesempatan pada anak-anak untuk bertemu dengan
teman-temannya dari paroki lain dan menyadari bahwa Katolik adalah satu
kesatuan.
*****
Kegiatan
selama tiga hari (24-26 Juni) cukup melelahkan, namun kondisi tersebut tidak
dirasakan anak-anak BIAK. Apa saja kegiatan hari pertama? Memang hari pertama
diadakan di paroki masing-masing. Namun sederetan acara tetap berjalan lancar
dimulai dengan misa dilanjutkan dengan konsep, atribut, seragam, makanan, games
dan tata cara yang sama. Yang tidak kalah penting pada hari pertama ini,
anak-anak diperkenalkan pada tokoh santo dan santa. Santo Dominikus Savio
(kelas 1-2), Santa Theresia Liseux (kelas 2-3), Santo Fransiskus Asisi (kelas
5-6).
Sesi
ini sangat penting, agar anak-anak lebih mengenal dan bisa meniru apa yang
dilakukan para santo santa ini pada masa hidupnya. Salah satu contoh, pada drama Dominikus Savio, panitia menyediakan
binatang seperti kelinci, ayam dan lainnya. Hal ini agar anak-anak lebih paham
kalau Dominikus juga mencintai hewan piaraan.
Kegiatan
di hari kedua, dari kelompok kecil di tiap paroki, kemudian bergabung menjadi
satu. Dari masing-masing paroki dengan kelompoknya masing-masing bergabung
menjadi satu. Kelompok Dominikus Savio diarahkan bermisioner ke Keuskupan
Surabaya dan Hati Kudus Yesus. Di sanalah anak-anak lebih bermisioner
sebagai kader-kader yang mengenal dan
mengerti apa itu gereja dan artibutnya. Anak-anak juga diperkenalkan beberapa
ruangan di Keuskupan dan alat-alat misa. Pasalnya, atribut dan alat-alat misa,
hanya segelintir umat yang memahami atau mengerti.
Kegiatan
di hari ketiga yang juga penutupan kegiatan 1000 Anak Misoner berlangsung cukup
semarak. Kegiatan berpusat di Paroki Yakobus. Sejak pagi anak-anak sudah
berkumpul untuk menyaksikan beberapa kegiatan seperti drama, atraksi,
rangkuman kegiatan. Pada malam penutupan itu, terlihat anak-anak di satu sisi
mereka larut dalam kegembiraan di sisi lain mereka kehilangan teman-teman yang
beberapa ini selalu bersama mereka.
DOA
mereka lakukan dalam misa dalam misa dan doa-doa harian mereka, DERMA mereka
lakukan dengan pengumpulan kolekte dan hasilnya akan disumbangkan ke panti
asuhan dan bantuan pada sekolah minus di NTT, yaitu sekolah dasar Katolik St
Elisabeth Lewuka, Lembata. KURBAN mereka lakukan dengan memberi takan tentang
kasih Allah yang sungguh luar biasa.
Pastor
Paroki Aloysius Gonzaga, Romo FX Hardi Aswinarno mengatakan, dia merasa sangat
terkesan dengan kegiatan tersebut. Apalagi, kegiatan ini melibatkan banyak
peserta dan panitia. “Saya merasa bangga dengan kemandirian OMK dalam
menyelenggarakan kegiatan ini. Saya merasa ini wujud nyata program BIAK pada
tahun ini (tahun misioner). Pada kegiatan ini, peserta diajak untuk berkarya di
tengah masyarakat sebagai orang Katolik.
Saya berharap, panitia bisa
merefleksikan kegiatan yang sudah dikerjakan ini sehingga bisa bermakna juga
bagi panitia sehingga menghasilkan buah-buah rohani dan bisa menjadi perbaikan
untuk tahun berikutnya. Saya akan siap mendukung jika panitia siap untuk
menyelenggarakan kembali acara ini pada tahun depan,” kata Romo Hardi bangga.
Sementara
Romo Andreas Kurniawan, OP, Pastor Paroki Redemptor Mundi dalam homilinya pada
misa pembukaan kegiatan inik berpesan kepada anak-anak agar selama hidup harus
berlajar untuk berbagi kasih, berani untuk melayani Tuhan, dan berani berkorban
untuk sesama atau yang membutuhkan dan harus banyak berdoa.
“Bila
kita banyak berdoa, berbagi dengan yang lain, kita akan dikuatkan dan iman kita
semakin kokoh,” kata Romo Andrei. Agar anak-anak semakin paham, Romo Andrei
kemudian bermain sulap. “Kalau kita tidak berdoa, tidak pernah berbagi kasih
dengan yang lain, kita akan lemah. Kalau kita lemah. Seperti balon ini, kalau
kita tusuk dengan paku dia akan meledak. Tapi kalau iman kita kuat, kita sering
berdoa, berbagi kasih dengan yang lain, biarpun ditusuk dengan banyak paku
seperti ini, balon pun tidak akan meledak karena iman kita kuat,” gerr disambut
tawa anak-anak ketika balon itu tidak meledak.
Romo
Andrei menambahkan, hidup juga membutuhkan komunikasi dan saling terbuka dengan
lain serta mau menolong dan memaafkan.
Sementara
itu, ketua umum panitia, Nanik Yuliani mengatakan sangat berterima kasih kepada
teman-teman panitia dari empat paroki yang ada. Menurut Nanik, bergabungnya
kepanitiaan dari empat paroki membuat kegiatan bisa terlaksana dengan baik dan
semua pada akhirnya indah setelah melewati 2D2K. Nanik menambahkan, kerja keras
dari panitia menandakan sebuah pengorbanan yang membuahkan kasih. “Nantinya baru kita rasakan, sungguh besar
karya Allah, sungguh nyata dalam acara 1000 AM,” kata Nanik.
Lucia
Lusyana Setijani salah satu panitia inti dari Paroki St Yakobus mengatakan,
mengadakan acara besar seperti ini memang tidak gampang namun banyak hal yang
bisa direfleksikan. Ibu yang juga disapa Bu Toto ini menambahkan, dengan
kegiatan ini, para pembimbing tidak hanya sekadar melihat hasil akhir tetapi
juga belajar dari proses yang sudah berlangsung. “Kita belajar untuk membangun
kerja sama, mendukung, meninggalkan ego kita masing-masing. Memang tidak
gampang mengembangkan satu hati. Kita juga belajar menjadi lebih rendah hati,”
tuturnya.
Apakah
kolaborasi dengan paroki lain merupakan suatu pilihan yang tepat? “Kolaborasi
dengan paroki-paroki lain bila memungkinkan
baik juga, tapi kegiatan yang skalanya lebih besar dan sebaiknya jangan setiap
tahun. Saya lebih setuju kalau diadakan tiap tiga tahun atau lima tahun
sekali,” katanya.
Bu
Luci menyebutkan dengan kegiatan seperti ini banyak manfaat yang diambil antara
lain anak-anak bisa mengobarkan api semangat
kebersamaan. “Saya boleh usul, agar kegiatan-kegiatan kecil di paroki
masing-masing sebaiknya terus
diselenggarakan secara rutin. Ini diadakan supaya kita sudah mempekuat
kesadaran sebagai warga gereja. Selain itu, memberi pemahaman kepada anak-anak
akan Kitab Suci, hidup ber-KKU dan bermisioner,” sebut Bu Luci. (herman yos
kiwanuka)
Rekoleksi OMK Stasi Krian Sidoarjo
Cuaca siang yang
panas di halaman gereja di Krian, Sidoarjo, tidak dirasakan oleh segerombolan
anak-anak muda yang berkumpul dalam sukacita. Anak-anak muda tersebut hendak
berangkat mengikuti rekoleksi di Griya Samadi Resi Aloysii, Kecamatan Claket,
Kabupaten Mojokerto.
Rekoleksi yang
bertema From Nothing to be Something ini diadakan oleh OMK St. Thomas Aquinas
Stasi Krian, bertepatan dengan momen pergantian pengurus. Martinus Wima Rismono,
mantan ketua OMK dua periode sebelumnya yang ikut mendampingi peserta,
mengatakan, rekoleksi ini bertujuan untuk meningkatkan semangat teman-teman OMK
sebagai generasi penerus masa depan Gereja untuk mau semakin aktif terlibat
dalam hidup menggereja serta berorganisasi secara baik dengan tetap menjalin
kebersamaan melalui persahabatan antar pribadi.
Dia menambahkan
bahwa relasi yang dijalin tidak hanya meliputi relasi dalam lingkup Stasi Krian
saja, tetapi juga relasi eksternal dengan stasi-stasi lain di Paroki St. Yosef
Mojokerto. Sebanyak 28 peserta dari Stasi Krian dan 10 peserta dari Stasi
Mojoagung turut hadir memeriahkan rekoleksi yang berlangsung pada 28-29 Juni
2014 ini. Kegiatan rekoleksi dipandu oleh para OMK senior seperti M. Wima
Rismono, Filipus Darmaji, Agatha Arie, dan Tari. Frater Felix Herjuno yang juga
berasal dari Stasi Krian turut hadir menjadi pembicara.
Acara berlangsung
dengan lancar, peserta antusias, penuh semangatan , kompak, driang gembira.
Selain itu semakin tampak pula kepribadian teman-teman yang semula tidak
kelihatan menjadi pribadi yang berani untuk mau bergerak melayani sesama.
Rekoleksi mencapai acara puncak ketika Richardus Tatag Cahyo S. terpilih
sebagai ketua yang baru untuk periode tiga tahun ke depan, 2014-2017
menggantikan Ignatius Widoyoko. Setelah itu rekoleksi ditutup dengan ibadat
bersama Fr. Felix Herjuno.
Pengurus baru OMK
St. Thomas Aquinas Stasi Krian yang terpilih menyatakan siap bekerja. Di tangan
merekalah masa depan Gereja. Semoga
semangat dalam karya dan pelayanan tetap menjiwai berbagai aktivitas menggereja
yang akan mereka dilakukan.
(Theresia Alfa S)
Umat Katolik Harus Aktif Menyapa Umat Lain
Dialog antarpemeluk agama merupakan keharusan. Dialog tercipta karena ada kebutuhan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang hakiki antarpenganut agama. Gereja Katolik dalam berbagai dokumen mengungkapkan betapa pentingnya dialog. Dalam ensklik Ecclesiam Suam, Lumen Gentium, Nostra Aetate, serta Dialog and Mission mendorong Gereja Katolik untuk melakukan dialog dengan agama lain. Selain itu, Gereja Katolik mendorong umatnya untuk terlibat aktif dengan umat agama lain untuk melakukan hal yang sama.
Demikian salah satu poin penting dalam seminar kerukunan umat beragama dengan teman “Peranan Umar Beragama dalam Membangun Dialog demi Terwujudnya Kerukunan dan Sikap Toleransi” . Seminar ini diselenggarakan oleh Seksi HAK dan Kerawam Paroki St. Yusup, Karangpilang, Surabaya, Minggu (10/8/2014) di Aula TK St. Yusup. Pembicara yang dihadirkan Romo Luluk Widyawan, Ketua Komisi HAK Keuskupan Surabaya, dan Kiai Haji Chalimi, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya. Pesertanya pengurus wilayah dan lingkungan, tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, dan lurah sekitar Gereja Katolik St. Yusup.
Romo Luluk menegaskan, keterlibatan Gereja Katolik dalam dialog merupakan sejarah panjang sejak Paus Yohanes XXIII yang membuka tabir eksklusivisme Gereja, kemudian dilanjutkan Paus Paulus VI yang mewarisi semangat pendahulunya. Gereja menyadari dirinya, melakukan pembaharuan, pencetusan pembaharuan dialog.
Dialog lahir dari belas kasih Allah, karena “begitu besar kasih Allah akan dunia, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal (Yoh 3:16). Dalam mengadakan dialog dengan sesama manusia, jangan kita menunggu diundang. Gereja harus mengambil inisiatif dialog, sebab Allah telah lebih dahulu mengambil inisiatif karya penyelamatan. Ecclesiam Suam menyajikan teologi dialog dan kolaborasi dengan agama-agama lain. Pada tahun 1964 Paus mendirikan Dewan Kepausan untuk urusan agama non-Kristen, menegaskan pentingnya pendekatan baru untuk agama-agama lain.
Sedangkan untuk mewujudkan kerukunan di sekitar kita, yang bisa kita lakukan, menurut Romo Luluk, kita perlu mendata, mengenal, melakukan dialog dengan tokoh atau organisasi keagamaan lain di sekitar gereja. Melakukan pemetaan sosial situasi, mengadakan kunjungan/dialog agama, mendengarkan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membuat rekomendasi demi kebaikan bersama.
Mengadakan kunjungan dialog ke kantor pengurus pusat/majelis agama, memahami apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan, berkenaan dengan relasi, kegiatan keagamaan/lintas agama. Mengadakan kegiatan sosial, diskusi, seminar, olahraga bersama, pentas seni, mengundang tokoh/umat beragama lain. Mengunjungi dan mengucapkan selamat hari raya umat lain, menghadiri pertemuan yang difasilitasi FKUB provinsi/kabupaten/kota, memberikan sosialisasi PBM. Mengadakan pertemuan lintas agama, mengadakan siaran pers, tampil bersama di radio atau TV lokal dalam siaran dialog lintas agama.
Sedangkan Haji Chalimi sebagai Ketua FKUB memandang pentingnya kerukunan antarumat beragama. Setiap pemeluk agama dijamin haknya untuk menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing. Bahkan, hak tersebut dijamin oleh negara. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Keanggotaan FKUB yang terdiri dari Islam, Katolik, Kristen (Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Peran FKUB dalam menjalin dan menjalankan kerukunan umat beragama dapat berperan sebagai fasilitator, mediator, advokasi, dan partner pemerintah. Ketika ada persoalan atau perselisihan antarumat beragama FKUB diharapkan mampu berperan untuk menyelesaikan. Namun demikian, ada kendala di di lapangan. Di antaranya, menurut Chalimi, adanya kesenjangan rumah ibadat di daerah sekitar karena tidak sesuai dengan jumlah yang pemakai. Adanya rumah ibadat yang diprotes warga. Lingkungan sekitar rumah ibadat yang sangat fanatik. Adanya konflik internal agama seperti banyak aliran atau sekte.
Menurut dia, upaya yang dilakukan adalah melakukan dialog, saling mendengarkan, dan tidak memaksakan kehendak. "Agar bisa tercapai suatu solusi," ujarnya. (Silvester Woru)
Demikian salah satu poin penting dalam seminar kerukunan umat beragama dengan teman “Peranan Umar Beragama dalam Membangun Dialog demi Terwujudnya Kerukunan dan Sikap Toleransi” . Seminar ini diselenggarakan oleh Seksi HAK dan Kerawam Paroki St. Yusup, Karangpilang, Surabaya, Minggu (10/8/2014) di Aula TK St. Yusup. Pembicara yang dihadirkan Romo Luluk Widyawan, Ketua Komisi HAK Keuskupan Surabaya, dan Kiai Haji Chalimi, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya. Pesertanya pengurus wilayah dan lingkungan, tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, dan lurah sekitar Gereja Katolik St. Yusup.
Romo Luluk menegaskan, keterlibatan Gereja Katolik dalam dialog merupakan sejarah panjang sejak Paus Yohanes XXIII yang membuka tabir eksklusivisme Gereja, kemudian dilanjutkan Paus Paulus VI yang mewarisi semangat pendahulunya. Gereja menyadari dirinya, melakukan pembaharuan, pencetusan pembaharuan dialog.
Dialog lahir dari belas kasih Allah, karena “begitu besar kasih Allah akan dunia, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal (Yoh 3:16). Dalam mengadakan dialog dengan sesama manusia, jangan kita menunggu diundang. Gereja harus mengambil inisiatif dialog, sebab Allah telah lebih dahulu mengambil inisiatif karya penyelamatan. Ecclesiam Suam menyajikan teologi dialog dan kolaborasi dengan agama-agama lain. Pada tahun 1964 Paus mendirikan Dewan Kepausan untuk urusan agama non-Kristen, menegaskan pentingnya pendekatan baru untuk agama-agama lain.
Sedangkan untuk mewujudkan kerukunan di sekitar kita, yang bisa kita lakukan, menurut Romo Luluk, kita perlu mendata, mengenal, melakukan dialog dengan tokoh atau organisasi keagamaan lain di sekitar gereja. Melakukan pemetaan sosial situasi, mengadakan kunjungan/dialog agama, mendengarkan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membuat rekomendasi demi kebaikan bersama.
Mengadakan kunjungan dialog ke kantor pengurus pusat/majelis agama, memahami apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan, berkenaan dengan relasi, kegiatan keagamaan/lintas agama. Mengadakan kegiatan sosial, diskusi, seminar, olahraga bersama, pentas seni, mengundang tokoh/umat beragama lain. Mengunjungi dan mengucapkan selamat hari raya umat lain, menghadiri pertemuan yang difasilitasi FKUB provinsi/kabupaten/kota, memberikan sosialisasi PBM. Mengadakan pertemuan lintas agama, mengadakan siaran pers, tampil bersama di radio atau TV lokal dalam siaran dialog lintas agama.
Sedangkan Haji Chalimi sebagai Ketua FKUB memandang pentingnya kerukunan antarumat beragama. Setiap pemeluk agama dijamin haknya untuk menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing. Bahkan, hak tersebut dijamin oleh negara. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Keanggotaan FKUB yang terdiri dari Islam, Katolik, Kristen (Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Peran FKUB dalam menjalin dan menjalankan kerukunan umat beragama dapat berperan sebagai fasilitator, mediator, advokasi, dan partner pemerintah. Ketika ada persoalan atau perselisihan antarumat beragama FKUB diharapkan mampu berperan untuk menyelesaikan. Namun demikian, ada kendala di di lapangan. Di antaranya, menurut Chalimi, adanya kesenjangan rumah ibadat di daerah sekitar karena tidak sesuai dengan jumlah yang pemakai. Adanya rumah ibadat yang diprotes warga. Lingkungan sekitar rumah ibadat yang sangat fanatik. Adanya konflik internal agama seperti banyak aliran atau sekte.
Menurut dia, upaya yang dilakukan adalah melakukan dialog, saling mendengarkan, dan tidak memaksakan kehendak. "Agar bisa tercapai suatu solusi," ujarnya. (Silvester Woru)
Subscribe to:
Posts (Atom)