Friday, December 5, 2014

Satu Abad Ursulin di Madiun

Oleh Romo John Tondowidjojo CM

Menelusuri 100 tahun Misi Pewartaan Ordo Santa Ursula  di Madiun saya teringat kata-kata dalam 1 Tesalonika 5:18: in Omnibus gratias agite.. (dalam bahasa Indonesia: dalam segala hal bersyukurlah!). Seluruh isi kata-kata tersebut tidak lain merupakan ucapan syukur saya  atas berkembangnya Ordo Santa Ursula yang memasuki kurun waktu 100 tahun di Madiun.  Mengingat saya alumnus Sekolah Ursulin di Madiun, maka saya sudah harusnya turut bersyukur akan pencapaian HUT 100 tahun itu.

Refleksi perjalanan sejarah 100 tahun Ordo Santa Ursula (Suster Ursulin sapaan akrab mereka) berkarya di Madiun, membawa saya kembali kepada permenungan atas perjalanan rohani yang panjang. Saya harus berhenti sejenak, meniti kembali langkah-langkah sejarah tersebut. Dalam perjalanan rohani tersebut kadang saya harus menoleh,  melihat jejak langkah itu, kadang mulus dan indah, namun sering pula ada sedikit gejolak yang membuat saya harus menghela napas agak dalam. Semua catatan sejarah karya para Suster Ursulin itu saya sadari dan saya anggap sebagai suatu pengalaman rohani yang sangat berharga. Semua itu patut direfleksikan dan disyukuri bagi semua umat beriman di Madiun. 

Banyak orang mengetahui bahwa Suster Ursulin berhasil dalam karya pendidikan di mana-mana, termasuk di Madiun. Tapi banyak yang tidak tahu bahwa setiap pencapaian keberhasilan adalah buah-buah pergulatan batin. Perjuangan menyeimbangkan aksi-refleksi, komitmen bersama, dan tunduk pada penyelenggaraan Ilahi. Inilah yang membuat Suster Ursulin berani mengambil keputusan besar pengubah sejarah: berkarya di Madiun dan mempertahankannya ketika kondisi memburuk sekalipun. 

Coba bayangkan, apa jadinya jika saat dibutuhkan, Suster Ursulin tidak mau datang berkarya ke Madiun?  Tentu karya pendidikan dan pastoral untuk masyarakat Madiun tidak mungkin terbantu dan menjadi seperti sekarang ini.  

Embrio karya para Suster Ursulin di Madiun bermula pada tahun 1904 dan tak lepas dari peran Pastor  BG Schweitz SJ. Pastor paroki itu berkeliling dan membawa anak-anak telantar ke Madiun. Mereka ditempatkan di dekat pastoran dan diurus oleh dua ibu Katolik, yaitu Ny. CH van Zwieten, SY dan Ny. B. D'Haenens. Lalu, Pastor BG Schweitz SJ menceritakan mereka  dan menawarkan karya panti asuhan itu kepada komunitas Suster Ordo St. Ursula (OSU) Cabang Malang dan Biara Pusat di Keuskupan Surabaya, yang kala itu berada di Jalan Kepanjen, Surabaya. 

Para Suster Ursulin penuh dengan pergulatan batin lebih dahulu untuk memutuskan tawaran tersebut. Suster Pimpinan, Mère Angèle Flecken OSU, bermusyawarah dan berdoa bersama komunitas untuk memikirkan sungguh-sungguh apakah berkarya di Madiun adalah pilihan tepat dan apa saja langkah mereka selanjutnya. Komunitas Pusat Ursulin memikirkan sudah saatnya karya Ursulin tidak hanya di Jalan Kepanjen, melainkan juga harus diperluas di tempat dan kota lainnya.  Selain karya di bidang sosial dan kegerejaan lainnya, karya panti asuhan melengkapi lahan karya di bidang pendidikan para Suster Ursulin. 

Kehadiran suster sebagai warga biara dengan doa dan mati-raga dalam komunitas memberikan warna kehidupan iman yang juga perlu dirasakan oleh semua pihak, juga oleh mereka di luar gereja. Akhirnya, mereka mengambil keputusan penting yang membawa akibat sampai hari ini. Komunitas Kepanjen merelakan enam suster pergi ke kota Madiun untuk mengambil alih pemeliharaan anak-anak piatu di Madiun. Mereka itu adalah Mère Agnes Cohill OSU, Mère Edmunda Hafkenscheid OSU, Mère Suzanne Sanders OSU, Mère. Josepha Wilberts OSU, Mère Paula Leefers OSU, dan Mère Bernarda Steenbruggen OSU.
  
Kedatangan mereka di Madiun dari stasiun naik dokar (karena barang bawaan banyak sekali) dan lantunan "Te Deum" dari suara emas Pastor BG Schweitz SJ menjadi tonggak sejarah menandai awal karya para Suster Ursulin di Madiun, pada tanggal 17 Juli 1914. Para suster bekerja secara sistematis dan terencana. 

Pembagian tugas dilakukan keesokan harinya. Mère Edmunda OSU berusaha menyiapkan ruang untuk membuka TKK Mère Agnes dan Mère Suzanne Sanders OSU akan mengurus anak-anak piatu. Mère Paula OSU diminta mengurus rumah tangga  di biara dan membantu di panti asuhan. Mère Bernarda OSU akan menjadi kepala dapur. Mère Josephs OSU memberi pelajaran piano. 

Nampak semua telah terencana dengan rapi. Semua optimis. Ternyata semuanya tidak semudah yang diharapkan.  Para suster berharap dengan piano, sumbangan dari Komunitas Malang,  membantu mereka dapat mencari nafkah sendiri. Taman Kanak-Kanak dengan 6 murid pertama baru terwujud sebulan setelahnya. Murid les piano tidak pernah ada. Memasak menjadi sulit karena anglo dan tungku tidak memadai. Makanan yang disajikannya selalu habis tanpa sisa, uang makin menipis dan harus berhemat. 

Itu hanya sebagian dari tantangan awal yang harus Suster Ursulin hadapi ketika memulai karya di Madiun. Kalau iman mereka tidak kuat, pasti mereka tidak bisa bertahan lama di Madiun dan mereka segera lari kembali ke Surabaya. 

Lalu, bagaimana dengan panti asuhan? Setahun lebih para suster cukup prihatin dan banyak berkorban untuk mempertahankan pengelolaan rumah panti asuhan. Keadaan baru membaik ketika Mère melibatkan pastor paroki yang baru untuk merenovasinya.  Rumah panti asuhan baru bisa direnovasi berkat Romo H. Mulder SJ, yang menggantikan Romo B. Schweitz SJ tahun 1915.  Romo H. Mulder SJ dengan mengadakan lotre di kalangan orang Belanda untuk membantu panti asuhan. Uang terkumpul 60.000 Gulden.  

Dalam kondisi finansial yang tidak mendukung dan hanya berbekal keyakinan akan karya Tuhan dan komitmen sebelumnya Suster Ursulin mengambil langkah berani. Mereka menanamkan tonggak sejarah pendidikan di Madiun dengan mendirikan Fröbelschool (TKK), membuka ELS (Europeesche Lagere School/SR berbahasa Belanda) dan HIS (Hollandsche Inlandsche School/SR Berbahasa Jawa, Sekolah Rendah untuk pribumi). Mereka berhasil mematahkan tantangan dan meraih mimpi, dan hasilnya dalam waktu singkat keyakinan itu mempengaruhi masyarakat Madiun yang berbondong-bondong memasukkan anaknya bersekolah di sekolah Ursulin.  

Marilah kita membayangkan, jika hanya mengandalkan semua serba tersedia dan akan bertindak jika semua kondusif, mungkin sekolah Santo Bernardus tidak akan pernah berdiri dan berhasil merebut hati masyarakat seperti sekarang ini. 

Sementara para suster dan panti asuhan mengalami macam-macam kesukaran, tetapi pembangunan dan perbaikan gedung tetap diteruskan. Sejak tahun 1914 mereka telah menyelenggarakan TKK untuk anak anak yang berbahasa Belanda. Pada tahun 1922 mereka membuka TKK kedua, khusus untuk anak asli Jawa. Jumlah anak Jawa segera bertambah sampai lebih dari 65 anak. Ini tak lepas dari jasa Mère Hildegard Borckmann OSU yang kembali ke Noordwijk untuk mencari dana. Sepulang dari Noordwijk pada tahun 1924 Mère Hildegard Borckmann OSU memimpin panti asuhan dan TKK di Madiun.

Keadaan sudah semakin membaik.  Pada tanggal 6 Juli 1924 akhirnya diadakan serah terima panti asuhan dari Yayasan Paroki kepada para suster Ursulin. Tanggal 31 Juli 1924 mulai membangun gedung sekolah dengan mulai memasang fondasi. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Mgr. AP van Velsen SJ pada 20 September 1924. 

Berkarya Bersama Para Romo Lazaris (CM)

Jangan bangga diri jika sukses seorang diri. Orang sukses sejati adalah orang yang berhasil membuat orang lain sukses dan bekerja sama dengannya. Ketika memperoleh dukungan dari kerja sama itulah kesuksesan menjadi langgeng.  Semangat keterbukaan dan semangat kerja sama secara sinergis membuat Suster Ursulin berhasil dalam arti sesungguhnya, bukan hanya dalam bidang pendidikan (ketika bekerja sama dengan para Bruder CSA), tapi juga ketika harus beradaptasi dengan mitra baru: termasuk dengan para Romo Lazaris (CM) yang menggantikan era kepemimpinan para Romo Jesuit (SJ).  

Pada awal tahun 1928 di bawah Prefektorat Apostolik Surabaya, Stasi Madiun digembalakan oleh romo-romo Lazaris (CM).  Saat perpindahan kegembalaan di Madiun sudah ada gereja dan pastoran, sebuah Sekolah Eropa Hollands Indische School, dan sebuah rumah yatim piatu yang dikelola suster-suster Ursulin. Menurut catatan, pada 2 Januari 1928 Romo Lazaris pertama yang bekerja di Madiun saat itu ialah Romo Martinus Hermanus Kock CM, romo kepala, dan Romo C. Klamer CM sebagai romo pembantu.

Bekerja bersama para Romo Lazaris (CM), banyak hal yang telah dilaksanakan, namun kehangatan dan keeratan dalam berkarya datang pula badai yang baru. Badai itu ditandai dengan kedatangan serdadu Jepang ke Madiun. Memang menjadi pahlawan dalam waktu singkat dan dalam kondisi normal, jauh lebih mudah daripada dalam kondisi sebaliknya. Himpitan dan tekanan yang dialami para suster Ursulin ketika zaman Jepang justru menegaskan kuatnya semangat konsistensi dan daya juang mereka - yang mayoritas Belanda. 

Bagaimanapun mereka berhasil memaknai berbagai situasi mencekam dan tragedi situasi menjadi peristiwa Iman dan makna Salib yang harus ditanggung menjadi kesaksian luar biasa. Apalagi dalam situasi terjepit baik para suster yang di kamp sebagai tawanan perang maupun yang di luar, sama-sama melupakan diri sendiri dan masih mengedepankan perjuang untuk orang lain. 

Yang di kamp tawanan siaga merawat dan membantu anak dan ibu-ibu yang larut dalam pemberontakan dan ketidakmengertian  akan peristiwa iman. Yang berada di luar Kamp Madiun, selain berjuang untuk hidup dalam kondisi kekurangan, masih peduli kepada nasib penduduk dan anak-anak putri asrama dari ancaman rekrutmen menjadi jugounfu (pelacur)  tentara Jepang. 

Hanya lima suster Eropa non-Belanda yang tidak diinternir, yaitu  Mère Josepha Becker OSU (Jerman), Mère Jeanne Lebeaud OSU, Mère Gabriel Appel OSU, Mère Pia de Lorm OSU (Perancis), dan Mère Fidelis Kirschstein OSU (Indo-Belanda).  Mereka tinggal dengan 26 anak asuhan di Jalan Jawa. Umat Katolik pun diperintahkan untuk memakai gereja Protestan di Jalan Jawa, Madiun. Kondisi rumah di Jalan Jawa yang djadikan biara yang sekaligus panti asuhan makin rusak dan sangat menyedihkan. Keadaan sangat sulit sehingga para suster dan anak-anak panti asuhan terpaksa makan seadanya, itu pun dengan menjual barang-barang yang ada.  

Kendati demikian, para suster tetap melakukan pelayanan dan membantu Romo Dwidjosoesanto, Pr, satu-satunya pastor yang tersisa, menyelenggarakan misa dan pelayanan pastoral untuk umat Madiun dan sekitarnya. 

Memasuki Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Jika bagi orang lain, kegagalan adalah akhir dari segalanya dan putus asa, namun lain bagi para Suster Ursulin Madiun yang berkali-kali dicabut dari zona nyaman dan dipaksa duduk di kursi panas. Dalam situasi yang kurang mengenakkan, sekaligus berbahaya, mereka sering diusir dari biaranya demi alasan apa pun dan sempat terpaksa tidak bisa berkarya lagi di Madiun (bubar). 

Semua ini terbukti tak mudah untuk mengembalikannya, termasuk pengalaman kesulitan untuk kembali ke Madiun, meskipun mereka menginginkannya. Karena keyakinan akan panggilan dan karya Tuhan, mereka tidak pernah putus asa, satu per satu perjuangan mereka membuahkan hasil. Para suster tidak hanya berhasil kembali ke Madiun, melainlkan juga membangun kesuksesan bertahap mulai dari nol. Rupanya mereka berguru dari Guru Sejati, yang berkali-kali jatuh memanggul salib, tapi setiap kali bangun untuk menuntaskan karya dan perutusan-Nya.

Pada masa menjadi interniran tentara Jepang, para suster selalu berpindah-pindah, dari satu kamp ke kamp yang lain dengan penuh penderitaan, dan akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 perang benar-benar telah dihentikan oleh Proklamasi Republik Indonesia. Namun, para suster tidak berani meninggalkan kamp sampai tanggal 5 Desember 1945 demi keamanan sendiri. 

Setelah perang selesai dan merdeka, komunitas Madiun hanya dihuni 4 orang Mère dan 26 anak. Keamanan para suster asing sering terancam. Ada pula desakan Tentara Indonesia. Mereka membutuhkan bruderan dan susteran untuk markas. Maka, Mei 1946 para suster dan anak-anak itu pun dipindahkan ke Jalan Celaket 55, Malang. 

Akhirnya, komunitas Suster Ursulin Madiun bubar. Setelah empat tahun komunitas para suster bubar  dan tidak ada kegiatan, maka pada 31 Januari 1949 Mère Gabriel Appel OSU, Mère Ignatio Sosrosentono OSU, dan Mère Christine OSU datang ke Madiun. Para Suster Ursulin tersebut kembali ke Madiun untuk meneruskan karyanya, terutama di bidang pendidikan sekolah. 

 Memasuki tahun 1959, di Jalan Wilis dibuka asrama baru khusus untuk 30 mahasiswi pindahan dari Kediri yang kuliah di Fakultas Pendidikan (sebelumnya Kursus B-1 Ilmu Mendidik, tanggal 21 Agustus 1957 didirikan oleh Romo Prof. Dr. Paul Janssen CM). Berkat kerja sama yang baik antara para pastor CM, para Suster Ursulin  di Madiun dan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, berdirilah IKIP Widya Mandala yang diresmikan pada tanggal 20 September 1960 oleh Mgr. Drs. J.A.M. Klooster CM. 

Ketika semuanya menjadi makin mudah dan kemajuan dunia modern membuka peluang-peluang untuk bereksplorasi, apakah Suster Ursulin terbuai oleh rasa aman dan terjebak dalam zona nyaman?  Terbukti tidak! Suster Ursulin tetap berjuang agar karya pastoral dan pendidikan yang menjadi spesialisasi mereka, selalu berkenan dan makin dirasakan di hati masyarakat Madiun. Suster tidak ragu bekerja sama dengan pihak mana pun, juga tak sayang untuk berinvestasi demi mengimbangi kemajuan teknologi dan zaman. 

Keterbukaan, selalu mengikuti zaman, dan mencari terobosan-terobosan baru menjadikan karya-karya Suster Ursulin tinggal landas, menjadi juara, dan disatukan dengan karya penyelenggarakan Allah sendiri. Itulah sebabnya Suster Ursulin menjadi sepesialis dan berkontribusi untuk semua tingkat karya pendidikan di Madiun: TK, SD, SMP, SGA (nantinya menjadi SPG), PGSLP, dan bahkan universitas Widya Mandala Madiun. Keberadaan dan kesuksesan semua lembaga pendidikan itu tak lepas dan tidak bisa dipisahkan dari kontribusi para Suster Ursulin Madiun. Fondasi pendidikan di Madiun berakar dalam perjalanan sejarah 100 tahun karya Suster Ursulin di Madiun.  

Memasuki tahun 1984 seluruh Umat Katolik di Indonesia merayakan 450 tahun Gereja Katolik di Indonesia. Di Keuskupan Surabaya kegiatan 450 tahun Gereja Katolik di Indonesia yang diketuai oleh Romo John Tondowidjojo, CM. Puncak acara liturgis diselenggarakan di Stadion Gelora 10 Nopember, Tambaksari, Surabaya, pada 20 Juni 1984. Turut serta dalam perayaan liturgi di Stadion Tambaksari komunitas para Suster Ursulin dari Madiun. Satu tahun setelah seluruh umat Katolik di Indonesia merayakan 450 tahun keberadaan Gereja Katolik di Indonesia disusul pula oleh para Suster Ursulin merayakan 450 tahun keberadaan OSU. 

Tahun 1985 merupakan tahun bersejarah bagi Ordo St. Ursula. Usia Ursulin genap 450 tahun keberadaannya, merupakan Tahun Rahmat Tuhan  bagi seluruh anggotanya.  Ketika usia tahun keberadaan para Suster Ursulin di dunia ke-450  tidak menjadikan mereka berbangga dan terlena akan kebesaran komunitas, tetapi semua itu menjadi pemicu mereka untuk berkembang sesuai tuntutan zaman. Tahun berganti tahun, ternyata karya para Suster Ursulin di Madiun tidak tergerus zaman, namun justru berkembang bersama gerak kemajuan zaman.

Perjalanan panjang para Suster Ursulin di Madiun  bersama umat Katolik di Madiun mengalami dinamika yang unik. Mengingat para Suster Ursulin di Madiun berkembang pesat sampai menuju seratus tahun tidak dapat lepas dari peran Gereja dalam masyarakat. Dalam perjalan waktu para Suster Ursulin bersama umat Katolik Madiun juga mengalami enam kali masa kepemimpinan Gereja Katolik, yaitu bersama (1) Mgr. Dr. Th. de Backere CM; (2) Mgr. Dr. M. Verhoeks CM;  (3) Mgr. Drs. J.A.M Klooster CM; (4) Mgr. A.J. Dibjokaryono, Pr; (5) Mgr. J. Hadiwikarta, Pr; (6) Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr, sejak hari Jumat Pahing 29 Juni 2007.

Memasuki tahun 2014 para Suster Ursulin di Madiun di bawah kepemimpinan Sr. Irma Titi Pawarto, OSU, merayakan 100 tahun Ursulin berkarya di Madiun. Dengan bertambahnya usia tidak menjadikan para Suster Ursulin, khususnya di Madiun terlena dengan segala kebesaran dan keberhasilan Ordo St. Ursula, tetapi justru menjadikannya obor untuk menyalakan semangat baru di era kecanggihan teknologi. 

Dengan demikian, semua itu sesuai dengan penghayatan yang didambakan oleh Bunda Santa Angela Merici yang tertulis dalam nasihatnya yang terakhir: “Hiduplah dalam keserasian, bersatu, sehati, sekehendak, terikat satu sama lain, dengan cinta kasih, saling menghargai, saling membantu, saling bersabar dalam Yesus Kristus”. Betapa indah pesan tersebut, menyejukkan, dan penuh pengharapan demi masa depan yang sesungguhnya.

Karya para Suster Ursulin di Madiun adalah bukti keberhasilan dan hasil konsistensi mereka dalam mengembangkan sayap karya pendidikan secara padu, sekaligus keterbukaan mereka dalam kerja sama dengan berbagai pihak. Setiap perjuangan mereka membuktikan kepedulian serta konsistensi para Suster Ursulin terhadap pendidikan bermutu bagi masyarakat Madiun. Maka, tidak mengherankan jika perjalanan 100 tahun karya Suster Ursulin di Madiun mampu membangkitkan inspirasi dari dan optimisme terhadap karya Ursulin di masa mendatang, juga bagi setiap orang yang peduli dan terlibat di dalam karya mereka.

Saya meyakini dan merangkum perjalanan 100 tahun karya Suster Ursulin di Madiun dalam satu ungkapan kalimat dalam 1 Korintus 3:6: Ego plantavi, Apollo rigavit; sed Deum incrementum dedit“ (Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan).        

No comments:

Post a Comment