Sunday, December 7, 2014

Keberanian di Tengah Metropolitan

Oleh Felix Juno
Formandi Seminari Tinggi Providentia Dei
 
Kotaku menyajikan berbagai drama kehidupan manusia yang dinamis. Metropolis. Ia menampakkan diri sebagai sebuah medan proses untuk mengalami ini dan itu. Suka-duka-kegembiraan-kegelisahan hidup. Di sanalah kau temukan pria berdasi menikmati espresso di sebuah kedai kopi, perempuan paruh baya dan putri kecilnya di bilik tripleks, pemuda dan gadisnya memasuki XXI.
Pria renta tertidur di sebuah becak, bocah-bocah berseragam putih-merah, putih-biru, putih-abu-abu, dan bocah-bocah tanpa busana di sebuah kali, berangkat dalam kemacetan pulang dalam kondisi yang sama, keluarga-keluarga menikmati weekend di taman kota. Keluarga-keluarga muda gali lobang tutup lobang demi susu formula, deretan etalase emas dan deretan pengepul besi tua, kawasan rintisan city-town bersanding rawa-rawa, para pemilik dompet berselera pasar tumpah dan produk KW, kumandang Adzan dan pujian Mazmur terbumbung bersama, dan masih banyak lagi yang bisa kau temukan di sana.
Beberapa waktu yang lalu kami pulang dan tiba-tiba berteriak, "Audacia! Kami adalah para Pemberani!"
Pantaslah jika cibiran penentang arogansi terdengar dan nyinyir atas stempel kenekatan beberapa sudut kota kami yang diduga melekat pada diri kami terungkap. Mungkin pula ada dugaan bahwa kelimpahan materi membuat kami berani melakukan langkah ini. Ini bukan soal pembelaan diri atas hal itu. Ketahuilah bahwa di usia lima tahun ini, kami sedang belajar melangkah. Butuh keberanian untuk melakukannya. Keluar dari zona kelembaman dan maju menghidupi realitas.
Kami sudah pernah hidup di lokus yang lain. Hanya saja, kami ingin mengalami proses yang lain. Apakah hanya karena ingin? Apakah itu tidak terlalu angkuh? Mengapa punya keinginan seperti itu? Bukankah pengalaman dan perjumpaan langsung akan memberikan bekal yang baik bagi kami untuk menjalankan panggilan kami esok hari. Hadir lebih dekat, mengenal lebih intim, mengalami lebih intens, dan menyapa dalam keterlibatan aktif dengan Gereja lokal adalah sebuah kerinduan yang hendak kami obati: saling menjadi berkat sebagai Gereja. Di sebuah kota metropolis ini.
***
Pada mulanya adalah Audacia (Keberanian) untuk dibentuk. Memang tak dapat kuanalogikan sebagai bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya. Namun, kami memang harus mengalami berbagai bentuk adaptasi dan merintis proses pembelajaran. Langkah pertama yang kami lakukan adalah mengatur irama langkah hidup kami. Konsistensi menjadi salah satu kekhasan dalam kehidupan kami. Konsistensi itu kami hayati dengan semangat keseimbangan.
Ketika keseimbangan hidup terjaga, keseimbangan kualitas hidup kami pun perlahan-lahan terbentuk. Itu tujuannya dan ada banyak jalan menuju ke sana. Kami membangun irama itu dan berusaha setia menghidupinya. Kami yang merintisnya, maka kami punya tanggung jawab untuk mengembangkannya. Untuk bertanggung jawab, untuk dipercaya, untuk peka terhadap gejala ketidakseimbangan yang mungkin terjadi, kami butuh keberanian; berani terbuka dan bersikap kritis.
Ada yang mengatakan bahwa Keberanian adalah suatu rahmat. Apakah itu cuma-cuma? Ataukah itu buah dari sebuah perjuangan? Kita letakkan keberanian sebagai sebuah keutamaan. Audacia yang kami hayati bukan kenekatan yang mencerminkan sikap reaktif, gegabah, dan ceroboh. Keberanian ini bukanlah rasionalisasi yang jauh dari sikap reflektif. Ia tentu berseberangan dengan sikap pengecut. Ia berada di tengah antara sikap pengecut dan kenekatan. Berada pada posisi ekstrem berarti tak memahami horizonnya, realitas dan esensinya. Pendek kata, ia tak bijaksana. Berani itu bijaksana.
Beberapa langkah selanjutnya tantangannya semakin nyata. Beberapa dari kami sudah menatap dan menetap di metropolis. Sembari menanti rumah baru, keluarga ini harus mulai menghidupi semangat Non Scholae sed Vitae Discimus. Dunia pendidikan menyuguhkan proses dan pengalaman yang mendorong kami untuk mampu bereksplorasi seluas-luasnya, seluas realitas yang ada. Di situ kami mulai belajar untuk setia menggali, belajar untuk berani menelisik, menggugat, mengajukan pandangan kritis termasuk atas kehidupan pribadi kami, dan mempertanggungjawabkan disposisi yang telah diambil.
Di usia balita, tradisi baik yang pernah kami alami, kami coba bangkitkan di rumah baru kami. Tradisi baru pun kami bangun secara perlahan sebagai bentuk usaha untuk menghayati semangat Audacia dengan karakter khas keluarga ini. Setiap dari kami dipanggil untuk berani memaknai setiap dinamika khas rumah ini. Setiap anggota keluarga juga mulai mematangkan dimensi-dimensi tertentu dalam dirinya dengan lebih serius dan terfokus. Dengan begitu, kami dibentuk menjadi pribadi yang berani untuk hidup secara otentik, apa adanya, dan sederhana.

***
 
Manusia-manusialah yang menjalani proses ini. Sesuai dengan personalitasnya masing-masing, mereka bereksistensi sebagai individu mandiri dan anggota komunitas. Ada dari mereka yang beranggapan bahwa hidup ini adalah perjuangan. Pun ada yang yakin bahwa hidup ini adalah anugerah yang patut selalu dijalani dan disyukuri. Bahkan ada yang berpikir bahwa hidup ini absurd: indah, penuh tantangan, tangisan, menggembirakan, misterius, mendadak dan tak terduga, dapat diisi dengan rencana indah namun kadang tampak sebagai keterlemparan (kebetulan), sederhana namun ribet juga dijalani. Dengan semangat Audacia, pilih salah satu: bunuh diri atau berpengharapan.
Keberanian manusia adalah keberanian yang bisa bersifat rasional, emosional,  dan bahkan spiritual. Ketika karya ini dimulai dan dijalani, kami gunakan akal budi kami sehingga karya ini rasional. Kami gunakan hati kami agar karya ini menyapa setiap hati yang ada di sekitar kami. Kami menjadi berani karena kami tahu apa yang harus kami lakukan karena itu benar. Kami menjadi berani karena punya hati yang menghendaki apa yang baik. Namun, kami juga menjalani karya ini dengan iman. keberanian kami karena iman adalah keberanian untuk mempercayakan karya ini pada penyelenggaraan Ilahi (Providentia Divina). Kami belajar untuk hidup dalam semangat keberanian karena Tuhan lah yang menyelenggarakan hidup kami. Kadang perjalanannya menjadi sulit dipahami dengan rasio. Tak jarang pula perjalanan ini disisipi oleh hal-hal tak terduga di luar kehendak kita. Kalau sudah begitu, terus berjuang dengan rasio dan hati serta berpengharapan pada Sang Penyelenggara tetap jadi pilihan. Bukan lalu bunuh diri-menyerah kalah.
Seorang imam perintis karya ini pernah berujar, "Providentia Dei telah berjalan. Tugasmu sekarang kudu wani, kudu gelem repot!"
Bolehlah engkau beriman: rencana Tuhan melebihi rencanaku, Penyelenggaraan Tuhan terjadi dalam hidupku, hidupku di tangan-Mu Tuhan. Terus nek wes ngono kowe arep ngopo?
Iman yang hidup, pengharapan yang hidup, adalah iman dan pengharapan yang nyata dalam kasih yang hidup. Kasih yang hidup itu dihayati dan dihidupi dalam pengorbanan. Berani berkorban bagi kebaikan bersama, demi komunitas. Berani berkorban itu berani keluar dari zona nyaman untuk mengambil inisiative action. Berani berkorban itu mau mengkomunikasikan diri, terbuka bagi dan kepada orang lain. Bukan lagi aku yang mendominasi segalanya. Tapi aku yang mau bekerjasama dengan sesama.
"Ecce ancila Domini. Fiat mihi secundum verbum Tuum." Pemilik spirit itulah yang menjadi pelindung perjalanan kami. Beliau adalah sosok pemberani: berpengharapan pada Tuhan dan penuh pengorbanan. Pun St. Yohanes Maria Vianney yang menjadi teladan kami: seorang imam diosesan yang penuh iman, harapan, dan kasih. Semoga kami mewarisi semangat mereka.
Keberanian menuntun kami untuk melangkah kepada semangat menghadirkan diri dalam doa dan karya. Dan ini adalah sebuah proses belajar. Kami harus juga berani bersikap rendah hati. Kami berusaha dan belajar berani ini dan itu. Namun, jika tanpa kerendahan hati menyadari situasi batas diri dan belajar berpaut kepada Sang Penyelenggara, maka ini semua hanya sementara.
Seminari Tinggi Providentia Dei memang baru genap berusia lima tahun dan berada di dalam rencana-Nya tentu ada jaminan akan sebuah perjalanan yang unpredictable. Dan itu akan menjadi perjalanan yang asyik. (*)

No comments:

Post a Comment