Friday, December 5, 2014

Refleksi tentang Umat Katolik di Maluku

Oleh RD Illidius Y. Sumarno

 Pada umumnya masyarakat mengenal Ambon sebagai daerah konflik, daerah bertikai antar umat beragama, khususnya Islam dan Protestan. Melihat komposisi penduduk memang pemeluk Islam sebanding dengan Protestan plus Katolik: jumlah yang sama banyaknya, temperamental yang sama, dan masih banyak penduduk berpenghasilan rendah. Kondisi ekonomi lagi-lagi menjadi biang keladi konflik. Konflik horizontal sudah selesai 15 tahun lalu (meletus tahun 1999). Namun menghapus citra buruk tidak semudah membalik telapak tangan.

Pasca konflik muncul pengkotak-kotak daerah: daerah sana mayoritas Islam, daerah lain Protestan. Ini semacam bom waktu. Api dalam sekam. Bila ada provokator memulai maka sangat mungkin meletus lagi. Maka, usaha terus-menerus diadakan dialog antar pemimpin agama dan masyarakat bawah. Kerja sama yang harmonis terus dilakukan guna membangun hidup rukun "kitorang basudara". 

Beberapa event penting di Ambon dilakukan bersama-sama, bahu membahu. MTQ se-Indonesia di Ambon disiapkan oleh semua orang, semua agama ikut serta mensukseskan. Pertemuan para dosen se-Indonesia diadakan di Ambon. Munas XI para pastor se-Indonesia digelar di Islamic Center. Para kamula muda Islam menyiapkannya, selain panitia munas. Semua ini guna menyampaikan kepada dunia dan Indonesia bahwa Ambon sudah damai. Datanglah ke Ambon dan ber-acara-lah. 

Jasa umat Katolik sangat terasa untuk menjadi penengah dalam konflik, terlebih jasa Mgr P.C. Mandagi. Beliau dibilang 'Sang Penyelamat' Ambon. Ketika pemerintah sudah tak tahu apa yang harus dibuat, Mgr Mandagi turun tangan. Dengan berani dan bertaruh nyawa melerai bila ada kelompok ingin saling membunuh. 

"Kita ini manusia, bukan binatang. Kita semua sama-sama kehilangan sanak keluarga, apa masih ingin menambah kehilangan nyawa keluarga?  Ayo saling mengampuni, saling melupakan. Kita semua bersaudara, harus saling mengasihi"

Teriakan Nabi Ambon ini didengarkan oleh semua pihak. Maka, terjadilah saling mengampuni dan berdamai kelompok yang berselisih. Jasa besar ini dihargai oleh pemerintah dengan rasa hormat dan segan terhadap Gereja Katolik. Ada orang Katolik yang duduk di pemerintahan dan melihat bahwa ada dana untuk pengembangan rohani pemeluk agama, maka keuskupan/gereja mengajukan fasilitas kendaraan sehingga Mgr Mandagi mendapat mobil dinas plat merah. 

Wakil Uskup (Vikjen) juga mendapat mobil plat merah satu-satu. Untuk keperluan Munas XI ini pemerintah juga memberikan donasi besar kepada keuskupan. Termasuk di dalamnya pengamanan yang super mewah dan pentupan jalan-jalan protokol, pengawalan dengan mobil dan motor polisi serta lima bus  pengangkut peserta munas. 

Gereja dan negara/pemerintah harus berdandengan tangan secara harmonis, jujur, dan terbuka dalam mengamankan Ambon, dan Maluku secara umum. Inilah misioner gereja yang konkret dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Seharusnya hal ini menjadi contoh untuk dilanjutkan di keuskupan peserta munas masing-masing. Berani dan siap ambil risiko apa pun, termasuk nyawa, bila harus tampil menjadi penengah di daerah konflik. 

Gereja jangan tiarap, tak mau tahu, atau menghindar dari persoalan aktual masyarakat. Gereja Katolik tak boleh sembunyi di menara gading, tembok tinggi pastoran dan pura-pura berdoa di gereja yang megah dengan menara-menara yang menjulang ke langit itu. Gereja harus berani berbuat!!

BUDAYA DAN IMAN

Semua orang tahu bahwa orang Ambon adalah jago-jagonya tarik suara. Sejak lahir sudah pandai menyanyi. Demikian juga menari  adalah bawahan sejak lahir. Menyanyi dan menari adalah milik Ambon, umumnya Maluku. Seperti kami alami sendiri. Ketila live-in di Wowonda-Tanimbar, kami diajak menari dan menyanyi. Semakin kami ikut larut dalam nyanyian dan tarian mereka semakin semangat. Seakan api yang disiram premium, makin berkobar-kobar. Bagi mereka, kami diterima secara lahir dan batin bila ikut menyanyi dan menari. Inilah budaya yang dibawa sejak lahir. 

Di dalam liturgi kami merasakan bahwa para penari dan pembawa persembahan terlibat secara batin seakan membawa persembahan dan menari untuk Tuhan. Melihat cara mereka memberikan persembahan sambil menari-nari. Dan kami pun menerima persembahan sambil bergoyang sedikit, perasaan hati umat sangat gembira. Ini komentar mereka. Iman dan budaya bergandengan tangan. Pakaian dan perangkat perang para penari memperlihatkan bagaimana mereka ingin menghalau segala godaan yang datang bila menghalang-halangi persembahan mereka kepada Tuhan. 

Di Jawa juga punya budaya dan iman, tapi apakah bisa ditampakan dalam liturgi. Selama ini gamelan dan tarian sebagai pengiring pembukaan dan persembahan hanya di paroki desa. Tarian hanya sekadar ditempelkan dan bukan bermakna yang lebih dalam, yakni penjaga iman, penghalau godaan setan atau roh jahat. 

Seperti kami ungkap di atas bahwa panitia begitu antusias menyambut kedalatangan kami. Kami disambut mulai dari bandara Ambon oleh puluhan panitia plus Mgr Mandagi  juga ikut menyambut. Tanpa berlama-lama setelah upacara pengalungan syal, kami rombongan langsung diantar ke bus dan meluncur ke Keuskupan. Setelah tiba dijamu dengan makan minum yang melimpah. Tas dan kopor sudah diletakkan di depan kamar kami masing-masing oleh para petugas. Kerja cepat dan tepat. 

Para petugas dari panitia memberi arahan atau pengumuman secara jelas dan mudah dimengerti sehingga acara sangat lancar. Buku pedoman dan buku acara serta agenda liturgy sudah dibagikan sehingga memperlancar kami, para peserta dalam mengikuti acara demi acara. Totalitas panitia patut diacungi jempol. 

Ketika kami live-in, umat begitu antusia menyambut kedatangan kami di bandara. Ribuan umat berjubel menyaksikan upacara menerimaan dan pengalungan syal dan jamuan minum di ruang VIP Bandara Tanimbar. Kemudian masing-masing pastor diantar dengan konvoi kendaraan roda 4 dan roda 2 beratus-ratus ke tempat live-in masing-masing. Setelah tiba di tempat live-in disambut dengan tarian dan nyanyian. Semua orang ikut menyanyi karena lagunya sudah dikenal sejak kecil. Semua orang tampak gembira dan sukacita. 

Acara demi acara para pastor dilibatkan. Tidak ada waktu tersisa bahkan acara digelar sampai dini hari (jam 02.00 bahkan 03.00). Kami sangat terkejut dengan acara yang super padat. Capek luar-dalam tak kami rasakan demi kebahagiaan umat.

Totalitas panitia dan umat Keuskupan Amboina banyak pastor memujinya. Sungguh besar kesadaran umat untuk ambil bagian dalam mensukseskan Munas XI. Peran Mgr Mandagi memberi perintah dan kepercayaan kepada panitia dan umat untuk bekerja sebaik-baiknya. Dana dari Keuskupan, pemerintah, dan umat serta donatur dan peserta Munas (Keuskupan dan Unio masing-masing) ikut memperlancar gerak acara demi acara. Dan, tak kalah penting, totalitas para petugas kepolisian sangat terasa ketika mengawal perjalanan peserta Munas dari tempat satu ke tempat lain. 

Dukungan pemerintah daerah, Gubernur Maluku, dan para pejabat, juga Bapak Wali Kota Ambon dan jajarannya sangat besar. Kerja sama semua pihak, Gereja, dan pemerintah sangat dibutuhkan demi suksesnya munas ini. Semoga totalitas tersebut menjadi pembelajaran kita bila hendak menggelar event tingkat nasional seperti Munas. "Pekerjaan seberat apa pun bila dikerjakan bersama pasti terasa ringan." Syalom!

Ponorogo, 17 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment