Oleh V. Rachmad Djatmiko
Sebuah pengalaman berharga saya dapatkan melalui kesempatan mengikuti Musyawarah Nasional Unio Indonesia XI di Keuskupan Ambon. Keuskupan Surabaya sebagai salah satu peserta mendapatkan kesempatan mengirimkan tiga imamnya, RD Elidius Sumarno, RD Timoteus Siga, dan RD Otong Setiawan. Akan tetapi, karena RD Otong mengikuti Konferda dan Moderda Karismatik, maka keikutsertaannya saya gantikan.
Kontingen dari Keuskupan Surabaya berangkat pada 30 September, pagi hari pukul 07.10 WIB, terdiri atas Mgr. V. Sutikno, RD Sumarno, RD Timotheus Siga, dan saya sendiri. Kami tiba di bandara Pattimura, Ambon pada pukul 11.00 WIT, disambut oleh panitia, dan secara istimewa oleh Bapa Uskup Ambon, Mgr. P.C Mandagi. Pada tanggal 30 September ini, masih belum ada acara resmi karena acara munas baru akan dimulai pada tanggal 1 oktober 2014. Masih ada kesempatan satu hari untuk menyesuaikan diri dengan situasi kota Ambon, terutama dengan perbedaan waktu dari Indonesia barat ke Indonesia timur.
Munas Unio Indonesia (Unindo) dimulai dengan acara makan malam bersama di kediaman gubernur Maluku pada tanggal 1 Oktober 2014, dihadiri oleh jajaran Pemda Provinsi Maluku dan seluruh peserta munas. Hadir pula pada kesempatan ini Dubes Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi dan Ketua Unio Internasional, Mgr. Giuseppe Magrin. Namun demikian, rangkaian acara munas sudah dimulai siang harinya dengan peresmian monumen Fransiskus Xaverius di desa Htive Besar, Ambon, tempat pertama kali Santo Fansiskus Xaverius menginjakkan kakinya di Ambon. Setelah peresmian, seluruh peserta mengikuti perayaan ekaristi pembukaan munas di Katedral Ambon, yang dipimpin oleh Mgr. P.C Mandagi.
Dalam sambutannya di acara makan malam itu, Gubernur Maluku Said Assegaf menyambut dan mengungkapkan kegembiraannya atas kehadiran para imam dan beberapa uskup dalam acara munas ini. Beliau juga menyampaikan situasi di Provinsi Maluku, khususnya kota Ambon yang sempat menjadi daerah konflik antar agama. Beliau mengatakan bahwa konflik yang terjadi pada kurun waktu tahun 1999-2004 itu memang nampaknya terjadi antaragama namun sebenarnya akar dari permasalahannya adalah adanya kepentingan-kepentingan dari beberapa pihak yang menggunakan agama sebagai senjata. Akan tetapi, pada dasarnya masyarakat Ambon sangat menghormati perbedaan agama. Karena itu, diyakini bahwa penyebab konflik pada saat itu bukanlah soal perbedaan agama.
Sementara itu, Dubes Vatikan, Mgr. Guido Filipazzi menyampaikan bahwa kita mesti ingat kembali bahwa perbedaan bukanlah untuk memecah tapi untuk saling melengkapi. Pesan ini disampaikannya mengingat pada hari itu bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila, yang menyatakan adanya perbedaan di Indonesia tapi menyatukan seluruh bangsa. Demikianlah hendaknya perbedaan agama hendaknya bukan menjadi alasan untuk saling bermusuhan, melainkan saling bekerja sama demi kesejahteraan bersama.
Munas Unindo dilanjutkan keesokan harinya dengan acara dialog bersama dengan para tokoh lintas agama bertempat di gedung Islamic Center, Ambon. Pada sesi awal, Mgr. Guido memaparkan pernyataan Paus Fransiskus yang disampaikan pada World Youth Day di Korea, yang menekankan perlunya kita kembali memahami ajaran agama kita. Pemahaman yang baik akan membuat kita bisa berdialog dengan baik pula dengan penganut agama lain.
Pada sesi kedua diadakan pemaparan pengalaman masing-masing tokoh agama membeberkan pada saat konflik dan usaha mereka untuk mendamaikan umatnya masing-masing. Saya mendapatkan kesan bahwa para tokoh agama ini sungguh bekerja keras bersama-sama supaya konflik yang terjadi bisa diselesaikan dan masyarakat kembali hidup damai. Mgr. Mandagi menekankan perlunya kita kembali pada ajaran agama masing-masing supaya bisa menghayati ajaran itu dengan baik dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang majemuk ini. Selain ini beliau juga menekankan perlunya sikap pengampunan, karena hanya dengan sikap ini semua pihak bisa meredakan amarah dan berusaha untuk menciptakan perdamaian.
Malam hari setelah makan malam, acara dilanjutkan dengan laporan pertanggungjawaban pengurus Unio Indonesia periode 2011-2014, dan setelah itu diadakan pemilihan pengurus Unio untuk periode 2014-2017. Seetelah dilakukan proses pemilihan dengan cara voting, maka terpilihlah pengurus baru dengan susunan sebagai berikut:
Pelindung: Mgr. Blasius Pujaraharja.
Penasihat: Mgr. Vinsen Sensi Potokota dan Mgr. Agustinus Agus
Ketua: RD Siprianus Hormat
Wakil ketua: RD Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta
Sekretaris I: RD P.C Siswantoko
Sekretaris II: RD Simon Lili Tjahjadi
Bendahara I: RD Paulus wirasmohadi
Bendahara II: RD Eman Belo Sedo
Kepala Pastoran Unio Indonesia: RD Guido Suprapto
Ketua bidang komunikasi: RD Yustinus Ardianto
Ketua Regio Jawa: RD Antonius Garbito Pambuaji
Ketua Regio Sumatera: RD Yakobus Hariprabowo
Ketua Regio Kalimantan Barat: RD Jhon Rustam
Ketua Regio Kalimantan Timur: RD Anton B. Doso
Ketua Regio MAM: RD Stefanus Chandra Putra Endak
Ketua Regio Nusra: RD Ferry Dhae
Ketua Regio Papua: RD Izaak Bame
Hari berikutnya, 3 Oktober 2014, kami peserta munas diajak untuk live-in di beberapa daerah di Maluku untuk mengalami sendiri bagaimana kehidupan masyarakat Maluku dalam beragama, berbudaya dan berrelasi dengan sesama, yang berbeda agama. Saya mendapat tempat live-in di Pulau Kei Kecil, tepatnya di Paroki Rumaat, Stasi Ngabub. Selama tiga hari saya berada bersama umat satu kampung yang semuanya Katolik, sekitar 500 jiwa.
Pada kesempatan ini saya menyempatkan diri untuk mendengarkan kisah mereka pada saat konflik dan juga pemahaman mereka tentang agama dan adat budaya mereka. Masyarakat pulau Kei Kecil yang mayoritas bersuku Kei itu memahami bahwa yang menyatukan mereka adalah adat-istiadat warisan nenek moyang mereka, sedangkan agama itu datang belakangan. Maka, bagi mereka, sebenarnya perbedaan agama bukanlah suatu permasalahan besar. Mereka bisa hidup rukun dengan penganut agama lain karena menyadari bahwa mereka bersuku sama, artinya mereka masih satu keluarga.
Dalam kesempatan ini, kami juga berdialog dengan wali kota Tual serta para pemimpin agama dan pemimpin adat. Pada kesempatan ini para tokoh mengisahkan kembali pengamalan mereka tentang terjadinya kerusuhan di Maluku, khususnya di Pulau Kei Kecil. Mereka mengungkapkan bahwa kerusuhan yang terjadi di tempat itu bisa segera diatasi dengan baik. Jika di kota Ambon, kerusuhan memakan waktu hingga beberapa tahun, di Kei Kecil ini kerusuhan bisa diatasi dalam waktu beberapa bulan saja.
Para tokoh masyarakat dan adat setempat menuturkan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan adat. Mereka mengingatkan kembali masyarakat bahwa semua orang di Kei Kecil ini merupakan satu saudara. Ada ungkapan yang sangat mengakar di hati rakyat Kei, bahwa mereka semua meskipun berbeda-beda tetapi berasal dari rahim dan telur yang satu. Dengan pemahaman inilah para pemimpin berusaha menenangkan rakyatnya dan membuat mereka saling berdamai kembali.
Setelah tiga hari live-in, kami kembali ke Ambon untuk melanjutkan sisa acara munas, yaitu makan malam bersama di rumah wali kota Ambon dan bedah buku Mission, Breakthrough yang ditulis oleh RD Simon Petrus L. Tjahjadi dari Keuskupan Agung Jakarta. Pada bedah buku ini, RD Simon menyampaikan bahwa penulisan buku ini terjadi karena keprihatinannya bahwa masih ada juga imam diosesan, bahkan juga uskup, yang belum mengerti apa dan siapa itu imam diosesan/praja.
Dari situlah dia menuangkan tulisan tentang keberadaan imam diosesan, secara khusus kita diajak melihat perannya dalam dinamika Gereja. Ada banyak imam diosesan yang memiliki kiprah yang tidak kecil dalam Gereja Katolik, dan dari merekalah kita menimba pengetahuan dan semangat pelayanan sebagai imam diosesan.
Munas Unindo 2014 ditutup dengan perayaan ekaristi dalam rangka HUT 20 tahun tahbisan Uskup Mgr. Mandagi. Akan tetapi, saya tidak mengikutinya karena kelelahan, dan harus istirahat. Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan dan kepada seluruh rekan imam diosesan Keuskupan Surabaya, dan juga Bapa Uskup Sutikno, yang telah mengizinkan saya mengikuti munas ini. Banyak pengalaman dan hal baru yang saya dapatkan dan menyemangati saya untuk menjadi imam diosesan yang lebih handal, khususnya dalam pelayanan yang dipercayakan kepada saya.
Secara khusus saya kembali disadarkan bahwa kita perlu sungguh memahami iman yang kita miliki supaya mampu menjalin relasi yang baik dengan umat beragama lain di sekitar kita. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya pembelajaran iman umat seperti katekese, supaya pastor dan umat semakin menghayati imannya.
Iman kita adalah iman yang terbuka, yang membuat kita mampu menangkap pesan Ilahi tentang keselamatan, dan dalam situasi keterbukaan itulah kita juga menjadi kepanjangan tangan Allah untuk menyampaikan pesan perdamaian dan keselamatan kepada semua orang. Dengan pemahaman yang baik, maka imam dan umat bisa berdialog dengan baik pula dengan saudara-saudara yang berbeda imannya guna mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan jiwa raga, dan semakin luasnya Kerajaan Allah di bumi ini.
Berkat Tuhan menyertai kita sekalian! (*)