Saturday, February 28, 2015

Akar dari Segala Kejahata

Oleh Reza AA Wattimena
Dosen Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan Rusia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina, dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan pasukannya di perbatasan. Jika konflik terjadi, maka yang perang akan melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.

Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk menyerbu kelompok ini. Konflik bersenjata dalam skala besar nyaris tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam penderitaan, akibat perang dan konflik bersenjata lainnya.

Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga menciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari kartel narkoba mengancam kehidupan banyak negara. Anak muda dipaksa masuk untuk bergabung dalam gang bersenjata. Berbagai kebijakan pro rakyat kandas di depan mata, karena pengaruh lobi dari beragam kartel narkoba di dalam kebijakan politik.

Sebagai akibatnya, banyak orang terjebak di dalam rantai kemiskinan. Akar dari kemiskinan ini bukanlah kemalasan atau ketidakmampuan pribadi, melainkan kemiskinan sistemik sebagai dampak dari bobroknya sistem sosial yang ada. Di dalam jeratan kemiskinan, banyak gadis muda yang terjebak ke dalam pelacuran dan perdagangan manusia. Inilah bentuk perbudakan modern di awal abad 21 yang masih tertutup dari mata banyak orang.

Orang yang paham akan hal ini merasa tak berdaya untuk memperbaiki keadaan. Banyak dari antara mereka memutuskan untuk bersikap tidak peduli. Caranya adalah dengan hidup di dalam rantai konsumsi. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang dan membeli barang lebih dan lebih lagi, guna mengobati ketidakberdayaan mereka di dalam kehidupan. Konsumtivisme menjadi candu baru.

Mengapa ini semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan kepada manusia lainnya? Mengapa manusia menciptakan penderitaan bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya? Jawabannya hanya satu, yakni delusi, atau kesalahan berpikir mendasar tentang kehidupan.

Kekosongan Batin

Hampir setiap orang yang lahir di awal abad 21 ini merasakan sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari masyarakat. Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.

Orang menyebutnya dengan berbagai kata. Ada yang bilang, mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, yakni rasa kurang yang bercokol di dalam batin.

Mereka lalu mencari cara, guna mengisi kekosongan batin tersebut. Mereka pun melihat ke luar dirinya. Narkoba, seks, agama, mistik dan konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.

Di dalam proses pencarian, ketika keadaan telah menjadi sedemikian rumit, mereka tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh orang lain, supaya ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan kemudian saling menyakiti satu sama lain.

Inilah yang sekarang ini terjadi di dunia. Rusia mengira, bahwa mereka akan menjadi bangsa besar, ketika mereka menguasai Ukraina, atau bahkan menguasai berbagai negara satelit bekas Uni Soviet di masa lalu. ISIS mengira, bahwa mereka bisa mendirikan kerajaan model abad pertengahan, jika mereka terus menyiksa dan membunuh orang-orang yang tak bersalah. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Aku yang Terpisah

Cara berpikir ini juga didorong oleh delusi lainnya, yakni delusi keterpisahan manusia. Salah satu racun paling mematikan dari filsafat Barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah makhluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Delusi keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala bentuk diskriminasi. Bangsa-bangsa tertentu merasa terpisah dari bangsa-bangsa lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya daripada bangsa-bangsa lainnya. Ini lalu mendorong penjajahan politik dan ekonomi dari beberapa negara atas negara-negara lainnya. Ini juga menjadi akar dari perbudakan, rasisme, fasisme dan penjajahan atas minoritas di berbagai negara.

Namun, kekosongan batin tetap ada. Orang bisa menjajah dan menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di dalam hatinya. Delusi keterpisahan manusia mendorong orang masuk ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah lainnya.

Untuk mengisi kekosongan batinnya, orang juga menghancurkan alam. Hutan dibabat untuk membangun perumahan mewah. Gunung diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan semua makhluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan kerakusannya.

Ketika alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur, akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.

Mencari ke Dalam

Jadi, akar dari segala kejahatan adalah dua delusi mendasar. Yang pertama adalah delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua adalah delusi, bahwa manusia adalah mahluk individual yang terpisah dengan manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan sosialnya.

Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba menemukan kepenuhan hidup di sana. Kita harus berhenti mencoba mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, nama besar, barang-barang dan lainnya. Ketika kita menengok ke dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini adalah kesatuan dari jaringan yang tak terpisahkan.

Kita dan orang lain adalah satu. Kita dan alam adalah satu. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita sendiri.

Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-hari. Ketika kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa segala hal di dunia ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan, tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua makhluk hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.

Tidak ada perbedaan antara kita dan makhluk hidup lainnya. Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang tampak hanya muncul dari pancaindera dan pikiran kita yang rapuh. Perbedaan tersebut lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang mendasar tentang kehidupan.

Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. Ketika hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain. Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini, demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan. Mau sampai kapan kita hidup seperti ini? (*)

Berbaur dengan Keheningan di Muntilan

Retret merupakan salah satu kegiatan rutin tahunan yang diadakan oleh kampus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STKIP) Widya Yuwana Madiun. Sebagai calon katekis, kami senantiasa membutuhkan penyegaran rohani untuk semakin memantapkan panggilan kami. Retret kali ini diadakan di Muntilan pada 2-5 Februari 2015. Para mahasiswa semester 6 mengikuti pembinaan di rumah Retret St. Fransiskus di Jln. Kartini 11, Muntilan, samping RSU Muntilan, berada dalam kompleks pekuburan (Kerkhof), dekat SMA Van Lith serta museum misi.  

Suasana di rumah retret ini senyap, jauh dari keriuhan kota. Tetumbuhan berwarna hujau dengan beberapa jenis perdu tertata rapi dan bersih di kompleks rumah retret ini. 
Kegiatan kami di Rumah Retret St. Fransiskus selama empat hari tiga malam dipandu oleh tiga orang. Mereka adalah  Bapak Virdei Eresto Gaudiawan (dosen pembimbing), Romo Soma Hadiwinata, SJ, dan Mas Catur Priya. 

Sore itu, setelah kami tiba di Muntilan, ada jeda sejenak untuk kami beristirahat. Lalu sesi pertama dimulai pada pukul 18.30 WIB. Sesi perkenalan dan membuat kesepakatan  jadwal kegiatan selama retret. Pada awalnya kami memang merasa bingung kenapa jadwal kegiatan selama retret tidak  dibuat terlebih dahulu oleh pemateri, dan kenapa malah kami yang harus membuat kesepakatan bersama untuk menentukan hal apa saja yang akan kami lakukan. Namun, setelah itu kami menyadari bahwa mulai dari sesi pertama inilah sebenarnya proses kami selama retret akan dimulai. 

Melalui sesi pertama ini kami diajak untuk berani memilih dan mengambil keputusan. Hal tersebut dapat menjadi cerminan bagi kami bahwa sebagai orang yang telah dewasa, tindakan yang pasif bukan seharusnya tindakan yang kami lakukan, namun sebaliknya kami yang harus bertindak aktif dan para pendamping tersebut hanya bertugas untuk mendampingi dan memberikan  peneguhan atas seluruh dinamika yang ada dalam diri kami selama retret berlangsung. 

Salah satu pendamping kami adalah imam Yesuit yang terkenal dengan  kedisiplinannya. Untuk itu, kami diminta  berlatih silentium magnum dan berlatih berdoa dengan cara meditasi minimal 90 menit dalam sehari. Hal ini bagi kami merupakan sebuah pembelajaran agar kami dapat menimbang-nimbang segala sesuatu yang akan kami lakukan dengan penuh kesadaran namun tetap di dalam situasi  diri yang tenang. Ada beberapa hal yang ingin diajarkan Romo Soma dan Mas Catur untuk menjadi seorang pewarta muda yang tangguh. 

Pada hari kedua, tepatnya pukul 24.00, kami dibangunkan dari tidur kami. Kami disuruh berkumpul di aula, diperintahkan oleh Romo Soma untuk berjalan menuju makam salah satu imam Yesuit yang terkenal karena kecintaan-Nya terhadap tanah Jawa, yaitu Romo Fransiskus Georgius Josephus van Lith. Kompleks pemakaman para imam Yesuit tersebut  tidak jauh dari tempat retret kami, kira-kira untuk membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Dalam keadaan yang masih silentium magnum, kami berjalan menuju kerkhof. 

Setelah sampai di sana, kami berdoa dan sebagai seorang muda yang 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, kami membawa bendera kebangsaan sebagai simbol kecintaan kami terhadap tanah air Indonesia. Sesi berdoa di pemakaman yang dilakukan ditengah malam tersebut, mengingatkan kami akan perjuangan para imam Yesuit yang kebanyakan orang Belanda. Mereka wafat di tanah misi, Jawa, dan berhasil menghimpun umat Katolik yang terbilang banyak. 

Saat itu sejenak kami berefleksi bersama bahwa untuk menjadi seorang pewarta itu memang harus tangguh agar dapat berkarya sampai akhir hidup di tengah-tengah segala tantangan zaman. Setelah itu, kira-kira pukul dua pagi kami kembali ke rumah retret, beristirahat. 

Pada hari ketiga, misa pagi hingga makan siang dengan semangat namun tetap membawa diri dalam situasi silentium magnum. Setelah beristirahat sejenak, pukul 14.00, kami kembali ke aula pertemuan. Pada pertemuan tersebut kami diberi arahan oleh Romo Soma dan Mas Catur untuk mengunjungi Sendangsono. Namun, kami diperintahkan agar berjalan kaki.

Pada awalnya kami sedikit mengeluh karena sesi ini akan menguras seluruh tenaga dan pikiran kami. Jarak antara tempat kami retret dan Sendangsono sekitar 25 km. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi kami apakah kami bisa melakukannya atau tidak. 

Perjalanan kami di mulai pada pukul 15.30 dan dilakukan per kelompok yang terdiri dari 3-4 orang. Kami dibekali dengan makanan yang telah disediakan oleh ibu-ibu yang bertugas memasak di rumah retret. Cuaca mendung mengawal perjalanan kami. Kami tidak memikirkan untuk membawa banyak barang dalam perjalanan menuju Sendangsono, karena  bukan ajang untuk camping. Sesi jalan kaki menuju Sendangsono ini kami hendak diajarkan bagaimana sebuah sikap yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh dan selalu meyakini bahwa Tuhan menyertai kami dalam perjalanan hidup kami. 

Perjalanan menuju Sendangsono juga merupakan sebuah niatan kami untuk menelusuri perjalanan Romo Van Lith dahulu, dan merenungkan bagaimana cintanya yang mendalam pada tanah Jawa, yang dipilihnya untuk kembali dan dan akhirnya berpulang. Kami juga hendak mengingat perjuangan Romo Van Lith untuk sebuah kesamaan hak antara pribumi dan orang Belanda. Setelah lima jam, kami semua sampai di Sendangsono. 
Di sana kami berdoa sejenak di depan Gua Maria, lalu beristirahat di pondok-pondok yang telah dibangun di Sendangsono. Keesokan paginya, kami kembali ke Muntilan dengan menyewa sebuah angkutan desa, karena fisik sudah lelah. 

Dari retret singkat di Muntilan ini, kami merasa bahwa  belajar menjadi seorang katekis adalah suatu tindakan yang tidak keliru. Sebab, di luar sana membutuhkan orang-orang muda seperti kami. Semangat dan tenaga kami masih menggebu-gebu untuk berjuang lebih demi kemajuan Gereja dan umat-Nya. 

(Elisabet Pipit Wahyunita)


Saturday, January 31, 2015

Baksos Lingkungan Benedictus Ngagel ke Stasi Tritik Nganjuk

Pagi itu, Minggu 7 Desember 2014, cuaca kota Nganjuk sebenarnya sempat mendung dan gerimis. Tetapi rupanya cuaca yang kurang bersahabat itu tidak mengurangi semangat dan keceriaan umat Lingkungan St. Benedictus, Paroki Ngagel, Surabaya, untuk melaksanakan bakti sosial di Stasi Tritik. 

Dengan menggunakan satu bus besar dan dua mobil, rombongan memasuki kota Nganjuk sekitar jam 08.30. Syukur kepada Allah, gerimis yang sejak pagi membasahi Nganjuk sudah reda saat rombongan tiba di halaman sebuah pabrik di wilayah Guyangan untuk istirahat sejenak. Di halaman pabrik itu, rombongan diterima Bapak Cosmas Budi Rahardjo, warga Paroki Nganjuk, yang beberapa minggu sebelumnya memang sudah dikontak terlebih dahulu oleh Bapak Lauw Hendra sebagai ketua Lingkungan St. Benedictus, Paroki Ngagel untuk membantu dan mendukung kegiatan bakti sosial itu. 

Setelah istirahat sejenak dan memindah-mindahkan barang-barang bantuan dari bagasi bus ke mobil boks, akhirnya rombongan bersama-sama berangkat ke Stasi Tritik dengan menggunakan beberapa mobil kecil. Jarak Guyangan ke Tritik yang kurang lebih 16 km ditempuh rombongan selama kurang lebih 45 menit. Separuh lebih perjalanan itu, ditempuh rombongan dengan melewati jalan-jalan yang rusak dan berbatu, serta harus melewati daerah perbukitan membelah hutan-hutan jati milik perhutani. Kondisi jalan yang rusak itulah yang menyebabkan lamanya waktu tempuh ke Tritik. 

Di Tritik, rombongan disambut oleh Ibu Sampun (istri dari ketua stasi Tritik) dan beberapa umat. Mereka tiba di Tritik setengah jam sebelum misa dimulai pada pukul 10.00. Kebetulan, hari itu memang giliran Stasi Tritik ketempatan misa kekehan (gangsing) dalam siklus putaran layanan misa bersama dengan Stasi Gondang, Rejoso, dan Jatikampir. Waktu yang ada itu mereka gunakan untuk menurun-nurunkan bingkisan dan barang-barang yang akan disumbangkan dan mempersiapkan teknis pembagiannya. 

Sebagian besar yang lain, sudah duduk rapi di dalam kapel mempersiapkan hati untuk mengikuti misa hari Minggu Adven II. Mendekati jam 10.00, rombongan RD Leo Giovani bersama dengan beberapa dokter tiba di Tritik. Demikian pula menyusul rombongan umat dari Stasi Jatikampir, Rejoso, dan Gondang. Misa dimulai jam 10.00 dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan lagu-lagunya menggunakan lagu bahasa Jawa. Sebenarnya hari itu Stasi Tritik memang mendapat giliran misa  bahasa Jawa, sehingga petugas-petugas liturgi dan petugas koor sudah mempersiapkannya dengan menggunakan bahasa Jawa.

 Persiapan koor yang dirasa kurang dan lagu bahasa Jawa yang mungkin masih terdengar asing di telinga saudara-saudara dari Surabaya, barangkali sedikit banyak memang mengganggu kelancaran jalannya ekaristi siang itu. Tetapi bagaimanapun juga rasa syukur yang mendalam karena boleh berbagi dan menerima berkat dari Tuhan, tetap terungkap dengan jelas dalam keseluruhan ekaristi siang itu. 

Dalam homilinya, RD Leo Giovani sempat mengingatkan umat untuk terus mengusahakan hidup yang lurus dengan menutup lubang-lubang ucapan, perilaku dan sikap hidup negatif yang barangkali selama ini masih ada. Itulah salah satu bentuk persiapan dan penantian menyambut kelahiran Tuhan Yesus selama masa Adven. Di akhir misa, Ibu Lisa Soegiharto sebagai ketua panitia bakti sosial dan Bapak Subono sebagai wakil dari umat Stasi Tritik, Gondang, Rejoso dan Jatikampir, serta RD Leo Giovani, sempat menyampaikan sambutan-sambutannya. 

Setelah misa, acara dilanjutkan dengan kegiatan bakti sosial berupa pelayanan pemeriksaan dan pengobatan gratis oleh dokter-dokter dan paramedis dari Paroki Nganjuk, pembagian bingkisan untuk warga desa Tritik, pembagian bingkisan untuk umat Tritik, Gondang, Rejoso dan Jatikampir, penyerahan bantuan pakaian pantas pakai untuk keempat stasi dan paroki; penyerahan bantuan 3 unit wireless untuk Stasi Tritik, Jatikampir dan Gondang.

Ada juga penyerahan bantuan wireless untuk Masjid Tritik; penyerahan dua lemari pakaian dan buku untuk Stasi Tritik dan Rejoso; serta penyerahan bantuan pasang meteran listrik, gorden dan toilet duduk untuk Stasi Tritik.  Bersamaan dengan itu, umat yang lain menikmati makan siang bersama dengan menu sederhana ala Desa Tritik. Nampak sekali terungkap rasa syukur dan terima kasih yang mendalam dari semua pihak, terutama dari umat Stasi Tritik, Gondang, Rejoso dan Jatikampir serta warga yang menerima bingkisan. 

Sebelum pulang, warga Lingkungan St. Benedictus, Ngagel, menyempatkan berfoto bersama dengan RD Leo Giovani di depan kapel dilanjutkan penyerahan bantuan uang tunai untuk pembangunan balai pertemuan Stasi Loceret yang diterima langsung oleh RD Leo Giovani. (Cosmas Budi Rahardjo)


HUT ke-84 Paroki Kristus Raja Surabaya

Berikan Hati Ulurkan Tangan, Kita Wujudkan Kelompok Kecil Umat Yang Misioner. Inilah tema yang menjiwai seluruh  Rangkaian Perayaan HUT ke-84 Paroki Kristus Raja Surabaya. Beragam kegiatan diselenggarakan sejak bulan Juli hingga November 2014 agar umat dapat  memaknai HUT paroki lebih mendalam.  Kalau tahun 2013, panitia HUT dipegang oleh para ketua lingkungan, maka tahun 2014 ini para wakil ketua lingkungan dipercaya sebagai panitia. Dengan demikian, semakin banyak orang diberi peluang untuk bertanggung jawab dalam kegiatan di tingkat paroki. 

Selain menindaklanjuti tema keuskupan tentang Kelompok Kecil Umat, paroki yang sejak berdiri dikelola oleh romo-romo CM ini mau lebih mengenal Santo Vinsensius a Paulo, pendiri CM, serta memahami spiritualitasnya. Ini dilakukan dengan Novena St Vinsensius selama sembilan Kamis berturut, dan materi untuk Kuis Temu Krida. 

Menurut Herman Josep Sutrisno, Ketua Umum HUT Paroki, seluruh rangkaian kegiatan yang diadakan berusaha sebanyak mungkin melibatkan umat baik anak-anak, Rekat, OMK, keluarga maupun lansia. Umat tidak hanya terlibat sebagai peserta lomba tetapi juga memberikan hati dan mengulurkan tangan sebagai panitia pendukung, khususnya kaum muda. Hal ini merupakan kesempatan yang baik  karena  kaum muda   dapat  menimba pengalaman dan belajar untuk  menyelenggarakan kegiatan, belajar  memimpin dan siap kaderisasi tugas  pelayanan di paroki untuk masa mendatang.

Rangkaian kegiatan yang diselenggarakan  antara lain  lomba lektor,  pemazmur, koor, pewarta cilik,  temu krida Rekat, temu krida umum, mural rohani, rujak cingur,  sandal bakiak,  merias wajah, fashion batik, vocal group, bulutangkis, tarik tambang,  futsal,  mewarnai,  becak hias. Tak ketinggalan seminar, novena, jalan sehat, donor darah, baksos, dan kerja bakti. Hadiah untuk  lomba-lomba diserahkan saat Malam Pentas Seni HUT KR ke-84 pada 22 November 2014 di Gedung KR.

Malam Pentas Seni menampilkan unjuk kebolehan dari umat 8 wilayah di KR, SMK Mater Amabilis, Stanislaus I dan II. Inti dari semua tampilan acara adalah pemberian diri  tanpa memandang kaya atau miskin, tradisional atau  modern, tua atau muda, besar atau kecil, kuat atau lemah, semuanya merupakan kado yang terindah untuk  Tuhan apabila disertai dengan pengorbanan, ketulusan hati dan sukacita. 

Di Ruang Kaca Gedung KR juga diselenggarakan  Pameran Lukisan dengan tema Seni Bukti Kasih Sayang. Pameran ini merupakan wujud keterbukaan Paroki KR kepada seluruh elemen masyarakat. Seni memang bisa  menjadi jembatan solidaritas tanpa terbelenggu hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Suku, ras, atau agama bisa dirangkul secara harmonis sebagai satu kesatuan indah dan wujud kasih sayang sesama manusia. Panitia bekerja sama dengan Surabaya Art Event dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW). Para seniman yang unjuk karya malah mayoritas muslim.  

Sejumlah karya seni rupa dipamerkan. Ada yang berupa lukisan dan grafis.Beberapa berwujud patung. Selain itu, beberapa foto dinamika kegiatan lingkungan di Paroki KR misalnya saat pemberkatan rumah, doa lingkungan, pemakaman, dll   ikut mengisi ruang pameran.

Misa Syukur merupakan puncak perayaan HUT ke-84 Paroki Kristus Raja, Minggu, 23 November 2014, pukul 09.00, bertepatan dengan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Misa Syukur dipimpin oleh Romo Antonius Sad Budianto CM didampingi Romo Rahmat CM, Romo Ignatius Suparno CM, Romo Emanuel Tetra Vici Anantha CM dan Romo Thomas Puji Nurcahyo CM (Romo Kepala Paroki St. Marinus Yohanes Kenjeran).
Dalam homilinya, Romo Sad Budi CM menyampaikan bahwa di tengah-tengah irama dan aktivitas kehidupan modern yang padat dan panjang, Kristus harus tetap meraja dalam kehidupan kita baik dalam keluarga, pekerjaan, karya pelayanan, studi, pergaulan maupun hidup kerohanian. Kristus pun harus meraja dalam kehidupan para imam agar semakin rendah hati dan terbuka bekerja sama dengan umat. Kesibukan seringkali membuat orang menomorsekiankan kehidupan rohani dan menggereja.  Padahal, tanpa Tuhan kita tak mungkin selamat. 

Orang tua sejak dini perlu menekankan kehidupan rohani pada anak-anaknya agar Kristus meraja dalam hidup anak-anak hingga dewasa kelak. Keterlibatan umat dalam hidup menggereja semakin hari semakin surut, padahal setiap orang yang sudah dibaptis dipanggil untuk turut serta dalam tugas penggembalaan Kristus  bersama para imam. 

Untuk menghidupkan semangat rohani umat dan keterlibatan dalam  kehidupan menggereja  dengan semangat Kelompok Kecil Umat, maka Paroki Kristus  Raja  memekarkan 8 wilayah menjadi 16 Wilayah, dan 48 lingkungan menjadi 64 lingkungan. Ini merupakan babak baru, bukan hal yang mudah dan membutuhkan pengorbanan. Namun, penataan ini harus dilalui sebagai bentuk tanggungjawab kepada Kristus Sang Raja. Penataan ini diharapkan dapat merangkul semakin banyak umat agar tergerak, peduli, dan terlibat  pada kehidupan menggereja sehingga Kristus meraja dalam hidup mereka. 

Setelah homili,  diadakan pelantikan para ketua dan wakil ketua wilayah/lingkungan baru. Romo Sad Budi CM mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka menjadi pengurus dan memberikan apresiasi  karena mereka dengan rela mau menanggapi cinta Tuhan, ambil bagian dalam tugas penggembalaan Kristus  dan berani berkorban, sementara umat sering kali kurang tanggap terhadap tugas penggembalaan mereka. Mereka juga tidak kenal putus asa dan lelah walaupun harus membagi waktu antara keluarga, pekerjaan dan karya pelayanan. Mereka berusaha setia menanggapi panggilan Tuhan.
    
Setelah misa syukur diadakan pesta umat bersama di Gedung Kristus Raja. Acara berupa pemotongan tumpeng dan kue tar oleh Romo Sad Budi. Selanjutnya makan siang bersama. (*)

Sunday, December 7, 2014

Paroki GYB Bahas Sakramen Perkawinan

Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan! Itulah tema seminar yang diselengarakan oleh DPP Paroki Gembala Yang Baik (GYB),  Bidang Sumber. Seminar di GKP Gedung Karya Pastoral, Jalan Jemur Handayani, Surabaya, itu diikuti banyak peserta dengan narasumber RD antonius Padua Dwi Joko.
 
Diawali dengan cerita tentang harta karun di dalam rumah, Romo yang menjadi sebagai Vikaris Yudisial Keuskupaan Surabaya ini menegaskan bahwa relasi perkawinan ada di dalam rumah kita. Allah mempunyai rencana yang baik dalam hidup perkawinan. Dan perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagu manusia yang sejak semula.
 
Romo Dwi Joko menegaskan, hakikat perkawinan merupakan perjanjian laki-laki dan perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. Perkawinan bukan sekadar hidup bersama-sama, melainkan membangun kebersamaan hidup. Dengan kata lain, perkawinan jelas berbeda dengan kumpul kebo yang hanya ingin menekankan hidup secara bersama saja.
 
Perkawinan sebagai kebersamaan hidup terjadi sejak mengucapkan janji pernikahan dan akan berakhir dengan kematian. Kebersamaan hidup ini meliputi seluruh situasi dan kondisi kehidupan sebagaimana diucapkan kedua mempelai saat mengucapkan janji perkawinan, di mana mereka ingin hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat maupun sakit. Singkatnya, kebersamaan hidup ini meliputi seluruh situasi suami istri baik dalam keadaan bahagia maupun tidak bahagia.
 
Namun, kita sering dengar, ada salah satu pihak yang ingkar janji untuk sehidup semati dalam kebersamaan hidup. Akibatnya, dari tahun ke tahun angka perceraian terus bertambah. Menurut Romo Dwi Joko, kesulitan hidup bersama dalam perkawinan ini juga menimpa orang Katolik. Padahal, ada faktor-faktor yang mendukung hidup perkawinannya. Misalnya, hidup iman, termasuk peran rahmat ilahi, paham perkawinan monogami yang tak terputuskan, komunitas yang mendukung, pastoral pekawinan dan keluarga. Meskipun demikian, lalu pisah ranjang dan kemudian bercerai.
 
Bagaimana menyikapinya? Komisi Keluarga Keuskupan bersama Seksi Keluarga di paroki-paroki harus proaktif. Mencari pasangan-pasangan yang bermasalah untuk dimediasi dan difasilitasi. Hanya tiga kali pertemuan dalam kursus persiapan perkawinan tidak cukup! Apalagi tantangan hidup dewasa ini makin banyak dan berat.
 
Berbicara tentang arti perjanjian nikah, Romo Dwi Joko menyatakan bahwa perjanjian atau kesepakatan nikah adalah satu-satunya unsur yang membuat perkawian itu sah. Kesepakatan nikah ini hanya muncul dari pasangan suami istri. Harus muncul dari dalam hati sendiri dan bukan dari orang lain. Kesepakatan menikah ini merupakan tindakan kemauan untuk saling memberi dan menerima, bukan hanya menyerahkan tubuh saja, tetapi juga hatinya. Seluruh jiwa dan raganya.
 
 Kesepakatan nikah ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum. Pasangan calon suami istri harus mengucapkan janji nikah di depan otoritas dan para saksi.
 
Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan pasangan dan kesejahteraan anak. Pertama, kesejahteraan pasangan merupakan ciri unitif dari perkawinan. Kesejahteraan ini tentunya tidak hanya secara lahir saja, tetapi juga secara batin. Kitab Kejadian 2:24 menegaskan, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga kedua menjadi satu daging."
 
Kedua, kesejahteraan anak memiliki kaitan erat dengan dengan pendidikannya, baik secara jasmani maupun secara rohani. Sebagaimana pasangan suami istri adalah karunia dari Tuhan, yang harus disyukuri.
 
Salah satu cara mensyukurinya adalah dengan mendidik dan membesarkan anak dalam budaya dab iman Katolik. Ciri hakiki perkawinan adalah kesatuan (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Kesatuan dalam perkawinan menunjuk langsung dalam unsur unitif dan monogami. Tak terceraikan berarti bahwa sekali perkawinan yang dilangsungkan secara sah mempunyai akibat tetap dan EXSKLUSIF berarti bahwa ikatan nikah tersebut hanya antara suami istri dimana mereka hanya selalu setia pada pasangan sampai maut menjemput.
"Maka, tidak ada sama sekali pihak ketiga dalam hubungan suami istri," katanya. (Putroadi T.) 

5 Tahun Seminari Tinggi Providentia Dei Surabaya

Dalam rangka merayakan lustrum pertama atau lima tahunnya, Seminari Tinggi Providentia Dei (STPD) Keuskupan Surabaya mengadakan acara Live in dan Lomba Futsal pada 18-19 Oktober 2014. Acara ini merupakan salah satu rangkaian lustrum I STPD yang mengambil tema 'Sanctitas et Audacia'. Tema tersebut diambil dari motto pembinaan di STPD, yang berarti Kesucian dan Keberanian.

Kompetisi diikuti tim futsal dari berbagai paroki di Surabaya, antara lain Paroki Pecinta Damai Pogot, Paroki St. Paulus Juanda, Paroki Aloysius Gonzaga, Paroki SMTB Ngagel, Paroki Kristus Raja, Paroki St. Vincentius a Paulo, Widodaren, Paroki St. Perawan Maria Gresik, Paroki Roh Kudus, dan Paroki Sakramen Mahakudus Pagesangan. Di samping tim-tim itu, tim futsal STPD dan Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo Garum juga turut memeriahkan perhelatan yang pertama kalinya diselenggarakan oleh STPD ini.

Rangkaian acara dimulai pada Sabtu 18 Oktober pada pukul 17.30 dengan Ibadat Sore bersama dan Perayaan Ekaristi. Para peserta yang sudah datang di STPD sejak pukul 16.00 ini mengikuti acara rohani tersebut dengan khidmat dan syukur bersama dengan para frater STPD. Romo Benny Suwito, formator STPD, yang memimpin Perayaan Ekaristi, juga memberikan ucapan selamat datang kepada kurang lebih 80 peserta.

Romo Benny juga memberikan motivasi untuk perlombaan futsal yang akan diadakan keesokan harinya. Di samping itu, ia menekankan pentingnya kesadaran hidup menjadi OMK untuk mau bersaksi bagi Kristus di tengah dunia dewasa ini.

Selepas Perayaan Ekaristi, para peserta bersantap malam bersama di ruang makan bersama para frater SPTD. Setelah bersantap malam, para peserta mengikuti acara bersama yang dipimpin oleh para frater. Pada kesempatan tersebut, para frater memperkenalkan apa itu panggilan imamat dan secara khusus juga memperkenalkan STPD. Acara dimulai dengan bernyanyi dan bergoyang bersama yang dipimpin oleh Fr. Yudi dkk.

Fr. Felix, frater filosofan III, juga menjelaskan kepada para peserta tentang kehidupan para frater di seminari tinggi. Para peserta mendapatkan sharing pengalaman tentang betapa indahnya panggilan Tuhan dari seorang filosofan I, yaitu Fr. Handi.

Acara malam tersebut diakhiri dengan Completorium bersama pada pukul 21.30. Selepas Completorium, para peserta masih diperkenankan untuk menjalin keakraban dengan para peserta lain serta para frater melalui rekreasi bersama. Acara rekreasi bersama tersebut sungguh meriah, yang diisi acara nongkrong barengdan berakustik bersama, nonton film, atau juga sekadar bercerita dan menikmati malam bersama teman-teman seiman. 

Acara ini memang bertujuan untuk mengakrabkan para peserta yang datang dari berbagai paroki, yang juga merupakan orang muda masa depan Gereja. Kompetisi futsal dimulai pada pukul 07.30. Sebelum pertandingan dimulai, para peserta terlebih dahulu melakukan pemanasan dan berfoto bersama. Pertandingan pertama mempertemukan Paroki Pogot dan Paroki Juanda dengan hasil akhir 6-1 untuk kemenangan Pogot.

Pertandingan semifinal yang mempertemukan Paroki Roh Kudus versus Seminari Garum berakhirdengan skor imbang 1-1. Melalui drama adu penalti, akhirnya Seminari Garum harus mengakui keunggulan Paroki Roh Kudus.
Semifinal kedua mempertemukan STPD dan Paroki Kristus Raja. Pertandingan ini berakhir 3-3. Paroki KR maju ke final setelah menaklukkan STPD lewat adu penalti.

Partai puncak berlangsung seru. Kedua tim menampilkan permainan yang menawan. Akhirnya, Paroki KR keluar sebagai juara lewat adu penalti setelah sebelumnya skor 2-2 di waktu normal.
 
(Fr. Ferdian Dwi Prastiyo Agustinus) 

Catatan Munas Unindo XI di Keuskupan Ambon

Oleh V. Rachmad Djatmiko
 
Sebuah pengalaman berharga saya dapatkan melalui kesempatan mengikuti Musyawarah Nasional Unio Indonesia XI di Keuskupan Ambon. Keuskupan Surabaya sebagai salah satu peserta mendapatkan kesempatan mengirimkan tiga imamnya, RD Elidius Sumarno, RD Timoteus Siga, dan RD Otong Setiawan. Akan tetapi, karena RD Otong mengikuti Konferda dan Moderda Karismatik, maka keikutsertaannya saya gantikan.
                         
Kontingen dari Keuskupan Surabaya berangkat pada 30 September, pagi hari pukul 07.10 WIB, terdiri atas Mgr. V. Sutikno, RD Sumarno, RD Timotheus Siga, dan saya sendiri. Kami tiba di bandara Pattimura, Ambon pada pukul 11.00 WIT, disambut oleh panitia, dan secara istimewa oleh Bapa Uskup Ambon, Mgr. P.C Mandagi. Pada tanggal 30 September ini, masih belum ada acara resmi karena acara munas baru akan dimulai pada tanggal 1 oktober 2014. Masih ada kesempatan satu hari untuk menyesuaikan diri dengan situasi kota Ambon, terutama dengan perbedaan waktu dari Indonesia barat ke Indonesia timur.
 
Munas Unio Indonesia (Unindo) dimulai dengan acara makan malam bersama di kediaman gubernur Maluku pada tanggal 1 Oktober 2014, dihadiri oleh jajaran Pemda Provinsi Maluku dan seluruh peserta munas. Hadir pula pada kesempatan ini Dubes Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi dan Ketua Unio Internasional, Mgr. Giuseppe Magrin. Namun demikian, rangkaian acara munas sudah dimulai siang harinya dengan peresmian monumen Fransiskus Xaverius di desa Htive Besar, Ambon, tempat pertama kali Santo Fansiskus Xaverius menginjakkan kakinya di Ambon. Setelah peresmian, seluruh peserta mengikuti perayaan ekaristi pembukaan munas di Katedral Ambon, yang dipimpin oleh Mgr. P.C Mandagi.
                         
Dalam sambutannya di acara makan malam itu, Gubernur Maluku Said Assegaf menyambut dan mengungkapkan kegembiraannya atas kehadiran para imam dan beberapa uskup dalam acara munas ini. Beliau juga menyampaikan situasi di Provinsi Maluku, khususnya kota Ambon yang sempat menjadi daerah konflik antar agama. Beliau mengatakan bahwa konflik yang terjadi pada kurun waktu tahun 1999-2004 itu memang nampaknya terjadi antaragama namun sebenarnya akar dari permasalahannya adalah adanya kepentingan-kepentingan dari beberapa pihak yang menggunakan agama sebagai senjata. Akan tetapi, pada dasarnya masyarakat Ambon sangat menghormati perbedaan agama. Karena itu, diyakini bahwa penyebab konflik pada saat itu bukanlah soal perbedaan agama.
                         
Sementara itu, Dubes Vatikan, Mgr. Guido Filipazzi menyampaikan bahwa kita mesti ingat kembali bahwa perbedaan bukanlah untuk memecah tapi untuk saling melengkapi. Pesan ini disampaikannya mengingat pada hari itu bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila, yang menyatakan adanya perbedaan di Indonesia tapi menyatukan seluruh bangsa. Demikianlah hendaknya perbedaan agama hendaknya bukan menjadi alasan untuk saling bermusuhan, melainkan saling bekerja sama demi kesejahteraan bersama.
                         
Munas Unindo dilanjutkan keesokan harinya dengan acara dialog bersama dengan para tokoh lintas agama bertempat di gedung Islamic Center, Ambon. Pada sesi awal, Mgr. Guido memaparkan pernyataan Paus Fransiskus yang disampaikan pada World Youth Day di Korea, yang menekankan perlunya kita kembali memahami ajaran agama kita. Pemahaman yang baik akan membuat kita bisa berdialog dengan baik pula dengan penganut agama lain.
 
Pada sesi kedua diadakan pemaparan pengalaman masing-masing tokoh agama membeberkan pada saat konflik dan usaha mereka untuk mendamaikan umatnya masing-masing. Saya mendapatkan kesan bahwa para tokoh agama ini sungguh bekerja keras bersama-sama supaya konflik yang terjadi bisa diselesaikan dan masyarakat kembali hidup damai. Mgr. Mandagi menekankan perlunya kita kembali pada ajaran agama masing-masing supaya bisa menghayati ajaran itu dengan baik dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang majemuk ini. Selain ini beliau juga menekankan perlunya sikap pengampunan, karena hanya dengan sikap ini semua pihak bisa meredakan amarah dan berusaha untuk menciptakan perdamaian.
 
Malam hari setelah makan malam, acara dilanjutkan dengan laporan pertanggungjawaban pengurus Unio Indonesia periode 2011-2014, dan setelah itu diadakan pemilihan pengurus Unio untuk periode 2014-2017. Seetelah dilakukan proses pemilihan dengan cara voting, maka terpilihlah pengurus baru dengan susunan sebagai berikut:
 
Pelindung: Mgr. Blasius Pujaraharja.
Penasihat: Mgr. Vinsen Sensi Potokota dan Mgr. Agustinus Agus

Ketua: RD Siprianus Hormat
Wakil ketua: RD Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta

Sekretaris I: RD P.C Siswantoko
Sekretaris II: RD Simon Lili Tjahjadi
Bendahara I: RD Paulus wirasmohadi
Bendahara II: RD Eman Belo Sedo
Kepala Pastoran Unio Indonesia: RD Guido Suprapto
Ketua bidang komunikasi: RD Yustinus Ardianto

Ketua Regio Jawa: RD Antonius Garbito Pambuaji
Ketua Regio Sumatera: RD Yakobus Hariprabowo
Ketua Regio Kalimantan Barat: RD Jhon Rustam
Ketua Regio Kalimantan Timur: RD Anton B. Doso
Ketua Regio MAM: RD Stefanus Chandra Putra Endak
Ketua Regio Nusra: RD Ferry Dhae
Ketua Regio Papua: RD Izaak Bame
 
                         
Hari berikutnya, 3 Oktober 2014, kami peserta munas diajak untuk live-in di beberapa daerah di Maluku untuk mengalami sendiri bagaimana kehidupan masyarakat Maluku dalam beragama, berbudaya dan berrelasi dengan sesama, yang berbeda agama. Saya mendapat tempat live-in di Pulau Kei Kecil, tepatnya di Paroki Rumaat, Stasi Ngabub. Selama tiga hari saya berada bersama umat satu kampung yang semuanya Katolik, sekitar 500 jiwa.
 
Pada kesempatan ini saya menyempatkan diri untuk mendengarkan kisah mereka pada saat konflik dan juga pemahaman mereka tentang agama dan adat budaya mereka. Masyarakat pulau Kei Kecil yang mayoritas bersuku Kei itu memahami bahwa yang menyatukan mereka adalah adat-istiadat warisan nenek moyang mereka, sedangkan agama itu datang belakangan. Maka, bagi mereka, sebenarnya perbedaan agama bukanlah suatu permasalahan besar. Mereka bisa hidup rukun dengan penganut agama lain karena menyadari bahwa mereka bersuku sama, artinya mereka masih satu keluarga.
                         
Dalam kesempatan ini, kami juga berdialog dengan wali kota Tual serta para pemimpin agama dan pemimpin adat. Pada kesempatan ini para tokoh mengisahkan kembali pengamalan mereka tentang terjadinya kerusuhan di Maluku, khususnya di Pulau Kei Kecil. Mereka mengungkapkan bahwa kerusuhan yang terjadi di tempat itu bisa segera diatasi dengan baik. Jika di kota Ambon, kerusuhan memakan waktu hingga beberapa tahun, di Kei Kecil ini kerusuhan bisa diatasi dalam waktu beberapa bulan saja. 

Para tokoh masyarakat dan adat setempat menuturkan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan adat. Mereka mengingatkan kembali masyarakat bahwa semua orang di Kei Kecil ini merupakan satu saudara. Ada ungkapan yang sangat mengakar di hati rakyat Kei, bahwa mereka semua meskipun berbeda-beda tetapi berasal dari rahim dan telur yang satu. Dengan pemahaman inilah para pemimpin berusaha menenangkan rakyatnya dan membuat mereka saling berdamai kembali.
                         
Setelah tiga hari live-in, kami kembali ke Ambon untuk melanjutkan sisa acara munas, yaitu makan malam bersama di rumah wali kota Ambon dan bedah buku Mission, Breakthrough yang ditulis oleh RD Simon Petrus L. Tjahjadi dari Keuskupan Agung Jakarta. Pada bedah buku ini, RD Simon menyampaikan bahwa penulisan buku ini terjadi karena keprihatinannya bahwa masih ada juga imam diosesan, bahkan juga uskup, yang belum mengerti apa dan siapa itu imam diosesan/praja. 

Dari situlah dia menuangkan tulisan tentang keberadaan imam diosesan, secara khusus kita diajak melihat perannya dalam dinamika Gereja. Ada banyak imam diosesan yang memiliki kiprah yang tidak kecil dalam Gereja Katolik, dan dari merekalah kita menimba pengetahuan dan semangat pelayanan sebagai imam diosesan.
                         
Munas Unindo 2014 ditutup dengan perayaan ekaristi dalam rangka HUT 20 tahun tahbisan Uskup Mgr. Mandagi. Akan tetapi, saya tidak mengikutinya karena kelelahan, dan harus istirahat. Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan dan kepada seluruh rekan imam diosesan Keuskupan Surabaya, dan juga Bapa Uskup Sutikno, yang telah mengizinkan saya mengikuti munas ini. Banyak pengalaman dan hal baru yang saya dapatkan dan menyemangati saya untuk menjadi imam diosesan yang lebih handal, khususnya dalam pelayanan yang dipercayakan kepada saya.
 
Secara khusus saya kembali disadarkan bahwa kita perlu sungguh memahami iman yang kita miliki supaya mampu menjalin relasi yang baik dengan umat beragama lain di sekitar kita. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya pembelajaran iman umat seperti katekese, supaya pastor dan umat semakin menghayati imannya.
                         
Iman kita adalah iman yang terbuka, yang membuat kita mampu menangkap pesan Ilahi tentang keselamatan, dan dalam situasi keterbukaan itulah kita juga menjadi kepanjangan tangan Allah untuk menyampaikan pesan perdamaian dan keselamatan kepada semua orang. Dengan pemahaman yang baik, maka imam dan umat bisa berdialog dengan baik pula dengan saudara-saudara yang berbeda imannya guna mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan jiwa raga, dan semakin luasnya Kerajaan Allah di bumi ini.
 
Berkat Tuhan menyertai kita sekalian! (*)