Saturday, February 28, 2015

Berbaur dengan Keheningan di Muntilan

Retret merupakan salah satu kegiatan rutin tahunan yang diadakan oleh kampus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STKIP) Widya Yuwana Madiun. Sebagai calon katekis, kami senantiasa membutuhkan penyegaran rohani untuk semakin memantapkan panggilan kami. Retret kali ini diadakan di Muntilan pada 2-5 Februari 2015. Para mahasiswa semester 6 mengikuti pembinaan di rumah Retret St. Fransiskus di Jln. Kartini 11, Muntilan, samping RSU Muntilan, berada dalam kompleks pekuburan (Kerkhof), dekat SMA Van Lith serta museum misi.  

Suasana di rumah retret ini senyap, jauh dari keriuhan kota. Tetumbuhan berwarna hujau dengan beberapa jenis perdu tertata rapi dan bersih di kompleks rumah retret ini. 
Kegiatan kami di Rumah Retret St. Fransiskus selama empat hari tiga malam dipandu oleh tiga orang. Mereka adalah  Bapak Virdei Eresto Gaudiawan (dosen pembimbing), Romo Soma Hadiwinata, SJ, dan Mas Catur Priya. 

Sore itu, setelah kami tiba di Muntilan, ada jeda sejenak untuk kami beristirahat. Lalu sesi pertama dimulai pada pukul 18.30 WIB. Sesi perkenalan dan membuat kesepakatan  jadwal kegiatan selama retret. Pada awalnya kami memang merasa bingung kenapa jadwal kegiatan selama retret tidak  dibuat terlebih dahulu oleh pemateri, dan kenapa malah kami yang harus membuat kesepakatan bersama untuk menentukan hal apa saja yang akan kami lakukan. Namun, setelah itu kami menyadari bahwa mulai dari sesi pertama inilah sebenarnya proses kami selama retret akan dimulai. 

Melalui sesi pertama ini kami diajak untuk berani memilih dan mengambil keputusan. Hal tersebut dapat menjadi cerminan bagi kami bahwa sebagai orang yang telah dewasa, tindakan yang pasif bukan seharusnya tindakan yang kami lakukan, namun sebaliknya kami yang harus bertindak aktif dan para pendamping tersebut hanya bertugas untuk mendampingi dan memberikan  peneguhan atas seluruh dinamika yang ada dalam diri kami selama retret berlangsung. 

Salah satu pendamping kami adalah imam Yesuit yang terkenal dengan  kedisiplinannya. Untuk itu, kami diminta  berlatih silentium magnum dan berlatih berdoa dengan cara meditasi minimal 90 menit dalam sehari. Hal ini bagi kami merupakan sebuah pembelajaran agar kami dapat menimbang-nimbang segala sesuatu yang akan kami lakukan dengan penuh kesadaran namun tetap di dalam situasi  diri yang tenang. Ada beberapa hal yang ingin diajarkan Romo Soma dan Mas Catur untuk menjadi seorang pewarta muda yang tangguh. 

Pada hari kedua, tepatnya pukul 24.00, kami dibangunkan dari tidur kami. Kami disuruh berkumpul di aula, diperintahkan oleh Romo Soma untuk berjalan menuju makam salah satu imam Yesuit yang terkenal karena kecintaan-Nya terhadap tanah Jawa, yaitu Romo Fransiskus Georgius Josephus van Lith. Kompleks pemakaman para imam Yesuit tersebut  tidak jauh dari tempat retret kami, kira-kira untuk membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Dalam keadaan yang masih silentium magnum, kami berjalan menuju kerkhof. 

Setelah sampai di sana, kami berdoa dan sebagai seorang muda yang 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, kami membawa bendera kebangsaan sebagai simbol kecintaan kami terhadap tanah air Indonesia. Sesi berdoa di pemakaman yang dilakukan ditengah malam tersebut, mengingatkan kami akan perjuangan para imam Yesuit yang kebanyakan orang Belanda. Mereka wafat di tanah misi, Jawa, dan berhasil menghimpun umat Katolik yang terbilang banyak. 

Saat itu sejenak kami berefleksi bersama bahwa untuk menjadi seorang pewarta itu memang harus tangguh agar dapat berkarya sampai akhir hidup di tengah-tengah segala tantangan zaman. Setelah itu, kira-kira pukul dua pagi kami kembali ke rumah retret, beristirahat. 

Pada hari ketiga, misa pagi hingga makan siang dengan semangat namun tetap membawa diri dalam situasi silentium magnum. Setelah beristirahat sejenak, pukul 14.00, kami kembali ke aula pertemuan. Pada pertemuan tersebut kami diberi arahan oleh Romo Soma dan Mas Catur untuk mengunjungi Sendangsono. Namun, kami diperintahkan agar berjalan kaki.

Pada awalnya kami sedikit mengeluh karena sesi ini akan menguras seluruh tenaga dan pikiran kami. Jarak antara tempat kami retret dan Sendangsono sekitar 25 km. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi kami apakah kami bisa melakukannya atau tidak. 

Perjalanan kami di mulai pada pukul 15.30 dan dilakukan per kelompok yang terdiri dari 3-4 orang. Kami dibekali dengan makanan yang telah disediakan oleh ibu-ibu yang bertugas memasak di rumah retret. Cuaca mendung mengawal perjalanan kami. Kami tidak memikirkan untuk membawa banyak barang dalam perjalanan menuju Sendangsono, karena  bukan ajang untuk camping. Sesi jalan kaki menuju Sendangsono ini kami hendak diajarkan bagaimana sebuah sikap yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh dan selalu meyakini bahwa Tuhan menyertai kami dalam perjalanan hidup kami. 

Perjalanan menuju Sendangsono juga merupakan sebuah niatan kami untuk menelusuri perjalanan Romo Van Lith dahulu, dan merenungkan bagaimana cintanya yang mendalam pada tanah Jawa, yang dipilihnya untuk kembali dan dan akhirnya berpulang. Kami juga hendak mengingat perjuangan Romo Van Lith untuk sebuah kesamaan hak antara pribumi dan orang Belanda. Setelah lima jam, kami semua sampai di Sendangsono. 
Di sana kami berdoa sejenak di depan Gua Maria, lalu beristirahat di pondok-pondok yang telah dibangun di Sendangsono. Keesokan paginya, kami kembali ke Muntilan dengan menyewa sebuah angkutan desa, karena fisik sudah lelah. 

Dari retret singkat di Muntilan ini, kami merasa bahwa  belajar menjadi seorang katekis adalah suatu tindakan yang tidak keliru. Sebab, di luar sana membutuhkan orang-orang muda seperti kami. Semangat dan tenaga kami masih menggebu-gebu untuk berjuang lebih demi kemajuan Gereja dan umat-Nya. 

(Elisabet Pipit Wahyunita)


No comments:

Post a Comment