Saturday, February 28, 2015

Akar dari Segala Kejahata

Oleh Reza AA Wattimena
Dosen Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan Rusia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina, dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan pasukannya di perbatasan. Jika konflik terjadi, maka yang perang akan melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.

Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk menyerbu kelompok ini. Konflik bersenjata dalam skala besar nyaris tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam penderitaan, akibat perang dan konflik bersenjata lainnya.

Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga menciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari kartel narkoba mengancam kehidupan banyak negara. Anak muda dipaksa masuk untuk bergabung dalam gang bersenjata. Berbagai kebijakan pro rakyat kandas di depan mata, karena pengaruh lobi dari beragam kartel narkoba di dalam kebijakan politik.

Sebagai akibatnya, banyak orang terjebak di dalam rantai kemiskinan. Akar dari kemiskinan ini bukanlah kemalasan atau ketidakmampuan pribadi, melainkan kemiskinan sistemik sebagai dampak dari bobroknya sistem sosial yang ada. Di dalam jeratan kemiskinan, banyak gadis muda yang terjebak ke dalam pelacuran dan perdagangan manusia. Inilah bentuk perbudakan modern di awal abad 21 yang masih tertutup dari mata banyak orang.

Orang yang paham akan hal ini merasa tak berdaya untuk memperbaiki keadaan. Banyak dari antara mereka memutuskan untuk bersikap tidak peduli. Caranya adalah dengan hidup di dalam rantai konsumsi. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang dan membeli barang lebih dan lebih lagi, guna mengobati ketidakberdayaan mereka di dalam kehidupan. Konsumtivisme menjadi candu baru.

Mengapa ini semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan kepada manusia lainnya? Mengapa manusia menciptakan penderitaan bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya? Jawabannya hanya satu, yakni delusi, atau kesalahan berpikir mendasar tentang kehidupan.

Kekosongan Batin

Hampir setiap orang yang lahir di awal abad 21 ini merasakan sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari masyarakat. Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.

Orang menyebutnya dengan berbagai kata. Ada yang bilang, mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, yakni rasa kurang yang bercokol di dalam batin.

Mereka lalu mencari cara, guna mengisi kekosongan batin tersebut. Mereka pun melihat ke luar dirinya. Narkoba, seks, agama, mistik dan konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.

Di dalam proses pencarian, ketika keadaan telah menjadi sedemikian rumit, mereka tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh orang lain, supaya ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan kemudian saling menyakiti satu sama lain.

Inilah yang sekarang ini terjadi di dunia. Rusia mengira, bahwa mereka akan menjadi bangsa besar, ketika mereka menguasai Ukraina, atau bahkan menguasai berbagai negara satelit bekas Uni Soviet di masa lalu. ISIS mengira, bahwa mereka bisa mendirikan kerajaan model abad pertengahan, jika mereka terus menyiksa dan membunuh orang-orang yang tak bersalah. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Aku yang Terpisah

Cara berpikir ini juga didorong oleh delusi lainnya, yakni delusi keterpisahan manusia. Salah satu racun paling mematikan dari filsafat Barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah makhluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Delusi keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala bentuk diskriminasi. Bangsa-bangsa tertentu merasa terpisah dari bangsa-bangsa lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya daripada bangsa-bangsa lainnya. Ini lalu mendorong penjajahan politik dan ekonomi dari beberapa negara atas negara-negara lainnya. Ini juga menjadi akar dari perbudakan, rasisme, fasisme dan penjajahan atas minoritas di berbagai negara.

Namun, kekosongan batin tetap ada. Orang bisa menjajah dan menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di dalam hatinya. Delusi keterpisahan manusia mendorong orang masuk ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah lainnya.

Untuk mengisi kekosongan batinnya, orang juga menghancurkan alam. Hutan dibabat untuk membangun perumahan mewah. Gunung diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan semua makhluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan kerakusannya.

Ketika alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur, akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.

Mencari ke Dalam

Jadi, akar dari segala kejahatan adalah dua delusi mendasar. Yang pertama adalah delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua adalah delusi, bahwa manusia adalah mahluk individual yang terpisah dengan manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan sosialnya.

Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba menemukan kepenuhan hidup di sana. Kita harus berhenti mencoba mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, nama besar, barang-barang dan lainnya. Ketika kita menengok ke dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini adalah kesatuan dari jaringan yang tak terpisahkan.

Kita dan orang lain adalah satu. Kita dan alam adalah satu. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita sendiri.

Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-hari. Ketika kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa segala hal di dunia ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan, tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua makhluk hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.

Tidak ada perbedaan antara kita dan makhluk hidup lainnya. Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang tampak hanya muncul dari pancaindera dan pikiran kita yang rapuh. Perbedaan tersebut lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang mendasar tentang kehidupan.

Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. Ketika hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain. Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini, demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan. Mau sampai kapan kita hidup seperti ini? (*)

Berbaur dengan Keheningan di Muntilan

Retret merupakan salah satu kegiatan rutin tahunan yang diadakan oleh kampus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STKIP) Widya Yuwana Madiun. Sebagai calon katekis, kami senantiasa membutuhkan penyegaran rohani untuk semakin memantapkan panggilan kami. Retret kali ini diadakan di Muntilan pada 2-5 Februari 2015. Para mahasiswa semester 6 mengikuti pembinaan di rumah Retret St. Fransiskus di Jln. Kartini 11, Muntilan, samping RSU Muntilan, berada dalam kompleks pekuburan (Kerkhof), dekat SMA Van Lith serta museum misi.  

Suasana di rumah retret ini senyap, jauh dari keriuhan kota. Tetumbuhan berwarna hujau dengan beberapa jenis perdu tertata rapi dan bersih di kompleks rumah retret ini. 
Kegiatan kami di Rumah Retret St. Fransiskus selama empat hari tiga malam dipandu oleh tiga orang. Mereka adalah  Bapak Virdei Eresto Gaudiawan (dosen pembimbing), Romo Soma Hadiwinata, SJ, dan Mas Catur Priya. 

Sore itu, setelah kami tiba di Muntilan, ada jeda sejenak untuk kami beristirahat. Lalu sesi pertama dimulai pada pukul 18.30 WIB. Sesi perkenalan dan membuat kesepakatan  jadwal kegiatan selama retret. Pada awalnya kami memang merasa bingung kenapa jadwal kegiatan selama retret tidak  dibuat terlebih dahulu oleh pemateri, dan kenapa malah kami yang harus membuat kesepakatan bersama untuk menentukan hal apa saja yang akan kami lakukan. Namun, setelah itu kami menyadari bahwa mulai dari sesi pertama inilah sebenarnya proses kami selama retret akan dimulai. 

Melalui sesi pertama ini kami diajak untuk berani memilih dan mengambil keputusan. Hal tersebut dapat menjadi cerminan bagi kami bahwa sebagai orang yang telah dewasa, tindakan yang pasif bukan seharusnya tindakan yang kami lakukan, namun sebaliknya kami yang harus bertindak aktif dan para pendamping tersebut hanya bertugas untuk mendampingi dan memberikan  peneguhan atas seluruh dinamika yang ada dalam diri kami selama retret berlangsung. 

Salah satu pendamping kami adalah imam Yesuit yang terkenal dengan  kedisiplinannya. Untuk itu, kami diminta  berlatih silentium magnum dan berlatih berdoa dengan cara meditasi minimal 90 menit dalam sehari. Hal ini bagi kami merupakan sebuah pembelajaran agar kami dapat menimbang-nimbang segala sesuatu yang akan kami lakukan dengan penuh kesadaran namun tetap di dalam situasi  diri yang tenang. Ada beberapa hal yang ingin diajarkan Romo Soma dan Mas Catur untuk menjadi seorang pewarta muda yang tangguh. 

Pada hari kedua, tepatnya pukul 24.00, kami dibangunkan dari tidur kami. Kami disuruh berkumpul di aula, diperintahkan oleh Romo Soma untuk berjalan menuju makam salah satu imam Yesuit yang terkenal karena kecintaan-Nya terhadap tanah Jawa, yaitu Romo Fransiskus Georgius Josephus van Lith. Kompleks pemakaman para imam Yesuit tersebut  tidak jauh dari tempat retret kami, kira-kira untuk membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Dalam keadaan yang masih silentium magnum, kami berjalan menuju kerkhof. 

Setelah sampai di sana, kami berdoa dan sebagai seorang muda yang 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, kami membawa bendera kebangsaan sebagai simbol kecintaan kami terhadap tanah air Indonesia. Sesi berdoa di pemakaman yang dilakukan ditengah malam tersebut, mengingatkan kami akan perjuangan para imam Yesuit yang kebanyakan orang Belanda. Mereka wafat di tanah misi, Jawa, dan berhasil menghimpun umat Katolik yang terbilang banyak. 

Saat itu sejenak kami berefleksi bersama bahwa untuk menjadi seorang pewarta itu memang harus tangguh agar dapat berkarya sampai akhir hidup di tengah-tengah segala tantangan zaman. Setelah itu, kira-kira pukul dua pagi kami kembali ke rumah retret, beristirahat. 

Pada hari ketiga, misa pagi hingga makan siang dengan semangat namun tetap membawa diri dalam situasi silentium magnum. Setelah beristirahat sejenak, pukul 14.00, kami kembali ke aula pertemuan. Pada pertemuan tersebut kami diberi arahan oleh Romo Soma dan Mas Catur untuk mengunjungi Sendangsono. Namun, kami diperintahkan agar berjalan kaki.

Pada awalnya kami sedikit mengeluh karena sesi ini akan menguras seluruh tenaga dan pikiran kami. Jarak antara tempat kami retret dan Sendangsono sekitar 25 km. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi kami apakah kami bisa melakukannya atau tidak. 

Perjalanan kami di mulai pada pukul 15.30 dan dilakukan per kelompok yang terdiri dari 3-4 orang. Kami dibekali dengan makanan yang telah disediakan oleh ibu-ibu yang bertugas memasak di rumah retret. Cuaca mendung mengawal perjalanan kami. Kami tidak memikirkan untuk membawa banyak barang dalam perjalanan menuju Sendangsono, karena  bukan ajang untuk camping. Sesi jalan kaki menuju Sendangsono ini kami hendak diajarkan bagaimana sebuah sikap yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh dan selalu meyakini bahwa Tuhan menyertai kami dalam perjalanan hidup kami. 

Perjalanan menuju Sendangsono juga merupakan sebuah niatan kami untuk menelusuri perjalanan Romo Van Lith dahulu, dan merenungkan bagaimana cintanya yang mendalam pada tanah Jawa, yang dipilihnya untuk kembali dan dan akhirnya berpulang. Kami juga hendak mengingat perjuangan Romo Van Lith untuk sebuah kesamaan hak antara pribumi dan orang Belanda. Setelah lima jam, kami semua sampai di Sendangsono. 
Di sana kami berdoa sejenak di depan Gua Maria, lalu beristirahat di pondok-pondok yang telah dibangun di Sendangsono. Keesokan paginya, kami kembali ke Muntilan dengan menyewa sebuah angkutan desa, karena fisik sudah lelah. 

Dari retret singkat di Muntilan ini, kami merasa bahwa  belajar menjadi seorang katekis adalah suatu tindakan yang tidak keliru. Sebab, di luar sana membutuhkan orang-orang muda seperti kami. Semangat dan tenaga kami masih menggebu-gebu untuk berjuang lebih demi kemajuan Gereja dan umat-Nya. 

(Elisabet Pipit Wahyunita)


Saturday, January 31, 2015

Baksos Lingkungan Benedictus Ngagel ke Stasi Tritik Nganjuk

Pagi itu, Minggu 7 Desember 2014, cuaca kota Nganjuk sebenarnya sempat mendung dan gerimis. Tetapi rupanya cuaca yang kurang bersahabat itu tidak mengurangi semangat dan keceriaan umat Lingkungan St. Benedictus, Paroki Ngagel, Surabaya, untuk melaksanakan bakti sosial di Stasi Tritik. 

Dengan menggunakan satu bus besar dan dua mobil, rombongan memasuki kota Nganjuk sekitar jam 08.30. Syukur kepada Allah, gerimis yang sejak pagi membasahi Nganjuk sudah reda saat rombongan tiba di halaman sebuah pabrik di wilayah Guyangan untuk istirahat sejenak. Di halaman pabrik itu, rombongan diterima Bapak Cosmas Budi Rahardjo, warga Paroki Nganjuk, yang beberapa minggu sebelumnya memang sudah dikontak terlebih dahulu oleh Bapak Lauw Hendra sebagai ketua Lingkungan St. Benedictus, Paroki Ngagel untuk membantu dan mendukung kegiatan bakti sosial itu. 

Setelah istirahat sejenak dan memindah-mindahkan barang-barang bantuan dari bagasi bus ke mobil boks, akhirnya rombongan bersama-sama berangkat ke Stasi Tritik dengan menggunakan beberapa mobil kecil. Jarak Guyangan ke Tritik yang kurang lebih 16 km ditempuh rombongan selama kurang lebih 45 menit. Separuh lebih perjalanan itu, ditempuh rombongan dengan melewati jalan-jalan yang rusak dan berbatu, serta harus melewati daerah perbukitan membelah hutan-hutan jati milik perhutani. Kondisi jalan yang rusak itulah yang menyebabkan lamanya waktu tempuh ke Tritik. 

Di Tritik, rombongan disambut oleh Ibu Sampun (istri dari ketua stasi Tritik) dan beberapa umat. Mereka tiba di Tritik setengah jam sebelum misa dimulai pada pukul 10.00. Kebetulan, hari itu memang giliran Stasi Tritik ketempatan misa kekehan (gangsing) dalam siklus putaran layanan misa bersama dengan Stasi Gondang, Rejoso, dan Jatikampir. Waktu yang ada itu mereka gunakan untuk menurun-nurunkan bingkisan dan barang-barang yang akan disumbangkan dan mempersiapkan teknis pembagiannya. 

Sebagian besar yang lain, sudah duduk rapi di dalam kapel mempersiapkan hati untuk mengikuti misa hari Minggu Adven II. Mendekati jam 10.00, rombongan RD Leo Giovani bersama dengan beberapa dokter tiba di Tritik. Demikian pula menyusul rombongan umat dari Stasi Jatikampir, Rejoso, dan Gondang. Misa dimulai jam 10.00 dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan lagu-lagunya menggunakan lagu bahasa Jawa. Sebenarnya hari itu Stasi Tritik memang mendapat giliran misa  bahasa Jawa, sehingga petugas-petugas liturgi dan petugas koor sudah mempersiapkannya dengan menggunakan bahasa Jawa.

 Persiapan koor yang dirasa kurang dan lagu bahasa Jawa yang mungkin masih terdengar asing di telinga saudara-saudara dari Surabaya, barangkali sedikit banyak memang mengganggu kelancaran jalannya ekaristi siang itu. Tetapi bagaimanapun juga rasa syukur yang mendalam karena boleh berbagi dan menerima berkat dari Tuhan, tetap terungkap dengan jelas dalam keseluruhan ekaristi siang itu. 

Dalam homilinya, RD Leo Giovani sempat mengingatkan umat untuk terus mengusahakan hidup yang lurus dengan menutup lubang-lubang ucapan, perilaku dan sikap hidup negatif yang barangkali selama ini masih ada. Itulah salah satu bentuk persiapan dan penantian menyambut kelahiran Tuhan Yesus selama masa Adven. Di akhir misa, Ibu Lisa Soegiharto sebagai ketua panitia bakti sosial dan Bapak Subono sebagai wakil dari umat Stasi Tritik, Gondang, Rejoso dan Jatikampir, serta RD Leo Giovani, sempat menyampaikan sambutan-sambutannya. 

Setelah misa, acara dilanjutkan dengan kegiatan bakti sosial berupa pelayanan pemeriksaan dan pengobatan gratis oleh dokter-dokter dan paramedis dari Paroki Nganjuk, pembagian bingkisan untuk warga desa Tritik, pembagian bingkisan untuk umat Tritik, Gondang, Rejoso dan Jatikampir, penyerahan bantuan pakaian pantas pakai untuk keempat stasi dan paroki; penyerahan bantuan 3 unit wireless untuk Stasi Tritik, Jatikampir dan Gondang.

Ada juga penyerahan bantuan wireless untuk Masjid Tritik; penyerahan dua lemari pakaian dan buku untuk Stasi Tritik dan Rejoso; serta penyerahan bantuan pasang meteran listrik, gorden dan toilet duduk untuk Stasi Tritik.  Bersamaan dengan itu, umat yang lain menikmati makan siang bersama dengan menu sederhana ala Desa Tritik. Nampak sekali terungkap rasa syukur dan terima kasih yang mendalam dari semua pihak, terutama dari umat Stasi Tritik, Gondang, Rejoso dan Jatikampir serta warga yang menerima bingkisan. 

Sebelum pulang, warga Lingkungan St. Benedictus, Ngagel, menyempatkan berfoto bersama dengan RD Leo Giovani di depan kapel dilanjutkan penyerahan bantuan uang tunai untuk pembangunan balai pertemuan Stasi Loceret yang diterima langsung oleh RD Leo Giovani. (Cosmas Budi Rahardjo)


HUT ke-84 Paroki Kristus Raja Surabaya

Berikan Hati Ulurkan Tangan, Kita Wujudkan Kelompok Kecil Umat Yang Misioner. Inilah tema yang menjiwai seluruh  Rangkaian Perayaan HUT ke-84 Paroki Kristus Raja Surabaya. Beragam kegiatan diselenggarakan sejak bulan Juli hingga November 2014 agar umat dapat  memaknai HUT paroki lebih mendalam.  Kalau tahun 2013, panitia HUT dipegang oleh para ketua lingkungan, maka tahun 2014 ini para wakil ketua lingkungan dipercaya sebagai panitia. Dengan demikian, semakin banyak orang diberi peluang untuk bertanggung jawab dalam kegiatan di tingkat paroki. 

Selain menindaklanjuti tema keuskupan tentang Kelompok Kecil Umat, paroki yang sejak berdiri dikelola oleh romo-romo CM ini mau lebih mengenal Santo Vinsensius a Paulo, pendiri CM, serta memahami spiritualitasnya. Ini dilakukan dengan Novena St Vinsensius selama sembilan Kamis berturut, dan materi untuk Kuis Temu Krida. 

Menurut Herman Josep Sutrisno, Ketua Umum HUT Paroki, seluruh rangkaian kegiatan yang diadakan berusaha sebanyak mungkin melibatkan umat baik anak-anak, Rekat, OMK, keluarga maupun lansia. Umat tidak hanya terlibat sebagai peserta lomba tetapi juga memberikan hati dan mengulurkan tangan sebagai panitia pendukung, khususnya kaum muda. Hal ini merupakan kesempatan yang baik  karena  kaum muda   dapat  menimba pengalaman dan belajar untuk  menyelenggarakan kegiatan, belajar  memimpin dan siap kaderisasi tugas  pelayanan di paroki untuk masa mendatang.

Rangkaian kegiatan yang diselenggarakan  antara lain  lomba lektor,  pemazmur, koor, pewarta cilik,  temu krida Rekat, temu krida umum, mural rohani, rujak cingur,  sandal bakiak,  merias wajah, fashion batik, vocal group, bulutangkis, tarik tambang,  futsal,  mewarnai,  becak hias. Tak ketinggalan seminar, novena, jalan sehat, donor darah, baksos, dan kerja bakti. Hadiah untuk  lomba-lomba diserahkan saat Malam Pentas Seni HUT KR ke-84 pada 22 November 2014 di Gedung KR.

Malam Pentas Seni menampilkan unjuk kebolehan dari umat 8 wilayah di KR, SMK Mater Amabilis, Stanislaus I dan II. Inti dari semua tampilan acara adalah pemberian diri  tanpa memandang kaya atau miskin, tradisional atau  modern, tua atau muda, besar atau kecil, kuat atau lemah, semuanya merupakan kado yang terindah untuk  Tuhan apabila disertai dengan pengorbanan, ketulusan hati dan sukacita. 

Di Ruang Kaca Gedung KR juga diselenggarakan  Pameran Lukisan dengan tema Seni Bukti Kasih Sayang. Pameran ini merupakan wujud keterbukaan Paroki KR kepada seluruh elemen masyarakat. Seni memang bisa  menjadi jembatan solidaritas tanpa terbelenggu hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Suku, ras, atau agama bisa dirangkul secara harmonis sebagai satu kesatuan indah dan wujud kasih sayang sesama manusia. Panitia bekerja sama dengan Surabaya Art Event dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW). Para seniman yang unjuk karya malah mayoritas muslim.  

Sejumlah karya seni rupa dipamerkan. Ada yang berupa lukisan dan grafis.Beberapa berwujud patung. Selain itu, beberapa foto dinamika kegiatan lingkungan di Paroki KR misalnya saat pemberkatan rumah, doa lingkungan, pemakaman, dll   ikut mengisi ruang pameran.

Misa Syukur merupakan puncak perayaan HUT ke-84 Paroki Kristus Raja, Minggu, 23 November 2014, pukul 09.00, bertepatan dengan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Misa Syukur dipimpin oleh Romo Antonius Sad Budianto CM didampingi Romo Rahmat CM, Romo Ignatius Suparno CM, Romo Emanuel Tetra Vici Anantha CM dan Romo Thomas Puji Nurcahyo CM (Romo Kepala Paroki St. Marinus Yohanes Kenjeran).
Dalam homilinya, Romo Sad Budi CM menyampaikan bahwa di tengah-tengah irama dan aktivitas kehidupan modern yang padat dan panjang, Kristus harus tetap meraja dalam kehidupan kita baik dalam keluarga, pekerjaan, karya pelayanan, studi, pergaulan maupun hidup kerohanian. Kristus pun harus meraja dalam kehidupan para imam agar semakin rendah hati dan terbuka bekerja sama dengan umat. Kesibukan seringkali membuat orang menomorsekiankan kehidupan rohani dan menggereja.  Padahal, tanpa Tuhan kita tak mungkin selamat. 

Orang tua sejak dini perlu menekankan kehidupan rohani pada anak-anaknya agar Kristus meraja dalam hidup anak-anak hingga dewasa kelak. Keterlibatan umat dalam hidup menggereja semakin hari semakin surut, padahal setiap orang yang sudah dibaptis dipanggil untuk turut serta dalam tugas penggembalaan Kristus  bersama para imam. 

Untuk menghidupkan semangat rohani umat dan keterlibatan dalam  kehidupan menggereja  dengan semangat Kelompok Kecil Umat, maka Paroki Kristus  Raja  memekarkan 8 wilayah menjadi 16 Wilayah, dan 48 lingkungan menjadi 64 lingkungan. Ini merupakan babak baru, bukan hal yang mudah dan membutuhkan pengorbanan. Namun, penataan ini harus dilalui sebagai bentuk tanggungjawab kepada Kristus Sang Raja. Penataan ini diharapkan dapat merangkul semakin banyak umat agar tergerak, peduli, dan terlibat  pada kehidupan menggereja sehingga Kristus meraja dalam hidup mereka. 

Setelah homili,  diadakan pelantikan para ketua dan wakil ketua wilayah/lingkungan baru. Romo Sad Budi CM mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka menjadi pengurus dan memberikan apresiasi  karena mereka dengan rela mau menanggapi cinta Tuhan, ambil bagian dalam tugas penggembalaan Kristus  dan berani berkorban, sementara umat sering kali kurang tanggap terhadap tugas penggembalaan mereka. Mereka juga tidak kenal putus asa dan lelah walaupun harus membagi waktu antara keluarga, pekerjaan dan karya pelayanan. Mereka berusaha setia menanggapi panggilan Tuhan.
    
Setelah misa syukur diadakan pesta umat bersama di Gedung Kristus Raja. Acara berupa pemotongan tumpeng dan kue tar oleh Romo Sad Budi. Selanjutnya makan siang bersama. (*)