Saturday, February 28, 2015

Akar dari Segala Kejahata

Oleh Reza AA Wattimena
Dosen Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan Rusia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina, dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan pasukannya di perbatasan. Jika konflik terjadi, maka yang perang akan melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.

Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk menyerbu kelompok ini. Konflik bersenjata dalam skala besar nyaris tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam penderitaan, akibat perang dan konflik bersenjata lainnya.

Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga menciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari kartel narkoba mengancam kehidupan banyak negara. Anak muda dipaksa masuk untuk bergabung dalam gang bersenjata. Berbagai kebijakan pro rakyat kandas di depan mata, karena pengaruh lobi dari beragam kartel narkoba di dalam kebijakan politik.

Sebagai akibatnya, banyak orang terjebak di dalam rantai kemiskinan. Akar dari kemiskinan ini bukanlah kemalasan atau ketidakmampuan pribadi, melainkan kemiskinan sistemik sebagai dampak dari bobroknya sistem sosial yang ada. Di dalam jeratan kemiskinan, banyak gadis muda yang terjebak ke dalam pelacuran dan perdagangan manusia. Inilah bentuk perbudakan modern di awal abad 21 yang masih tertutup dari mata banyak orang.

Orang yang paham akan hal ini merasa tak berdaya untuk memperbaiki keadaan. Banyak dari antara mereka memutuskan untuk bersikap tidak peduli. Caranya adalah dengan hidup di dalam rantai konsumsi. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang dan membeli barang lebih dan lebih lagi, guna mengobati ketidakberdayaan mereka di dalam kehidupan. Konsumtivisme menjadi candu baru.

Mengapa ini semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan kepada manusia lainnya? Mengapa manusia menciptakan penderitaan bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya? Jawabannya hanya satu, yakni delusi, atau kesalahan berpikir mendasar tentang kehidupan.

Kekosongan Batin

Hampir setiap orang yang lahir di awal abad 21 ini merasakan sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari masyarakat. Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.

Orang menyebutnya dengan berbagai kata. Ada yang bilang, mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, yakni rasa kurang yang bercokol di dalam batin.

Mereka lalu mencari cara, guna mengisi kekosongan batin tersebut. Mereka pun melihat ke luar dirinya. Narkoba, seks, agama, mistik dan konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.

Di dalam proses pencarian, ketika keadaan telah menjadi sedemikian rumit, mereka tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh orang lain, supaya ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan kemudian saling menyakiti satu sama lain.

Inilah yang sekarang ini terjadi di dunia. Rusia mengira, bahwa mereka akan menjadi bangsa besar, ketika mereka menguasai Ukraina, atau bahkan menguasai berbagai negara satelit bekas Uni Soviet di masa lalu. ISIS mengira, bahwa mereka bisa mendirikan kerajaan model abad pertengahan, jika mereka terus menyiksa dan membunuh orang-orang yang tak bersalah. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Aku yang Terpisah

Cara berpikir ini juga didorong oleh delusi lainnya, yakni delusi keterpisahan manusia. Salah satu racun paling mematikan dari filsafat Barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah makhluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Delusi keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala bentuk diskriminasi. Bangsa-bangsa tertentu merasa terpisah dari bangsa-bangsa lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya daripada bangsa-bangsa lainnya. Ini lalu mendorong penjajahan politik dan ekonomi dari beberapa negara atas negara-negara lainnya. Ini juga menjadi akar dari perbudakan, rasisme, fasisme dan penjajahan atas minoritas di berbagai negara.

Namun, kekosongan batin tetap ada. Orang bisa menjajah dan menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di dalam hatinya. Delusi keterpisahan manusia mendorong orang masuk ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah lainnya.

Untuk mengisi kekosongan batinnya, orang juga menghancurkan alam. Hutan dibabat untuk membangun perumahan mewah. Gunung diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan semua makhluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan kerakusannya.

Ketika alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur, akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.

Mencari ke Dalam

Jadi, akar dari segala kejahatan adalah dua delusi mendasar. Yang pertama adalah delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua adalah delusi, bahwa manusia adalah mahluk individual yang terpisah dengan manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan sosialnya.

Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba menemukan kepenuhan hidup di sana. Kita harus berhenti mencoba mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, nama besar, barang-barang dan lainnya. Ketika kita menengok ke dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini adalah kesatuan dari jaringan yang tak terpisahkan.

Kita dan orang lain adalah satu. Kita dan alam adalah satu. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita sendiri.

Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-hari. Ketika kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa segala hal di dunia ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan, tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua makhluk hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.

Tidak ada perbedaan antara kita dan makhluk hidup lainnya. Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang tampak hanya muncul dari pancaindera dan pikiran kita yang rapuh. Perbedaan tersebut lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang mendasar tentang kehidupan.

Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. Ketika hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain. Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini, demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan. Mau sampai kapan kita hidup seperti ini? (*)

Berbaur dengan Keheningan di Muntilan

Retret merupakan salah satu kegiatan rutin tahunan yang diadakan oleh kampus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STKIP) Widya Yuwana Madiun. Sebagai calon katekis, kami senantiasa membutuhkan penyegaran rohani untuk semakin memantapkan panggilan kami. Retret kali ini diadakan di Muntilan pada 2-5 Februari 2015. Para mahasiswa semester 6 mengikuti pembinaan di rumah Retret St. Fransiskus di Jln. Kartini 11, Muntilan, samping RSU Muntilan, berada dalam kompleks pekuburan (Kerkhof), dekat SMA Van Lith serta museum misi.  

Suasana di rumah retret ini senyap, jauh dari keriuhan kota. Tetumbuhan berwarna hujau dengan beberapa jenis perdu tertata rapi dan bersih di kompleks rumah retret ini. 
Kegiatan kami di Rumah Retret St. Fransiskus selama empat hari tiga malam dipandu oleh tiga orang. Mereka adalah  Bapak Virdei Eresto Gaudiawan (dosen pembimbing), Romo Soma Hadiwinata, SJ, dan Mas Catur Priya. 

Sore itu, setelah kami tiba di Muntilan, ada jeda sejenak untuk kami beristirahat. Lalu sesi pertama dimulai pada pukul 18.30 WIB. Sesi perkenalan dan membuat kesepakatan  jadwal kegiatan selama retret. Pada awalnya kami memang merasa bingung kenapa jadwal kegiatan selama retret tidak  dibuat terlebih dahulu oleh pemateri, dan kenapa malah kami yang harus membuat kesepakatan bersama untuk menentukan hal apa saja yang akan kami lakukan. Namun, setelah itu kami menyadari bahwa mulai dari sesi pertama inilah sebenarnya proses kami selama retret akan dimulai. 

Melalui sesi pertama ini kami diajak untuk berani memilih dan mengambil keputusan. Hal tersebut dapat menjadi cerminan bagi kami bahwa sebagai orang yang telah dewasa, tindakan yang pasif bukan seharusnya tindakan yang kami lakukan, namun sebaliknya kami yang harus bertindak aktif dan para pendamping tersebut hanya bertugas untuk mendampingi dan memberikan  peneguhan atas seluruh dinamika yang ada dalam diri kami selama retret berlangsung. 

Salah satu pendamping kami adalah imam Yesuit yang terkenal dengan  kedisiplinannya. Untuk itu, kami diminta  berlatih silentium magnum dan berlatih berdoa dengan cara meditasi minimal 90 menit dalam sehari. Hal ini bagi kami merupakan sebuah pembelajaran agar kami dapat menimbang-nimbang segala sesuatu yang akan kami lakukan dengan penuh kesadaran namun tetap di dalam situasi  diri yang tenang. Ada beberapa hal yang ingin diajarkan Romo Soma dan Mas Catur untuk menjadi seorang pewarta muda yang tangguh. 

Pada hari kedua, tepatnya pukul 24.00, kami dibangunkan dari tidur kami. Kami disuruh berkumpul di aula, diperintahkan oleh Romo Soma untuk berjalan menuju makam salah satu imam Yesuit yang terkenal karena kecintaan-Nya terhadap tanah Jawa, yaitu Romo Fransiskus Georgius Josephus van Lith. Kompleks pemakaman para imam Yesuit tersebut  tidak jauh dari tempat retret kami, kira-kira untuk membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Dalam keadaan yang masih silentium magnum, kami berjalan menuju kerkhof. 

Setelah sampai di sana, kami berdoa dan sebagai seorang muda yang 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, kami membawa bendera kebangsaan sebagai simbol kecintaan kami terhadap tanah air Indonesia. Sesi berdoa di pemakaman yang dilakukan ditengah malam tersebut, mengingatkan kami akan perjuangan para imam Yesuit yang kebanyakan orang Belanda. Mereka wafat di tanah misi, Jawa, dan berhasil menghimpun umat Katolik yang terbilang banyak. 

Saat itu sejenak kami berefleksi bersama bahwa untuk menjadi seorang pewarta itu memang harus tangguh agar dapat berkarya sampai akhir hidup di tengah-tengah segala tantangan zaman. Setelah itu, kira-kira pukul dua pagi kami kembali ke rumah retret, beristirahat. 

Pada hari ketiga, misa pagi hingga makan siang dengan semangat namun tetap membawa diri dalam situasi silentium magnum. Setelah beristirahat sejenak, pukul 14.00, kami kembali ke aula pertemuan. Pada pertemuan tersebut kami diberi arahan oleh Romo Soma dan Mas Catur untuk mengunjungi Sendangsono. Namun, kami diperintahkan agar berjalan kaki.

Pada awalnya kami sedikit mengeluh karena sesi ini akan menguras seluruh tenaga dan pikiran kami. Jarak antara tempat kami retret dan Sendangsono sekitar 25 km. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi kami apakah kami bisa melakukannya atau tidak. 

Perjalanan kami di mulai pada pukul 15.30 dan dilakukan per kelompok yang terdiri dari 3-4 orang. Kami dibekali dengan makanan yang telah disediakan oleh ibu-ibu yang bertugas memasak di rumah retret. Cuaca mendung mengawal perjalanan kami. Kami tidak memikirkan untuk membawa banyak barang dalam perjalanan menuju Sendangsono, karena  bukan ajang untuk camping. Sesi jalan kaki menuju Sendangsono ini kami hendak diajarkan bagaimana sebuah sikap yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh dan selalu meyakini bahwa Tuhan menyertai kami dalam perjalanan hidup kami. 

Perjalanan menuju Sendangsono juga merupakan sebuah niatan kami untuk menelusuri perjalanan Romo Van Lith dahulu, dan merenungkan bagaimana cintanya yang mendalam pada tanah Jawa, yang dipilihnya untuk kembali dan dan akhirnya berpulang. Kami juga hendak mengingat perjuangan Romo Van Lith untuk sebuah kesamaan hak antara pribumi dan orang Belanda. Setelah lima jam, kami semua sampai di Sendangsono. 
Di sana kami berdoa sejenak di depan Gua Maria, lalu beristirahat di pondok-pondok yang telah dibangun di Sendangsono. Keesokan paginya, kami kembali ke Muntilan dengan menyewa sebuah angkutan desa, karena fisik sudah lelah. 

Dari retret singkat di Muntilan ini, kami merasa bahwa  belajar menjadi seorang katekis adalah suatu tindakan yang tidak keliru. Sebab, di luar sana membutuhkan orang-orang muda seperti kami. Semangat dan tenaga kami masih menggebu-gebu untuk berjuang lebih demi kemajuan Gereja dan umat-Nya. 

(Elisabet Pipit Wahyunita)